Rahasia dan Makna Bulan Sya’ban

Majalahnabawi.com – Dulu sejak zaman Jahiliyah, masyarakat Arab berusaha membentuk kelompok-kelompok kecil kemudian menyebar ke sekeliling tempat di wilayah padang pasir. Mereka melakukan itu untuk mencari sumber air sebagai persiapan menuju bulan kesembilan yang cukup terik dan panas. Bulan tersebut sangat berpotensi menjadikan sumur-sumur menjadi kering. Ketika itu juga aktivitas masyarakat menjadi terbatas. Bulan kesembilan itulah disebut dengan رَمضان (Ramadhan), masyarakat menyebut dengan Ramadan dari kata رَمَضَ (ramadha) yang berarti terik, panas membakar.

Jika kita ingin jadikan bentuknya superlative lebih meningkat lagi, lebih membakar lagi. Maka kita tambahkan alif (ا) dan nun (ن) di ujungnya, maka menjadi رَمَضَان, bulan (masa atau waktu) yang sangat terik membakar. Karena itulah kemudian, sebulan sebelumnya mereka membagi tugas berkelompok-kelompok. Hal tersebut bertujuan agar masyarakat menyebar, perilakunya memiliki sebutan تشاعب (tasya’ub), sedangkan keadaannya memiliki sebutan شعبان (Sya’ban). Maka di bulan Sya’ban (bulan yang kedelapan) masyarakat Arab seperti yang kami sebutkan di atas tadi. Mereka bertugas menyebar mencari sumber-sumber air untuk ditampung, sebagai persiapan di bulan yang kesembilan, yaitu bulan Ramadan.

Setelah Bulan Sya’ban

Maka, secara metafora makna itu bisa masuk dalam nilai-nilai syariat dan nilai pendidikan spiritual. Ketika bulan Ramadan, orang berlomba-lomba meningkatkan amalnya, membangun ketaatan, meninggalkan maksiat, serta bertobat kepada Allah. Bulan Ramadan akan memberikan panas terik untuk membakar dosa-dosanya serta menggugurkan kesalahan-kesalahannya. Salah satu cara mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan taqarub yang sangat indah, sehingga berpeluang diterimanya amal, diberikan kemuliaan, dan mungkin juga bisa berpotensi wafat dalam keadaan husnul khatimah dan kembali menjadi hamba yang saleh.

Oleh karena itu sangat perlu persiapan sebelum bulan Ramadan. Belum tentu semua orang yang sampai ke Ramadan mendapatkan peningkatan takwa atau dapat manfaat dari tobatnya. Karena itu, ayat puasa ketika di penghujung al-Baqarah ayat 183, Allah akhiri dengan kalimat لَعَلَّكُمْ تَتَّقوْنَ (agar kalian mampu meningkatkan takwa). Tapi apakah semua orang yang berpuasa otomatis takwanya meningkat? Belum tentu, karena لَعَلَّكُمْ (la’allakum) bermakna harfu tarajji, yaitu huruf yang menunjukkan terpenuhinya suatu harapan dengan syarat kesungguhan dan keseriusan untuk mewujudkannya. Di antara keseriusan itu, maka citranya secara metafora terdapat mulai dari bulan sebelumnya, bulan Sya’ban (bulan kedelapan). Saat banyak orang di masa pra-Islam mengumpulkan air untuk persiapan di bulan kesembilan. Maka ketika masa Islam, yang kita siapkan menuju Ramadan adalah air-air spiritual, air-air yang bukan hanya melapangkan dahaga kita, menghilangkan haus. Tapi air yang bisa menumbuhkan nilai-nilai ketaatan, yang bisa menggemburkan kembali, menyuburkan kembali hati-hati yang kering.

Maka seharusnya, perilaku orang sekarang khususnya seorang muslim adalah banyak mencari air-air spiritual supaya menjadi kebiasaan saat sampai di bulan Ramadan yang berpotensi menggugurkan dosa dan membakar semua kesalahan. Jika tidak kita mulai dari Sya’ban, maka tidak mudah untuk menjalani Ramadan.

Selanjutnya, cara terbaik dalam mempersiapkan diri sebelum Ramadan yaitu seperti yang pernah Nabi lakukan. Riwayatnya tersambung kepada Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha, kemudian tertulis dalam kitab imam Abu Dawud dan imam an-Nasai, bahwa sejak bulan Sya’ban, Nabi sering kali terlihat banyak menunaikan ibadah puasa (صِيَام).

Similar Posts