Refleksi Makna Qublah dalam Perspektif Fikih
Di era milenial sekarang, begitu banyak para pemuda dan pemudinya yang saling menjalin hubungan. Bahkan peristiwa ini semakin marak dan dilakukan secara berlebihan. Sehingga berujung melakukan perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan. Seperti pelukan, Qublah (ciuman) dan, juga begitu-begituan. Dengan demikian, perlu kiranya bagi setiap orang mengetahui batasan-batasan yang harus diperhatikan dalam menjalani hubungan, supaya tetap berada di jalan yang diridai oleh Tuhan.
Para kalangan dewasa-pun lambat laut sepertinya sudah mulai terbiasa dengan perilaku tidak wajar demikian. Sehingga fenomena semacam ini dianggap sebelah mata dan mulai tidak diperhatikan. Oleh karena itu harus ada tindakan untuk mencegah kejadian di masa yang akan datang sebagai antisipasi dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Disini kita akan mengkaji bagaimana fikih memandang makna qublah (ciuman) , yang termasuk salah satu penyebab banyaknya pemuda dan pemudi jatuh ke lubang setan. Qublah sebenarnya dapat dikategorikan sebagai hal yang memiliki dampak positif bagi kehidupan. Walaupun demikian jika qublah tersebut tidak dilakukan dengan prosedur yang telah disediakan, maka akan menjerumuskan pelakunya kepada lubang kemaksiatan. Bukan hanya itu saja, bahkan banyak kejadian yang malah menjerumuskan seseorang kepada perbuatan zina.
Jadi tidak heran banyak kalangan menyebutkan bahwa qublah merupakan pembuka dari suatu hubungan seksual. Karena kejadian semacam inilah Islam juga ikut andil sebagai perisai bagi para pemeluknya agar tidak tergelincir dalam kejadian yang tidak diinginkan. Sebagai permulaan, para ulama mengklasifikasikan hukum qublah kepada tiga bagian. Adakalanya qublah itu disyariatkan, diharamkan, dan ada pula yang diperbolehkan. Motif dari perbedaan hukum ini mengacu pada objek, subjek, niat, dan tujuannya.
Qublah yang disyariatkan
Sebagian ulama mengklasifikasi qublah (mencium) menjadi beberapa kategori. Pertama, mencium pipi anak yang didasarkan rasa cinta dari kedua orang tuanya. Kedua, mencium kepala kedua orang tua dari sang anak sebagai bentuk belas kasih yang dia berikan kepada orang tuanya. Ketiga mencium kening saudara yang merupakan kasih dan sayang sebagai ikatan yang didasarkan atas persaudaraan. Keempat, mencium bibir istri dengan perasaan cinta, yang dijalin atas dasar pernikahaan yang sah dan serta sebagai pelampiasan syahwat yang terdapat di dalam diri manusia agar tidak jatuh ke dalam kemaksiatan (Darul Mukhtar Sarah Tanwirul Absor, Hal 661).
Qublah yang dilarang
Adapun hukum mencium yang dilarang oleh syariat juga terdapat berbagai macam. Pertama, mencium perempuan yang bukan mahrom (Ajnabi), kendatipun perempuan yang telah dikhitbah. Para ulama sepenuhnya sepakat bahwa mencium perempuan ajnabi hukumnya haram (Khasiyah Al-Bujairami, Juz 3, Hal 385). Kedua, mencium sesama jenis, baik laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan lain. Ketidakbolehan disini juga berlaku ketika pelaku itu mencium tangan, memeluk dan lainnya, yang dilakukan dengan syahwat.
Namun apabila laki-laki saling berpelukan dan mencium di selain bibir, yang disana ada unsur kebaikan dan memuliakan atau disebabkan kasih sayang yang begitu besar ketika bertemu saudaranya, maka keadaan seperti ini tidak menjadi persoalan, dalam artian diperbolehkan (Baca Hasyiyah Al-Jamal Ala Sarhul Minhaj Juz 4 Hal 126). Ketiga mencium tangan orang zalim, pelakunya dianggap melakukan perbuatan maksiat, kecuali orang tersebut dalam keadaan mendesak atau terancamnya jiwa. Syaikh Alauddin Haskafi di dalam kitabnya menjelaskan, bahwa tidak ada toleransi sama sekali dalam mencium tangan selain pada orang alim dan orang adil . Namun jikalau dia bertemu dengan temannya (yang muslim) dan mencium tangannya, maka perbuatan tersebut dimakruhkan, ketika teman itu tidak memiliki sifat alim dan adil, serta tidak ada tujuan mengagungkan dan memuliakannya. (Darul Mukhtar, Hal 658-659)
Qublah yang diperbolehkan
Dari penjelasan diatas dapat diambil mafhum mukholafah (menetapkan kebalikan dari hukum) tentang kapan mencium itu diperbolehkan. Pertama, mencium tangan orang alim, orang wara’, mencium tangan pemimpin yang adil, mencium tangan ustad dan setiap orang yang berhak untuk dimuliakan dan diagungkan. Dalam hal ini, tidak masalah pula mencium kepala, dahi, daerah diantara dua mata dan lainnya jika didasarkan atas kebaikan. Kebolehan ini juga berlaku ketika saling bertemu satu sama lain dan ketika akan berpisah, sebagai ucapan sayangnya, dan tentunya aman dari adanya sahwat.
Pernah ada kejadian disaat sahabat Jakfar datang dari Habasyah dan dikala itu Nabi Muhammad Saw memeluk dan mencium di antara kedua matanya saat situasi perang Khaibar (Al-Dirayah Fi Takhrij Ahadith Al-Hidayah, Juz 2 Hal 231). Kedua, menciumnya seseorang kepada orang yang telah meninggal. Kejadian ini sering terjadi dikalangan masyarakat, di saat ada salah seorang dari sanak saudaranya yang meninggal, sebagai bentuk perpisahan untuk yang terakhir kalinya. Peristiwa semacam ini juga pernah dilakukan sahabat Abu Bakar ketika Nabi Muhammad saw wafat, beliau mencium jasad nabi dalam keadaan menangis (Sunan At-Tirmidi, Juz 2, Hal 304).
Qublah Bagian dari Kasih Sayang
Pada dasarnya mencium termasuk sebuah manifestasi dari kasih sayang dan penghormatan yang diberikan tiap individu kepada individu lainnya. Fokus utamanya, terletak ketika rasa kasih dan sayang tersebut ditujukan kepada orang yang spesial baginya, baik guru, saudara, atau kedua orang tuanya yang tentunya dengan batasan- batasan yang telah dijelaskan.
Hanya saja mencium terkadang juga dapat tergolong dari perkara yang dilarang. Hal ini dikarenakan tidak mengikuti prinsip-prinsip yang telah dipaparkan oleh para pakar, sehingga biasanya seseorang terjerumus akan keadaan yang yang akan disesalinya. Kejadian ini juga disebabkan tidak mampunya seseorang dalam mengontrol dirinya, sehingga dia lupa daratan dan tidak menjaga rasionalitas dirinya. Naudzubillah.