Refleksi Terbalik; Fenomena Kekerasan Seksual
Majalahnabawi.com – Akhir-akhir ini semakin banyak kasus kekerasan seksual. Tidak tanggung-tanggung, bahkan kalangan pesantren seperti ikut andil menyemarakkan berita buruk tersebut. Para pelaku pun telah ditindak sebagaimana seharusnya. Selain untuk mengamankan masyarakat dari kejahatan, juga bagaimana menimbulkan efek jera terhadap mereka. Yang terpenting bagaimana perbuatan mereka menjadi pelajaran agar orang lain tidak melakukan hal yang sama.
Fenomena Kekerasan Seksual yang Melambung Tinggi
Seharusnya, dengan adanya peraturan tegas tersebut, orang-orang akan berpikir dua kali untuk melakukan kejahatan seksual. Namun fakta yang terjadi, kasus kekerasan seksual tetap saja tinggi. Data pengaduan Komnas Perempuan sepanjang tahun 2022 menunjukkan kekerasan seksual sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dominan (2.228 kasus/38.21%) dari pada kekerasan psikis (2.083 kasus/35,72%). Jika melihat dengan lebih terperinci pada data pengaduan ke Komnas Perempuan di ranah publik, kekerasan seksual selalu yang tertinggi (1.127 kasus). Menurut data CATAHU Komnas Perempuan 2022, selama kurun waktu 10 tahun pencatatan kasus kekerasan terhadap perempuan (2012-2021), tahun 2021 tercatat sebagai tahun dengan jumlah kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) tertinggi, yakni meningkat 50% dari pada tahun 2020, sebanyak 338.496 kasus. Angka ini bahkan lebih tinggi dari angka KBG sebelum masa pandemi di tahun 2019. Data ini merupakan kasus yang dilaporkan, belum lagi kasus-kasus di luar itu yang belum dilaporkan.
Menanggapi fenomena ini, kami rasa perlu beberapa evaluasi dari berbagai pihak. Tentu kita tidak ingin permasalahan ini terus berlarut-larut tanpa solusi yang tepat. Karena dalam konteks hukum apapun, kekerasan seksual tidak pernah dibenarkan. Bahkan dalam Islam, perzinahan merupakan salah satu dosa besar yang harus dijauhi oleh muslimin.
Faktor Terjadinya Kekerasan Seksual
Untuk mengurai problem ini, kita perlu tahu dulu faktor munculnya permasalahan. Dalam kasus kejahatan seksual, pelaku pasti berawal keinginan melakukan seks. Keinginan tersebut bermula dari memuncaknya libido pelaku. Setiap orang mempunyai tingkat libido yang berbeda dan bisa berubah-ubah. Di suatu kondisi libido seseorang mungkin rendah. Namun, bisa meninggi pada kondisi yang lain.
Salah satu pemicu tingginya libido lelaki melihat pemandangan “erotis”. Pemandangan ini banyak sekali terjadi di dunia nyata, apalagi dunia maya. Itu artinya, banyak lelaki yang libidonya terpaksa meningkat atau tidak sengaja. Bayangkan saja lelaki ketika pergi ke supermarket, ke kantor, buka tiktok, YouTube, atau pun platform sejenisnya, selalu mendapati pemandangan tersebut. Satu lelaki yang sedang memuncak libidonya adalah ancaman bagi wanita-wanita di sekitar, apalagi banyak. Jika satu lelaki bisa menahan diri berbuat jahat, belum tentu semua lelaki mampu seperti itu. Tidak mengherankan semakin banyak lelaki yang melakukan seks ilegal. Salah satu penyebabnya, semakin banyak wanita menyuguhkan kesenangan.
Aurat sebagai Penjaga Moralitas
Pada fitrahnya, wanita menginginkan dirinya mendapat pengakuan dan menarik di mata lelaki. Berbagai cara pun ia lakukan. Mulai dari fashion, make up, perawatan, bahkan bentuk badan. Tidak sedikit mereka memperlihatkan bagian-bagian yang dapat menggugah selera lelaki demi mendapat pengakuan. Dalam syari’at Islam, ulama sepakat bahwa seluruh tubuh wanita itu aurat selain wajah dan tangan. Banyak dalil yang menjelaskan kewajiban menutup aurat. Salah satunya seperti pendapat Syeikh muhammad bin Ismail al-Amir yang tertulis dalam kitabnya at-Tahbir,
أنها تجري الأحكام الخمسة فيما خلقه الله من متاع الدنيا ونبينه في اللباس فإن ستر العورة واجب.
Hukum kelima berlaku pada ciptaan Allah yang berupa barang-barang dunia, dan kami akan jelaskan itu tentang pakaian, karena menutup aurat itu wajib. Masih banyak dalil yang tidak mungkin kami paparkan sekaligus penjelasannya disini. Anda bisa membaca bab satrul-‘aurot di kitab-kitab fikih.
Penjagaan aurat ini bisa menjadi salah satu penjaga moralitas. Ketika lelaki haram hukumnya melihat aurat wanita, begitu juga dengan wanita wajib hukumnya menutup aurat sebagaimana hal ini sudah maklum. Dalam kitab I’anatut-Tolibin disebutkan bahwa memandang wanita adalah madzinnatul-fitnah {berpotensi fitnah} dan muharrikus-syahwat {pendorong birahi}. Larangan ini hanya sebatas antisipasi {saddu-dzari’ah} dari kemungkinan buruk memandang wajah, pengantar zina.
Yang terjadi saat ini para wanita bukan lagi khawatir soal aurat apalagi hanya wajah. Mereka lebih mementingkan estetika, gaya, model, dan semacamnya, entah itu demi lelaki, popularitas, bisnis, atau pun hal lain. Ketika mindset ini sudah mendominasi kaum wanita –lebih-lebih- yang muda, logisnya pasti berdampak buruk bagi kaum pria berupa ganguan akal sehat.
Faktor yang kedua, asumsi saya para suami tidak puas dengan pelayanan di rumah. Sementara, bukanlah hal aneh isu-isu mengatakan para istri mayoritas tidak setuju konsep poligini. Padahal, poligini salah satunya berfungsi agar kita menyalurkan hasrat di jalan yang benar.
Wanita dan Poligini
Sebagai jalan keluar ketidakpuasan di rumah dengan ketidakbolehan poligini, suami semacam ini bisa jadi mencari solusi alternatif, seks ilegal. Banyak dalam media berita, pelaku kejahatan seksual bukan hanya lelaki lajang tapi mereka yang sudah berkeluarga. Jika kita mau pikirkan, sebenarnya fungsi si istri pelaku apa? Kenapa masih sempat memilih jalan beresiko demi memuaskan nafsu?
Untuk penyelesaian masalah, kita jangan hanya menangani permasalahan tapi juga perlu antisipasi akan terulang kembali. Dalam konteks ini, saya rasa hukuman kurang berefek dengan fakta kasus yang tidak berubah dari waktu ke waktu. Artinya, tidak ada peningkatan. Selain itu, oknum tersebut sebenarnya hanyalah korban dari rencana terselubung para wanita. Seakan wanita miskin busana mengatakan ‘lihatlah keindahanku’. Namun, ketika lelaki kehilangan akal sehat dan mencari pemuasan nafsu, lelaki malang ini disorot sebagai kejahatan murni.
Mungkin perlu adanya peraturan berpakaian sopan untuk wanita muda. Pelaku kejahatan terus mendapatkan hukuman, sementara faktor yang mengantarkan berbuat jahat dibiarkan artinya sama saja tidak mau berkembang. Berkaitan pula, mungkin para istri perlu mengubah sudut pandang akan poligini, atau setidaknya merefleksikan diri dan merubah sikap bagaimana suami merasa betah pelayanan di rumah.