Rekontekstualisasi Ahli Kitab
Majalahnabawi.com – Al-Quran dengan kuantifikasi yang cukup intens mengakui eksistensi manusia saleh dan asketis dalam banyak kaum, tak terkecuali dengan manusia yang disebut dengan ahl al-Kitab –selanjutnya, untuk memudahkan disebut Ahli Kitab – . Secara garis besar, konsep Ahli Kitab dalam Quran spesifik dan terbatas kepada tiga golongan, Yahudi, Nasrani (Kristen), dan Sabian (sābi’in).
Diksi “Ahli Kitab” disebut sebanyak 31 kali dalam Quran. Meskipun dalam banyak ayatnya al-Quran bersikap korektif dan kritis terhadap mereka, tetapi sesungguhnya semangat dalam al-Quran lebih bersikap apresiatif, bahkan mengajak mereka menuju pada titik pertemuan (common platform), atau dalam istilah Nurcholish Madjid Society (NCMS) dielaborasi dengan sebutan “Titik-Temu”.
Sebagai sebuah konsep, tujuan utama Quran terkait Ahli Kitab adalah untuk mengakui adanya eksistensi agama lain yang juga memiliki kitab suci dan doktrin parsial yang sama dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad, yaitu monotoisme-tauhidik; penegasan keesaan Tuhan. Walaupun dalam proses pengekspresian keesaan Tuhan dalam masing-masing agama berbeda, namun pada titik kulminasinya tujuannya adalah sama, yaitu tauhid itu sendiri.
Seiring dengan perkembangan waktu, dominan penafsir –khususnya yang konservatif– menganggap bahwa, selain Islam, tidak ada lagi Ahli Kitab yang orisinal sesuai dengan konsepsi Quran. Mereka berasumsi, ketiga kelompok tersebut telah melakukan distorsi terhadap keseluruhan isi kitabnya. Sehingga yang tersisa saat ini, hanyalah teks yang berisikan karangan imajinatif, teks konspiratif, dan teks yang sarat dengan kepentingan belaka.
Benarkah demikian adanya, atau jangan-jangan statement tersebutlah yang merupakan distorsi terhadap isi Qur’an itu sendiri? Bukankah Nabi Muhammad sering menekankan bahwa Islam tidak lain merupakan kontinuitas dari agama yang telah lahir sebelumnya, dan dirinya hanyalah salah seorang di antara rasul-rasul Allah yang diutus-Nya kedua ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep Islam tentang ahli kitab merupakan suatu respon terhadap realitas keagamaan yang plural di satu pihak, dan peneguhan identitas teologis agama Islam di pihak lain, bukan sebagai bahan untuk saling menfalsifikasikan antara yang satu dan lainnya.
Tentang Ahli Kitab
Saya tidak akan membahas Ahli Kitab secara etimologisnya, di samping karena sudah banyak yang membahas, tulisan ini juga dibuat seringkas mungkin untuk langsung menuju pada poin utamanya.
Secara definitif Ahli Kitab disematkan bagi umat atau komunitas yang mempunyai kitab suci. Kitab suci di sini dijadikan sebagai acuan keyakinan komunitas tersebut terutama dalam hal doktrin, ritual, dan sosial. Seperti umat Yahudi yang berpegang teguh pada Taurat dan Nasrani yang berpegang teguh pada Injil.
Mayoritas ulama mendefinisikan Ahli Kitab terbatas hanya pada komunitas Yahudi dan Nasrani saja. Prof M. Quraish Shihab misalnya, dalam Tafsir al-Misbahnya mengatakan, Ahli Kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani, kapanpun, di manapun, dan keturunan siapapun, tanpa terkecuali. Sementara Buya Hamka dalam Tafsir al-Azharnya mengkhususkan makna Ahli Kitab pada Yahudi dan Nasrani tanpa adanya kategorisasi, sehingga setiap Yahudi dan Nasrani masuk dalam kategori Ahli Kitab.
Argumentasi Prof Quraish Shihab dan Buya Hamka bisa kita sebut selaras dengan ayat dalam surat al-Maidah: 68. Yang pada inti pembahasannya, Ahli Kitab adalah komunitas Yahudi dan Nasrani yang hidup pada masa dan lingkungan Nabi Saw.
Sementara komunitas Majusi (al-Hajj: 17) dan komunitas shabiin (al-Baqarah: 62, al-Maidah 69, dan al-Hajj: 17). Tidak secara eksplisit disebut sebagai Ahli Kitab. Namun beberapa konten hadis, secara implisit masih mengkategorisasikan mereka dengan Ahli Kitab. Lihat misalnya Sahih al-Bukhari: 3156, Sunan Abi Daud: 3043, 3044, Sunan al-Tirmizi: 1586, 1587, 1688, al-Muwatta’ Malik: 755, Sunan al-Darimi: 2543, Musnad Ahmad: 1657, 1685.
Namun pada sisi yang lain beberapa ayat juga mengindikasikan agama lain di luar Arab. Atas dasar ini, beberapa ulama kontemporer kemudian memperluas konsep Ahli Kitab pada agama lain yang pernah memiliki kitab suci seperti Majusi (Zoroaster), bahkan kemudian kepada semua agama.
Perluasan Makna Ahli Kitab
Komunitas Hindu, Buddha, Konfusianisme dan semisalnya, secara lafal tidak disebutkan dalam al-Quran karena memang belum dikenal oleh masyarakat Arab waktu itu. Komunitas ini juga tidak masuk dalam penafsiran ulama salaf sebagai Ahli Kitab. Namun masih terdapat ruang untuk menafsirkan Ahli Kitab di sana wa ma unzil ilaikum min rabbikum “dan (menegakkan hukum yang ada pada) apa (kitab) yang diturunkan kepada kalian dari Pemelihara kalian” (al-Maidah: 68).
Ulama kontemporer, seperti Rasyid Ridha, memasukkan komunitas Hindu, Budha, Konfusius, dan semisalnya dalam konsep Ahli Kitab sebagai penafsirannya. Argumennya cukup jelas, karena al-Quran tidak merasa perlu menyebutkan komunitas asing yang tidak diketahui pendengar pertama waktu itu. Para sahabat Nabi tidak disebut Ahli Kitab, melainkan disebut muslimun (orang-orang yang berserah diri pada Tuhan). (Ali Imran: 64).
Pemikir Islam progresif seperti Nurcholish Madjid kemudian terus mempromosikan perluasan makna Ahli Kitab –yang tidak terbatas pada Yahudi dan Nasrani. Cak Nur merujuk pada argumentasi yang dikampanyekan Abdul Hamid Hakim (salah seorang pendiri Madrasah Sumatra Thawalib di Padang Panjang, Sumatera Barat) menjelaskan bahwa “orang-orang Majusi, Sabean, Hindu, orang China (penganut Kong Hu Cu), dan kelompok-kelompok lain yang sama dengan mereka adalah para pengikut kitab suci (ahl al-kitab) yang mengandung ajaran tauhid dan bersifat samawi (turun dari langit, yakni wahyu Ilahi)”.
Pendapat yang luas juga dikemukakan oleh Muhammad Ali –ulama dari India– yang menyebut bahwa penganut Kristen, Yahudi, Zoroaster, Buddha, Hindu, dan Shikh, adalah Ahli Kitab. Mereka tak termasuk musyrikin, sebab mereka memeluk agama Allah
Pada konteks saat ini, redefinisi dan rekontekstualisasi tentang konsep Ahli Kitab dalam Quran tidak bisa hanya dibatasi kepada Yahudi dan Nasrani (atau sebut saja Kristen, walaupun Kristen saat ini lebih cocok disebut masihiyyun; pengikut al-Masih). Penganut agama Zoroaster, Shabiin, Brahma (Hindu), Buddha, Konfusianisme, atau bahkan semua agama juga bisa dikategorikan sebagai Ahli Kitab. Memang al-Quran tidak menyebutkan komunitas tersebut secara spesifik, namun konten yang mengkategorisasikan mereka juga termasuk sebagai Ahli Kitab bisa kita temukan.
Pada sisi lain, absennya penyebutan mereka dalam al-Quran adalah soal teknis, di samping Yahudi, Nasrani, dan Shabiin menjadi mitra dialog awal al-Quran, secara geografis agama dari kelompok-kelompok tersebut yang paling intens dengan pusat wahyu. Orang-orang Arab belum melakukan ekspansi ke India, Jepang dan China, sehingga agama yang terdapat dalam kawasan tersebut belum dikenal, dan al-Quran tidak mungkin menyebut agama alien (asing) bagi telinga orang Arab sendiri.
Ketika Islam sudah berkembang dan berinteraksi langsung dengan agama-agama besar dunia, maka sudah seyogyanya penyebutan Ahli Kitab diperluas cakupannya pada komunitas-komunitas agama Buddha, Hindu, Konfusianisme, atau bahkan semua agama. Lalu, bagaimana dengan penganut Marxisme? apakah kitab “Das Kapital” yang dijadikan mereka sebagai rujukan, juga mengkategorisasikan mereka sebagai Ahli Kitab? Kami belum menemukan jawabannya.