Richard Dawkins dan Kritiknya terhadap Penciptaan Manusia Pertama serta Pandangan al-Qurthubi
MajalahNabawi.com- Tulisan ini saya mulai dengan beberapa pertanyaan. Apakah benar Adam dan Hawa adalah manusia pertama seperti yang kita yakini? Apakah kita sudah mencari kebenarannya? Atau ini hanya keyakinan yang bersifat doktrinal saja karena kita hidup di lingkungan yang berkeyakinan bahwa Adam dan Hawa adalah manusia pertama?
Dawkins dan Teori Evolusi
Hal ini berusaha dikritisi dan dijawab oleh Richard Dawkins, seorang ilmuwan yang ahli dalam bidang etologi dan biologi evolusi. Dia merupakan seorang ateis yang juga penggemar berat dari Charles Darwin, sang pencetus teori evolusi. Dalam salah satu bukunya yang berjudul The Magic of Reality, Dawkins banyak sekali mengkritik hal-hal berbau agama dan mistisisme. Lalu, ia mencoba memberi jawaban ilmiah-saintifik yang bersifat bantahan terhadap doktrin keagamaan dan kepercayaan.
Dawkins (2011) dalam bukunya menyatakan:
“most chapters in this book are headed by a question. My purpose is to answer the question or at least give the best possible answer, which is the answer of science. But I shall usually begin with some mythical answers because they are colourful and interesting, and real people have believed them. Some people still do.” (chap.2)
Ia mengutarakan bahwa memang dalam bukunya banyak bagian diawali dengan sebuah pertanyaan, lalu dijawabnya dengan jawaban saintifik. Namun, ia terlebih dahulu menyodorkan jawaban-jawaban atau cerita yang sifatnya mistik yang tersebar di masyarakat luas. Tujuannya memang membantah jawaban tersebut dengan fakta ilmiah.
Bantahan Dawkins Adam Manusia Pertama
Saya akan ambil satu contoh yaitu penciptaan manusia yang diawali dengan Adam dan Hawa sebagai manusia pertama. Pemahaman itu banyak tersebar di masyarakat awam. Dawkins membantah dan menerangkan bahwa tidak ada manusia pertama di bumi karena setiap manusia yang dilahirkan harus mempunyai orang tua yang melahirkan manusia tersebut.
Dawkins (2011) dalam argumennya menjelaskan, ketika kita mencoba mengetahui nenek moyang kita, maka setidaknya kita membutuhkan 185 juta generasi untuk mendeteksinya. Ketika kita membayangkan untuk meletakkan foto kita sampai dengan foto nenek moyang kita 185 generasi silam dalam deretan rak–yang kurang lebih mungkin akan menghabiskan sepanjang 40 mil-dan kemudian berjalan menarik satu per satu foto yang bersebelahan untuk dilihat, maka akan kita dapati adanya kemiripan dari satu dengan yang lainnya dari foto yang bersebelahan seperti halnya foto ayah dengan anaknya.
Akan tetapi, ketika berjalan dan mengambil foto pada rak pertama dan kemudian berjalan lagi dengan jarak yang cukup jauh dan mengambil foto pada rak terakhir, maka kita akan mendapati perubahan yang sangat besar. Rak awal yang kita ambil fotonya adalah manusia dan rak terakhir merupakan “spesies lain” dari generasi nenek moyang kita.
Dawkins (2011) menjelaskan bahwa ini merupakan gradual changes atau perubahan bertahap yang apabila kita perhatikan dengan saksama antara satu generasi dengan generasi selanjutnya yang berdekatan maka akan sulit untuk mendeteksi perubahan. Perubahan yang terjadi pasti akan sangat sedikit sekali.
Ia menganalogikan hal ini seperti kita yang dulunya adalah bayi dan sekarang sudah dewasa. Perubahan akan sangat susah terlihat ketika hanya diukur dari jangka waktu yang relatif pendek seperti anak bayi yang baru lahir dengan saat usianya beranjak 3 bulan. Namun, ketika kita membandingkan diri ketika bayi dan saat berusia 50 tahun akan ada perubahan yang sangat signifikan. Perubahan itu pastinya dapat membedakan diri kita pada waktu bayi dengan diri kita pada usia 50 tahun.
Respon al-Qurthubi
Lalu, bagaimana al-Qur’an berbicara mengenai hal ini? Dalam al-Qur’an, terdapat beberapa ayat yang membicarakan topik tentang penciptaan manusia, salah satunya yaitu QS al-Baqarah (1) : 30. Dalam ayat ini, ketika Allah menyampaikan kepada para malaikat bahwa Ia akan menciptakan “khalifah” di muka bumi, mereka merespon dengan rasa pesimistis dan keraguan. Mereka ragu jika nantinya khalifah tersebut akan berbuat kerusakan di muka bumi.
Ini seakan-akan mengindikasikan bahwa malaikat sudah mengetahui perihal makhluk yang akan diciptakan oleh Allah sehingga mereka bisa mengklaim bahwa makhluk tersebut akan berbuat kerusuhan dan kerusakan di bumi. Dalam konteks ini, hal pertama yang harus kita tinjau adalah kata “khalifah” karena kata ini menjadi fokus objek dialog antara Allah dan malaikat-Nya pada ayat 30 surah al-Baqarah.
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an berpendapat bahwa kata khalifah yang dimaksud adalah Nabi Adam a.s.. Ia menegaskan bahwa Nabi Adam a.s. adalah awwalu rasulin atau utusan yang pertama yang akan menegakkan perintah dan hukum Allah di bumi. Pandangan ini ia nisbatkan dari Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, dan juga ahlu al-ta’wil.
Tafsir Kata Khalifah
Kemudian ia menjelaskan kata khalifah secara lebih detail dari sisi linguistiknya.
و ((خليفة)) يكون بمعنى فاعل ، اي : يخلف من كان قبله من الملائكة في الارض، أو من كان قبله من غير الملائكة
Dalam penjelasan itu, Imam al-Qurtubi menjelaskan bahwa kata khalifah dapat bermakna fa’il yaitu subyek yang melakukan pergantian (yakhlufu) dari “generasi” sebelumnya. Dalam konteks ini, masih diasumsikan bahwa generasi yang sebelumnya merupakan malaikat atau bisa juga bukan dari golongan malaikat. Lalu, ia mencoba melakukan eksplorasi lebih dalam dari kata ini.
و يجوز ان يكون (( خليفة )) بمعنى مفعول أي : يُخلَف ، كما يقال : ذبيحة ، بمعنى مفعولة .
Imam al-Qurtubi kemudian menerangkan bahwa kata “khalifah” bisa juga bermakna sebagai objek (yukhlafu) atau bermakna digantikan. Dapat disimpulkan bahwa akan terjadi siklus pergantian dari generasi ke generasi. Ada yang menggantikan dan ada yang akan digantikan.
Dari sini kita melihat bahwa, imam al-Qurtubi menjelaskan dengan sangat gamblang terkait penafsiran kata khalifah yang memang merujuk kepada nabi Adam as. Akan tetapi memang penafsiran terkait ayat ini masih menimbulkan banyak perdebatan pandangan di kalangan ulama tafsir.
wallahu a’lam bi shawwab
Sumber bacaan:
Al- Qurtubhi. (671 H). al-Jami’ li al-Ahkam al-Qur’an. Beirut, Al-Resalah Publisher.
Dawkins, Richard. (2011). The Magic of Reality. London. Transworld Publishers