Rukhsah Qabliyah Magrib dan Waktu Terlarang Shalat
Majalahnabawi.com – Perintah menunaikan shalat dimulai ketika Nabi Saw melakukan mi’raj. Perihal shalat, baik dalam al-Quran maupun Hadis, telah diterangkan waktu pelaksanaannya, sehingga bagi seorang hamba seyogyanya menunaikan shalat sesuai tuntutan waktunya, tidak memajukan waktunya di waktu yang lain dan juga tidak mengakhirkannya. Kecuali jika terdapat uzur syar’i yang mendorongnya menunaikan demikian seperti sedang dalam perjalanan, dan karena lupa atau tertinggal tanpa disengaja.
Waktu Terlarang Melaksanakan Shalat
Di sisi waktu-waktu yang ditentukan bagi setiap shalat, terdapat juga waktu-waktu yang terlarang untuk menunaikannya, ialah pada waktu setelah shalat Shubuh, sebelum matahari meninggi tanda masuk waktu zuhur (qabla zawaal al-syams), seusai shalat Ashar sampai matahari terbenam (masuk waktu Magrib). Kecuali shalat yang terdorong karena sebab terdahulu, seperti shalat gerhana, shalat Tahiyyat al-masjid, shalat jenazah, shalat karena qadha sunnah atau fardhu, dll.
Hal tersebut berdasarkan sabda Nabi Saw, salah satunya yang diriwayatkan oleh ‘Uqbah bin ‘Amir al-Juhaniy dalam Sunan al-Nasa’i hadis no. 560, 565, 2012, Shahih Muslim no. 831, Sunan Abi Dawud no. 3190, Sunan al-Tirmidzi no. 1030, Sunan Ibnu Majah 1519, Sunan al-Darimi 1472, Musnad Ahmad 17377, 17382, dll:
أَخْبَرَنَا سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ، عَنْ مُوسَى بْنِ عُلَيِّ بْنِ رَبَاحٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي يَقُولُ: سَمِعْتُ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ الْجُهَنِيَّ يَقُولُ: ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ، أَوْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ، وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ.
“Tiga waktu yang Rasulullah Saw melarang kita untuk mengerjakan shalat atau mengubur mayyit yaitu: ketika matahari terbit hingga meninggi, ketika bayangan orang sama persis hingga matahari condong ke barat, serta ketika matahari hendak terbenam sampai terbenamnya”. (Sunan al-Nasa’i/kitab Mawaqit/560, shahih menurut Imam al-Nasa’i, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Darimi dalam Sunannya, Muslim dalam Shahihnya dan Ahmad dalam Musnadnya menurut syarat versi Muslim)
Kebolehan Shalat Sebelum Magrib
Dalam Sunan al-Nasa’i, setelah beberapa bab dan nomor dari pada hadis di atas, terdapat bab yang seakan memberikan keterangan lebih lanjut terkait hadis tersebut, yakni bab tentang rukhsah/ kebolehan menunaikan shalat pada waktu-waktu terlarang tersebut, yang mana Rasulullah kerjakan karena sebab dan maksud tertentu. sebagai salah satu contoh ialah bab tentang keringanan menunaikan shalat sebelum Magrib” dalam Sunan al-Nasa’i hadis no. 581, Shahih al-Bukhari no. 1184, Musnad Ahmad 17416, dll:
أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُفَيْلٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عِيسَى، قَالَ : حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْقَاسِمِ، قَالَ: حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ مُضَرَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، أَنَّ أَبَا الْخَيْرِ حَدَّثَهُ، أَنَّ أَبَا تَمِيمٍ الْجَيْشَانِيَّ قَامَ لِيَرْكَعَ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ، فَقُلْتُ لِعُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ: انْظُرْ إِلَى هَذَا، أَيَّ صَلَاةٍ يُصَلِّي. فَالْتَفَتَ إِلَيْهِ فَرَآهُ، فَقَالَ: هَذِهِ صَلَاةٌ كُنَّا نُصَلِّيهَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Riwayat dari Yazid bin Abi Habib bahwa Abu al-Khair menceritakan kepadanya, bahwa Abu Tamim al-Jaisyani melakukan shalat 2 rakaat sebelum Magrib. Kemudian Abu al-Khair berkata kepada ‘Uqbah bin ‘Amir: “Lihat ini, shalat apa yang dia (Abu Tamim) kerjakan?”, kemudian ‘Uqbah bin ‘Amir menoleh kepadanya dan melihatnya, lantas berkata: “Ini shalat yang dulu biasa kami kerjakan pada zaman Rasulullah Saw.
Hadis ini maknanya terlihat umum, shalat 2 rakaat yang dilakukan Abu Tamim dan yang dikatakan ‘Uqbah tidak nampak kejelasannya lebih lanjut, begitu pula pada lafaz “Magrib”. Apakah maghrib di sini ialah masuk waktu magrib yang ditandai dengan azan sehingga terlarang menunaikan shalat sebelum masuknya ataukah yang dimaksud merupakan shalat Magrib sehingga dianjurkan menunaikan shalat rawatib 2 rakaat sebelumnya.
Penjelasan Riwayat Lain
Dalam Hasyiah Imam al-Sindi Syarh Sunan al-Nasa’i hadits no. 582 tersebut, beliau mengatakan:
“وَالظَّاهِرُ أَنَّ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ جَائِزَتَانِ بَلْ مَنْدُوْبَتَانِ وَلَمْ أَرَ لِلْمَانِعِيْنَ جَوَابًا شَافِيًا. وَاللّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ”.
Imam al-Sindi dalam kalamnya tersebut lebih mengkhusukan kata “Magrib” tersebut yaitu dengan kata “shalat” dan ditambahkan dengan keterangan “mandubatani” yakni 2 raakat tersebut ialah shalat yang dianjurkan.
Riwayat al-Bukhari dan Ahmad
Kemudian hadis yang sama dengan redaksi matan yang berbeda oleh Imam al-Bukhari dalam Shahihnya:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ قَالَ: حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي أَيُّوبَ، قَالَ: حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَبِيبٍ، قَالَ: سَمِعْتُ مَرْثَدَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ الْيَزَنِيَّ، قَالَ: أَتَيْتُ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ الْجُهَنِيَّ فَقُلْتُ: أَلَا أُعْجِبُكَ مِنْ أَبِي تَمِيمٍ يَرْكَعُ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ. فَقَالَ عُقْبَةُ: إِنَّا كُنَّا نَفْعَلُهُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قُلْتُ: فَمَا يَمْنَعُكَ الْآنَ؟ قَالَ: الشُّغْلُ.
Martsad bin ‘Abdullah Al-Yazany (Abu al-khair) berkata, “Aku menemui ‘Uqbah bin ‘Amir al-Juhany, lalu aku berkata kepadanya, “Apakah kamu tidak heran terhadap Abu Tamim yang dia shalat dua rakaat sebelum shalat Magrib? Maka ‘Uqbah menjawab,”Kami dulu juga melakukannya pada masa hidup Rasulullah Saw”. Aku berkata, “Lalu apa yang menghalangimu dari mengerjakannya sekarang?. Dia menjawab,”Kesibukan”. (Shahih al-Bukhari/kitab al-Tahajjud bi al-Lail/1184).
Kemudian oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya:
رَأَيْتُ أَبَا تَمِيمٍ الْجَيْشَانِيَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَالِكٍ يَرْكَعُ رَكْعَتَيْنِ حِينَ يَسْمَعُ أَذَانَ الْمَغْرِبِ قَالَ فَأَتَيْتُ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ الْجُهَنِيَّ فَقُلْتُ لَهُ أَلَا أُعَجِّبُكَ مِنْ أَبِي تَمِيمٍ الْجَيْشَانِيِّ يَرْكَعُ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ وَأَنَا أُرِيدُ أَنْ أَغْمِصَهُ قَالَ عُقْبَةُ أَمَا إِنَّا كُنَّا نَفْعَلُهُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ مَا يَمْنَعُكَ الْآنَ قَالَ الشُّغْل
Ketika Abu al-Khair melihat Abi Tamim al-Jaisyani shalat 2 rakaat saat ia mendengar adzan Magrib, kemudian ia (Abu al-Khair) mendatangi ‘Uqbah bin Amir al-Juhany dan bertanya kepadanya,”Maukah jika anda saya buat terheran-heran dengan tindakan Abi Tamim al-Jaisyani?. Ia shalat dua rakaat sebelum shalat maghrib, hingga saya ingin mencelanya,“ ‘Uqbah berkata,”Kami biasa melakukannya pada masa Rasulullah Saw.” Aku lalu bertanya, “lalu apa yang menghalangimu untuk melakukannya sekarang? ‘Uqbah menjawab: “Kesibukan”. (Musnad Imam Ahmad/Musnad orang-orang Syam/17416).
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa maksud dari keringanan shalat sebelum Magrib di sini ialah shalat antara azan dan iqamah atau shalat Qabliyyah, makna umum dari lafaz hadis pada Sunan al-Nasa’i no.582 di atas terkandung kaidah الْعَامُّ أَرَادَ بِهِ الْخَاصّ, lafaz umum yang bermaksud khusus yaitu shalat Maghrib yang tercantum lafaz eksplisitnya pada Shahih al-Bukhari no.1184 dan Musnad Imam Ahmad no. 17416 di atas, bukan waktu masuk Magrib ditandai dengan dikumandangkannya azan yang memang dilarang menunaikan shalat sebelum masuknya, akan tetapi larangan ini tidak bersifat absolut, karena Nabi Saw pernah menunaikan shalat pada waktu tersebut.
قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْعَصْرِ فَشُغِلَ عَنْهُمَا فَرَكَعَهُمَا حِينَ غَابَتْ الشَّمْسُ فَلَمْ أَرَهُ يُصَلِّيهِمَا قَبْلُ وَلَا بَعْدَ
Ketika Mu’awiyyah mengutus seseorang kepada Abdullah bin Zubair terkait shalat 2 rakaat yang dilakukannya sebelum matahari terbenam, kemudian Abdullah mengembalikan hadis kepada Ummu Salamah, maka ia berkata, “Rasulullah Saw shalat dua rakaat sebelum Ashar, lalu beliau sibuk sehingga akhirnya beliau mengerjakannya ketika matahari terbenam. Aku tidak pernah melihat beliau mengerjakan shalat dua rakaat sebelum dan sesudah ini”. (Sunan al-Nasa’i/kitab Mawaqit/581, hadis shahih, imam al-Nasa’i menyendiri dalam meriwayatkan hadis ini dari jalur ‘Utsman bin ‘Abdullah)
Qadha Shalat Sunnah
Shalat yang dilakukan Nabi Saw sebelum terbenamnya matahari pada riwayat di atas, beliau lakukan dalam rangka mengqadha shalat Sunnah Qabliyyah 2 rakaat sebelum Ashar yang belum sempat beliau lakukan karena sibuk, yang mendorong beliau untuk menunaikannya kembali ketika matahari terbenam.
Waktu-waktu yang terlarang menunaikan shalat sejatinya tidaklah bersifat mutlak, shalat-shalat yang terdorong suatu sebab, seperti shalat qadha baik mengqadha yang fardhu atau sunnah sebagaimana yang Nabi Saw lakukan pada hadis di atas masih boleh dilakukan, shalat jenazah, tahiyyat al-masjid dan lain sebagainya
Dari pemaparan di atas, jika diinduksikan dapat dimengerti bahwa Islam benar-benar menawarkan fleksibelitas kepada umatnya tanpa menghilangkan ketentuan-ketentuan dan syariat yang ada. Sesungguhnya sebaik-baik perkara agama kalian ialah yang paling mudah urusannya.