Sanjungan Pembunuhan: Ngaji Hadis Enam Kitab
Setidaknya ada empat atau enam hadis tentang sanjungan yang negatif. Tentunya, enam hadis ini diriwayatkan dengan sanad dan matan yang beragam. Setidaknya ada lima puluh lima jalur untuk enam hadis ini. Tiga jalur untuk hadis pertama, enam belas jalur untuk hadis kedua, enam jalur untuk hadis ketiga, dua puluh jalur untuk hadis keempat, lima jalur untuk hadis kelima, dan lima jalur untuk hadis ke enam. Jadi lima puluh lima, kan? Kenapa empat atau enam hadis? Karena, kemungkinan besar tiga hadis dalam enam itu adalah satu kejadian dan dianggap satu hadis, jadinya kan, empat. Bingung ya? Boleh dibaca lagi pelan-pelan. Latihan akal dan kecermatan. Kalau salah silakan koreksi. Kalau tidak tertarik, tinggalkan saja.
Enam hadis tersebut tersebar di enam kitab. Enam kitab yang dimaksud bukan murni enam kitab populer (al-kutub al-sittah). Melainkan: (1) Sahih al-Bukhari, (2) Sahih Muslim, (3) Sunan Abi Daud, (4) Sunan al-Tirmizi, (5) Sunan Ibn Majah, dan (6) Musnad Ahmad. Tak ada Sunan al-Nasa’i ya? Iya. Pada mulanya judul hendak ditulis “Ngaji Hadis Sembilan Kitab.” Ternyata, bab atau hadis-hadis tentang sanjungan negatif tidak ditemukan dalam Sunan al-Nasai, Musnad al-Darimi, dan Muwatta’ Malik. Jadilah sembilan kurangi tiga sama dengan enam.
Pusing ya, bermain dengan angka? Tapi saya suka matematika. Oke, kita tampilkan hadisnya satu persatu beserta poin-poin kesimpulan yang bisa diambil. Hadis pertama dari Abu Musa al-Asy’ari (42). Hadis ini ditulis dalam tiga kitab: Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, dan Musnad Ahmad dari guru yang sama: Muhammad bin Sabbah (157-227). Hadis ini bertuliskan, “Nabi mendengar seseorang menyanjung orang lain secara berlebihan. Nabi menanggapi, ‘kalian telah membinasakan seseorang (ahlaktum -au qata’tum- zahr al-rajul)’.”
Hadis ini dituliskan dua kali dalam Sahih al-Bukhari. Pertama, dalam kitab al-Syahadat (Kesaksian) bab Ma Yukroh min al-Itnab fi al-Madh (Sanjungan Berlebihan yang Dibenci). Kedua, dalam kitab al-Adab bab Ma Yukroh min al-Tamaduh (Saling Sanjung yang Dibenci). Dalam Sahih Muslim terletak dalam kitab al-Zuhd wa al-Raqa’iq (Tidak Terpengaruh Dunia dan tentang Hal-hal yang Melembutkan Hati) bab al-Nahy ‘an al-Madh iza Kan fih Ifrat (Larangan Menyanjung jika Berlebihan). Ya, meskipun katanya bukan Imam Muslim yang membuat nama-nama bab, melainkan ulama setelahnya, khususnya Imam al-Nawawi. Setidaknya, kita bisa ambil kesimpulan hadis dari Imam al-Nawawi juga. Sementara Musnad Ahmad, karena ditulis dengan tertib nama sahabat, maka tak ada judul fikih di dalamnya. Oke, di antara kesimpulan yang bisa diambil dari hadis ini adalah sanjungan berlebihan tidak disukai.
Hadis kedua dari Abu Bakrah (50). Hadis ini tulis dalam Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abi Daud, dan Musnad Ahmad. Dari enam belas jalur, hanya satu yang melalui Ali bin Zaid (131) dari Abdurrahman bin Abi Bakrah (14-96). Lima belas jalur yang lain melalui Khalid (141) dari Abdurrahman. Sanad yang melalui Ali bin Zaid dianggap lemah meskipun matan tidak jauh beda.
Hadis ini kurang lebih bertuliskan begini, “ada seseorang menyanjung orang lain di sisi Nabi. Ia berkata, ‘wahai Rasulallah, tak ada orang yang lebih utama setelah Rasulillah selain orang ini. Ia begini, dan begitu (menyanjung).’ Nabi menanggapi, ‘heh, kau telah membunuh saudaramu (waihak/wailak qata’ta unuq sahibik).’ Beliau mengatakannya tiga kali. Kemudian, Rasulullah bersabda, ‘jika memang seseorang perlu untuk menyanjung saudaranya, katakanlah, “yang aku tahu, ia begini dan begitu (dengan sanjungan). Tapi apa yang sebenarnya, Allah lah Yang Maha Mengetahui.”‘
Dalam hadis ini tidak hanya terdapat ketidaksukaan, namun Nabi juga memberikan alternatif jika menyanjung memang sedang dibutuhkan seperti dalam perkenalan menuju pernikahan. Ragam jalur dari khalid dan ragam matan telah saya buat dalam bentuk pohon sanad.
Selain dalam bab yang telah disebutkan sebelumnya, hadis ini juga terdapat dalam Sahih al-Bukhari dua bab yang lain. Pertama, dalam kitab al-Syahadat bab Iza Zakka Rajul Rajulan Kafah (Jika seseorang menilai suci orang lain, maka itu cukup sebagai kesaksian). Kedua, dalam kitab al-Adab bab Ma Ja’a fi Qaul al-Rajul: Wailak (Tentang Ucapan Seseorang: Dasar Kamu). Dalam Sunan Abi Daud tertulis dalam Awwal Kitab Adab bab Fi Karahiyat al-Madh (Tentang Sanjungan yang Dibenci). Selain kesimpulan yang telah disebutkan, bisa juga dipahami dari hadis ini tentang kesaksian berupa pujian yang tidak berlebihan bisa dianggap cukup, dan adab penggunaan kata wailak.
Hadis ketiga dari Mihjan bin al-Adra’ (59) dengan jalur Abdullah bin Syaqiq (108) dari Raja’ bin Abi Raja’ dari Mihjan. Enam jalur melalui Abdullah ini hanya tertulis dalam Musnad Ahmad. Kurang lebih tertulis bahwa Mihjan bercerita ketika ia di pintu masjid bersama Nabi, ada seseorang yang sedang salat. Nabi bertanya, “siapa ia?” Mihjan menyanjung orang itu sebagai orang yang paling rajin salat, dan sanjungan-sanjungan yang lain. Nabi menanggapi, “hei, diam! Jangan sampai ia mendengarnya. Bisa saja kamu membuatnya binasa (uskut la tusmi’h fatuhlikah).” Ini beliau ulangi dua atau tiga kali. (Agaknya, ini dengan berbisik agar orang yang sedang salat itu tidak mendengarnya). Lalu beliau membawa Mihjan ke kamar, dan bersabda, “kalian adalah umat yang dikehendaki untuk kemudahan (Innakum ummah urida bikum al-yusr). Agama terbaik kalian adalah yang paling mudah. Agama terbaik kalian adalah yang paling mudah. Agama terbaik kalian adalah yang paling mudah (inna khair dinikum aisaruh).”
Enam jalur sanad ini dianggap lemah. Hanya saja, hadis secara keseluruhan dianggap hasan. Bahkan, Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani menduga keras bahwa hadis Mihjan ini satu kejadian dengan hadis Abu Bakrah dan Abu Musa di atas. Masih dengan kesimpulan bahwa sanjungan berlebihan tidak disukai. Adapun, isi penuh hadis Mihjan ini sebenarnya juga berbicara terkait Dajjal. Namun, akan panjang pembahasan jika tentang Dajjal juga diangkat dalam tulisan ini. Ragam sanad dan matan bisa dibaca di bagan yang telah saya buat.
Hadis keenam dari Muawiyah bin Abi Sufyan (60). Hadis keenam kita bahas terlebih dahulu karena lebih berhubungan dengan hadis sebelumnya daripada hadis keempat dan kelima. Hadis ini tertulis dalam Sunan Ibn Majah kitab al-Adab bab al-Madh dan dalam Musnad Ahmad. Hadis ini berasal dari jalur Sa’d bin Ibrahim (55-125) dari Ma’bad al-Juhani (80) dari Muawiyah. Kurang lebih tertulis bahwa Muawiyah berkhutbah dan sering mengutip sabda Nabi beliau bersabda, “hati-hati dengan saling sanjung. Saling sanjung adalah penyembelihan (iyyakum wa al-tamaduh, fa innah al-zabh).” Sanad hadis ini dianggap sehat (sahih) oleh para muhaqqiq muhaddis.
Masih dengan kesimpulan yang serupa bahwa sanjungan berlebihan tidak disukai. Bahkan, bisa jadi sanjungan membunuh agama dan dunia ia yang disanjung. Ini sebagaimana penjelasan Imam Ibn Hajar. Dalam versi lebih panjang hadis dari Muawiyah ini, juga disebutkan tentang penggunaan harta secara bijak dan kebaikan dalam memahami agama.
Hadis keempat dari al-Miqdad bin al-Aswad (33) (bukan Miqdad al-Farizi ya) dan dari Abu Hurairah (57) sembilan belas jalur dari al-Miqdad, satu jalur dari Abu Hurairah. Imam al-Tirmizi berkomentar bahwa sanad dari Abu Hurairah ini asing (garib). Kurang lebih hadisnya bertuliskan bahwa ketika ada utusan datang ke hadapan khalifah Usman bin Affan (35), utusan itu menyanjung Usman. Dan, al-Miqdad melempar debu ke muka orang itu. Usman bertanya, kenapa kamu lakukan ini? Al-Miqdad menjawab bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wasallam menyuruh untuk melempar debu pada wajah tukang sanjung.
Hadis ini terdapat dalam Sahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan Ibn Majah, Musnad Ahmad, dan Sunan al-Tirmizi pada Abwab al-Zuhd an Rasulillah sallallahu alaihi wasallam bab Ma Ja’a fi Karahiyat al-Midhah wa al-Maddahin (tentang Sanjungan dan Tukang Sanjung yang Dibenci). Hadis ini lebih konkret terkait tanggapan nyata terhadap tukang sanjung. Tentunya, sanjungan dalam konotasi negatif. Adapun makna-makna hadis dijelaskan dalam kitab-kitab syarah, apakah melempar debu itu dipahami sebagaimana adanya, atau secara majaz.
Terakhir hadis ke lima dari Abdullah bin al-Syikhkhir melalui jalur putranya Mutarrif bin Abdillah (1-95). Kurang lebih Abdullah bercerita bahwa ia bersama para utusan Bani ‘Amir menghadap Nabi. Ada seseorang berkata kepada Nabi, “Engkau adalah tuan kami. Engkau tuannya orang-orang Quraisy. Engkau yang paling utama dan paling mulia di antara kami (sanjungan-sanjungan).” Nabi menanggapi, “seseorang hendaklah mengatakan yang seharusnya ia katakan. Jangan biarkan setan membuatnya terhanyut (dengan sanjungan yang berlebihan). (liyaqul ahadukum bi qaulih, wa la yastajirrannah al-syaitan).”
Hadis ini tertulis dalam Sunan Abi Daud dan Musnad Ahmad. Seperti biasa, ragam sanad dan matan bisa dibaca dalam bagan. Ini yang saya maksud ngaji hadis sekalian ngaji kitab secara tematik. Ya, meskipun bukan berarti semua hal tentang hadis telah dibahas, tapi bisa dianggap tuntas untuk membahas hadis dalam enam kitab. Cara ini lebih hemat kosakata dan perbendaharaan nama rawi karena satu riwayat saling menjelaskan riwayat lain. Hemat juga untuk berdiskusi dan mempraktikkan ilmu hadis. Selamat dan terima kasih, mohon maaf.