Santri Milenial Tampil Produktif, Kamu? #1
Majalahnabawi.com – Karena, menjadi insan yang produktif itu sudah menjadi kontrak kita dengan ruh. Sengaja saya memilih istilah itu. Suka ataupun tidak kita memang harus menjadi orang produktif. Pasalnya, hal ini sudah menjadi kontrak dalam perjanjian antara ruh kita dengan Sang Pencipta.
Raja Firaun yang ditenggelamkan di Laut Merah pada dasarnya mengakui kebesaran Tuhan. Mengapa? Begitu ia menghadapi ajal atau kalah melawan realitas, namanya apa kalau bukan tunduk? Cuma, ketundukkan itu dimunculkan karena keterpaksaan atau karena sudah tidak berdaya lagi melawan realitas. Seandainya dia tetap berdaya, mungkin akan tetap melawan atau membangkang.
Maka dari pada itu, kontrak untuk patuh ini ialah dengan kesadaran (beribadah). Kita tidak bisa seperti apa adanya untuk bersujud, karena bahkan bersyukur itu sendiri membutuhkan kreativitas dan kesadaran.
SDM Tidak Sebanding dengan SDA
Maka dari pada itu, ada sedikit gambaran mengenai temuan Bank Dunia tahun 1997 yang mungkin dapat membuka mata kita lebih lebar. Temuan mereka menyimpulkan bahwa kemajuan suatu bangsa di dunia ini memang terkait dengan faktor sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA).
Tetapi yang menjadi menarik di sini adalah ternyata peran SDA hanya 10%. Artinya, dan ini sudah menjadi bukti nyata, negara dengan SDA sekaya apapun belum tentu membuat rakyatnya makmur apabila SDM-nya memble, lagi-lagi karena perannya hanya 10%. Sebaliknya negara dengan SDA yang minus namun didukung oleh SDM yang plus, akan membuat negara itu maju. Contohnya ada banyak, di antaranya Jepang.
Kembali mengenai santri, Pesantren Al-Ittifaq yang lokasinya di Bandung, termasuk lembaga yang sukses mewujudkan produktivitas santri di bidang sosial dan ketahanan pangan. Pesantren ini melakukan pemberdayaan pertanian organik, pemanfaatan lahan dengan efektif. Para santri menjadi pelopor kelompok sayur-mayur yang mengirimkan 3-4 ton sayuran ke berbagai supermarket di Jakarta dan Bandung, dengan frekuensi tiga kali seminggu. Produktifitas seperti ini akan sangat membantu keutuhan ekonomi di era pandemi saat ini.
Terkadang, ketidak-kreatifan kita dalam mengelola SDA, akhirnya membuat kita menjual bahan baku ke luar dengan harga rendah, lalu kita membelinya sebagai barang jadi dengan harga yang tinggi. Mental seperti ini tidak saja merugikan, tetapi juga akan membahayakan dan merusak.
Seperti contoh di atas, santri yang bisa menemukan kehebatannya di dunia pangan membutuhkan keberanian untuk bereksperimen, kegigihan dan kreativitas yang tinggi. Karena semua potensi yang ada di dalam dan di luar diri kita, tidak langsung menjadi prestasi sebelum ada aktualisasi.
Merangkul Peradaban
Di samping itu, bila kita sedikit mengamati sejumlah kecenderungan baru generasi di abad ke-21. Pertama, perdagangan dan pembelajaran melalui internet yang mana orang tidak hanya dapat berkomunikasi cepat ke seluruh penjuru dunia, tetapi mereka dapat berdagang dan belajar secara instan pula.
Kedua, ledakan praktik mandiri di mana kini sedang tumbuh generasi baru yang akan mengubah dunia menjadi berbeda sama sekali dengan sebelumnya, maka kita semakin menegaskan kekhasan kita, semakin ingin mempertahankan bahasa kita dan berpegang teguh pada akar dan kebudayaan kita, layaknya moto yang diajarkan para kyai al-Muhafazhatu ‘alal Qodimis Sholih wal Akhdzu bil Jadidil Ashlah.
Ketiga, tuntutan perubahan pada sekolah yang merupakan salah satu tempat yang selayaknya beradapatasi dengan pembaharuan yang ada, karna di tempat ini pula santri akan ditempa menjadi kreatif, produktif, inovatif dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat yang adil, makmur serta diridhoi Allah SWT.
Jangan sampai Pendidikan kita hanya mampu bermain dengan jargon-jargon kosong yang membuat umat semakin menjauh dari realitas kontekstual atau fakta-fakta sosial yang aktual. Sebelum itu terjadi, mari kita benahi.
Begitu pula, membincang tentang produktivitas, dapat kita bagi menjadi tiga macam, yaitu: produktivitas spiritual, kemudian produktivitas fisik, dan produktivitas sosial. Yang dimaksud ialah bagaimana kemudian spiritual ini mampu mengembangkan produktivitas, seorang santri sudah semestinya memiliki hal ini, energi spiritual sering didapatkan dalam aktivitas sehari-hari seperti ikhtiar (berusaha), berdoa, bertawakkal (menyerahkan kepada Allah) sabar, ihsan dan lain sebagainya.
Produktivitas di bidang spiritual ini menduduki peran sentral guna menjadi tempat kembali dari momok duniawi yang sering membuat kebanyakan orang tertekan, bukankah kita melihat banyak para borjuis (kaum elite) yang dalam keadaan tidak tenang? Iya itu semua karena produktivitas spiritualnya tidak terpatri di dalam diri.
Kemudian produktivitas fisik, menjadi santri yang produktif ternyata sudah menjadi budaya tanpa kita sadari, seringnya perubahan-perubahan terjadi ketika kita bisa mengoptimalkan waktu istirahat, nutrisi, kebugaran yang semuanya itu terikat dengan energi fisik, fokus fisik dan waktu fisik, inilah representasi dari pepatah Arab: al-Aqlus Salim fil Jismis Salim.
Ketiga, produktivitas sosial, inilah yang menjadi aksiologi yang melatarbelakangi santri memiliki produktivitas spiritual dan fisik, bentuknya bisa bermacam-macam namun esensinya hanyalah satu yaitu pelayanan. Menjadi pelayan tidak berarti membahas dikotomi derajat malah sebaliknya bahwa dengan melayani, orang pun akan membalas memberikan pelayanan.
Sebagai muslim kita harus menduduki garda terdepan dalam produktivitas sosial untuk membantu masyarakt keseluruhan. Islam sendiri sudah memberikan dosis yang baik dalam menkonstruksikan sosial, layaknya bagaimana etika terhadapa tetangga, shalat berjamaah, zakat, puasa, menjawab undangan tatkala diundang, menjenguk orang sakit dan yang sejenisnya.
Produktivitas ialah proses, karena perubahan sebenarnya nampak dari usaha-usaha kecil yang kita buat setiap hari. Lalu, di sini juga saya ingin menggarisbawahi bahwa tidak seharusnya kita memaksakan penggunaan istilah produktivitas itu hanya untuk menyebut berbagai aktivitas yang terkait dengan hasil kerja, prestasi materi, solusi duniawi dan sebagainya. Produktivitas juga merupakan istilah spiritual yang bisa menentukan kualitas hubungan kita dengan Allah, terkait fungsi kita untuk bisa menjadi hamba yang bersujud dan bersyukur.