Sarung, Antara Identitas dan Perlawanan

Majalahnabawi.com – Sarung saat ini sering menjadi representasi kalangan nahdliyin. Sebagai kelakar, seorang nahdliyin tanpa sarung perlu dipertanyakan ke-nahdliyian-nya. Karena itu, mereka sering disebut sebagai “kaum sarungan”.

Bagi mereka, sarung memang tak terpisahkan dari aktivitas sehari-hari. Pakaian unik ini bukan hanya sebatas pakaian salat atau mengaji, tapi bisa juga untuk jalan-jalan atau bahkan main sepak bola. Para santri di pesantren sering kali bermain bola tanpa melepas sarung yang dipakainya.

Namun demikian, eksistensi pakaian ini bukan hanya milik nahdliyin atau kaum muslim saja. Sarung juga biasa dipakai oleh beberapa kaum non-muslim di Indonesia. Busana ini juga bisa sebagai identitas nasional atau bangsa. Maksudnya adalah sebagai material culture khas bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain.

Sarung bisa bermakna sebagai penanda jabatan, suatu kehormatan, atau bahkan bisa mengatur perilaku pemakainya. Selain itu, sarung juga menunjukkan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang religius. Sebagai identitas kultural bisa dilihat dalam dua realitas yaitu sebagai yang tetap (being) dan sebagai yang berubah/menjadi (becoming). Dalam hal sarung sebagai identitas kultural terdapat kesamaan dan kesinambungan identitas dengan masa lalu, berupa kesamaan ciri khas, karakter, dan lain-lain di masa lalu, juga terdapat perubahan yang merupakan ketidaksinambungan dengan masa lalu.

Sarung ini selalu berubah. Sebagai being, pakaian ini adalah identitas sejak lama. Kehidupan masyarakat di nusantara sudah mengenal pakaian ini sejak beratus-ratus tahun lalu. Raja-raja di Bali sampai santri di pesantren-pesantren mengenakannya dalam berbagai aktivitas kehidupannya seperti pada upacara adat atau pada kehidupan sehari-hari.

Jika dilihat dari perspektif being ini, eksistensi pakaian ini terlihat sepanjang masa. Sementara dilihat sebagai becoming, sarung terkait dengan masa kini dan masa depan, selalu mengalami perubahan. Sebagaimana bagian dari kebudayaan yang merupakan proses menjadi yang tidak pernah selesai.

Model pakaian ini bersifat dinamis mengikuti selera masyarakat. Identitas tidak pernah berhenti di satu titik. Identitas selalu mengalami perubahan mengikuti perubahan zaman. Inilah sarung dilihat dari penampilan luar yang dinamis mengikuti selera masyarakat konsumen.

Perlawanan

Dalam konteks perjuangan kemerdekaan, pakaian ciri khas santri ini sering dipakai oleh perjuangan dari kalangan tertentu. Di sini, sarung pernah menjadi simbol perlawanan terhadap penjajah. Di era penjajahan Belanda dan Jepang, tak sedikit kaum santri yang mengangkat senjata melawan penjajah. Berperang dengan tetap bersarung menjadi identitas santri patriot dalam perjuangan memerdekakan bangsa dari cengkeraman kolonialisme dan imperialisme.

Pengamat dunia pesantren Agus Sunyoto mencatat, pada kurun waktu 1800 sampai sekitar awal abad ke-20, terdapat sekitar 112 perlawanan berbentuk peperangan konvensional terhadap kolonialisme yang dimotori oleh kalangan pesantren. Uniknya, dalam semua usaha perlawanan tersebut, para pejuang pesantren itu menggunakan busana yang sama. Di pihak lain, sejarah perlawanan dengan menggunakan sarung juga dilakukan oleh Nahdhatul Ulama (NU). Pada tahun 1927, pada muktamar ke-2 NU, para muktamirin yang terdiri dari ulama dan pimpinan pondok pesantren memutuskan bahwa berpakaian menyerupai pakaian penjajah hukumnya adalah haram.

Keputusan ini dimaknai oleh banyak kalangan sebagai puncak perlawanan simbolik yang dilakukan oleh bangsa Indonesia terhadap praktik kolonialisme saat itu melalui busana. Belakangan, kita mungkin pernah menyaksikan beberapa kali presiden Joko Widodo mengenakan sarung. Jokowi tampaknya ingin mempresentasikan dirinya yang dekat dengan kultur nahdliyin yang identik dengan sarung. Di pihak lain, Jokowi tampaknya ingin melakukan perlawanan atas pembakuan dan pembekuan busana presiden selama ini, yang bergaya barat, monoton, dan membuat tubuh tak bisa bergerak lincah. Hal yang sama juga dilakukan Presiden keempat, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang kebetulan santri pesantren, kiai, juga tentu saja nahdliyin. Karena dua tokoh utama negeri itu, sarung pun kini menjadi identitas nasional, termasuk simbol perlawanan terhadap dominasi kultur global, di soal pakaian khususnya.

Similar Posts