Sayyid Al-Habib Idrus ibn Salim Al-Jufri: Ulama Berpengaruh dan Pelopor Pendidikan Islam di Indonesia
Majalahnabawi.com – Sayyid Al-Habib Idrus ibn Salim Al-Jufri, yang sering dikenal dengan nama Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri atau Guru Tua, adalah salah satu tokoh ulama dan spiritual yang sangat dihormati dalam sejarah Islam. Dilahirkan pada 15 Maret 1892 di Hadramaut, Yaman. Beliau meninggal pada 22 Desember 1969. Sepanjang hidupnya, Sayyid Al-Habib Idrus memainkan peran penting dalam penyebaran ilmu agama dan pendirian lembaga pendidikan di Indonesia. Dedikasinya dalam bidang dakwah dan pendidikan menjadikannya sebagai salah satu figur bersejarah yang memberikan dampak besar pada perkembangan Islam di wilayah Indonesia.
Asal Usul Keluarga dan Pendidikan Awal
Sayyid Al-Habib Idrus berasal dari keluarga Al-Jufri, sebuah keluarga yang terkenal dengan warisan keilmuan dan spiritual yang mendalam. Keluarga ini memiliki keturunan langsung dari Sayyidina Husain bin Fatimah Az-Zahra, putri Rasulullah Saw. Latar belakang keluarga ini memberikan fondasi yang kuat bagi Sayyid Al-Habib Idrus dalam mempelajari dan mengajarkan ilmu agama.
Sejak usia muda, Sayyid Al-Habib Idrus menunjukkan kecemerlangan dalam studi agama. Ia mendapatkan pendidikan awal dari para ulama terkemuka di Hadramaut yang dikenal dengan pengajaran fikih, hadis, tasawuf, dan berbagai cabang ilmu Islam lainnya. Dalam proses belajarnya, beliau tidak hanya menguasai ilmu agama tetapi juga mengembangkan pemahaman mendalam tentang berbagai disiplin ilmu Islam. Kecintaan dan dedikasinya terhadap ilmu agama membuatnya dikenal sebagai seorang ahli dan pengajar terkemuka di kalangan masyarakat Hadramaut.
Perjalanan Awal dan Kunjungan Pertama ke Indonesia
Perjalanan Sayyid Al-Habib Idrus ke Indonesia dimulai ketika beliau berusia sekitar 17 tahun. Bersama ayahnya, Habib Salim, beliau berlayar menuju Manado, Indonesia, untuk mengunjungi ibunya, Syarifah Nur Al-Jufri, serta saudara-saudaranya yang telah lebih dahulu berhijrah ke Indonesia. Kunjungan ini tidak hanya merupakan kesempatan untuk bertemu dengan keluarga tetapi juga untuk memulai hubungan yang lebih erat dengan komunitas Muslim di wilayah tersebut.
Setelah beberapa waktu di Indonesia, Sayyid Al-Habib Idrus dan ayahnya kembali ke Hadramaut. Di sana, beliau melanjutkan pengajaran di madrasah yang dipimpin oleh ayahnya dan menikah dengan Syarifah Bahiyah. Dari pernikahan ini, beliau dikaruniai tiga anak: Habib Salim, Habib Muhammad, dan Syarifah Raguan. Keluarga ini menjadi bagian penting dalam perjalanan dakwah dan pendidikan Sayyid Al-Habib Idrus di kemudian hari.
Perjuangan Melawan Penjajahan dan Dedikasi di Palu
Pada awal abad ke-20, Hadramaut mengalami penjajahan Inggris yang memengaruhi kondisi sosial dan politik di wilayah tersebut. Sayyid Al-Habib Idrus, bersama sahabatnya Habib Abdurrahman bin Ubaidillah As-Saqqaf, terlibat aktif dalam perjuangan melawan penjajahan. Mereka memimpin gerakan perlawanan dan berusaha menghidupkan kembali semangat perjuangan di wilayah Arab utara.
Dalam konteks inilah Sayyid Al-Habib Idrus memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Pada tahun 1930, beliau pindah ke Kota Palu, yang pada waktu itu dikenal sebagai Celebes, setelah mendapatkan undangan dari tokoh-tokoh bangsa Arab di daerah tersebut. Keberadaan beliau di Palu merupakan respon terhadap kebutuhan masyarakat setempat yang ingin mendalami agama Islam dengan lebih mendalam.
Pendirian Sekolah Pertama
Sekolah pertama yang didirikan oleh beliau di Kota Palu adalah sekolah Islam yang pertama di daerah tersebut. Sekolah ini kemudian berkembang menjadi banyak cabang, menjelma menjadi ratusan madrasah yang tersebar di berbagai kota dan desa di bagian Timur Indonesia dengan nama “Alkhairaat,” yang diharapkan membawa keberkahan dan manfaat seperti yang sering disebut dalam Al-Quran. Madrasah ini secara resmi dibuka pada 14 Muharram 1349 H, bersamaan dengan 11 Juni 1930.
Peresmian tersebut dihadiri oleh tokoh-tokoh Arab dan beberapa pejabat negara. Dalam perkembangannya, pengelolaan Madrasah sepenuhnya diambil alih oleh Habib Idrus. Beliau menerapkan sistem pendidikan tanpa biaya bagi para siswa, mengikuti model pendidikan Arab yang umumnya tidak memungut biaya. Hal ini memungkinkan murid-murid untuk lebih fokus dalam belajar. Habib Idrus menanggung gaji guru dan staf sekolah dari hasil berdagang. Meski menghadapi pengawasan ketat dari pemerintah kolonial Belanda, yang khawatir pendidikan agama bisa mempengaruhi pemikiran rakyat, Madrasah Alkhairaat terus beroperasi dan memberikan kontribusi signifikan dalam penyebaran ilmu agama di wilayah tersebut.
Strategi Pengembangan dan Kontribusi Sosial
Dalam upaya untuk memastikan keberhasilan pendidikan di Palu, Sayyid Al-Habib Idrus mengadaptasi berbagai strategi. Salah satunya adalah dengan menikahi Intje Ami Dg. Sute, seorang bangsawan Putri Kaili yang juga berperan penting dalam pengembangan Yayasan Alkhairaat. Dari pernikahan ini, beliau dikaruniai dua puteri: Syarifah Sidah Aljufrie dan Syarifah Sa’diyah Aljufrie. Peran serta keluarga ini sangat penting dalam mendukung upaya dakwah dan pendidikan beliau di Indonesia.
Sayyid Al-Habib Idrus menerapkan sistem pendidikan yang tanpa biaya untuk murid-muridnya, mengikuti model pendidikan Arab yang umumnya tidak memungut biaya dari siswa. Beliau menyediakan gaji untuk para guru dan staf sekolah dari hasil berdagang, memastikan bahwa pendidikan yang diterima oleh para siswa tidak dibebani oleh biaya yang tinggi. Hal ini memungkinkan para murid untuk lebih fokus dalam belajar dan mendalami ilmu agama.
Warisan dan Pengaruh Jangka Panjang
Setelah wafatnya pada 22 Desember 1969, Sayyid Al-Habib Idrus meninggalkan warisan yang sangat berharga. Beliau telah membangun sekitar 420 madrasah yang tersebar di seluruh wilayah Palu dan sekitarnya. Setiap tahun pada 12 Syawal, umat Islam dari berbagai daerah di Indonesia Timur dan Barat berkumpul di Palu untuk menghadiri haul (peringatan wafat) beliau. Acara ini merupakan kesempatan bagi umat Islam untuk mengenang perjuangan dan dedikasi beliau dalam dakwah dan pendidikan.
Haul tahunan ini tidak hanya merayakan pencapaian dan pengaruh beliau, tetapi juga mengingatkan umat Islam tentang komitmen beliau terhadap ilmu dan amal. Syair-syair dalam bahasa Arab yang ditulis oleh beliau sering dibacakan saat perayaan haul, menambah kekayaan warisan spiritual dan intelektual yang beliau tinggalkan. Kegiatan ini menjadi momen penting untuk merefleksikan nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh Sayyid Al-Habib Idrus.
Sayyid Al-Habib Idrus ibn Salim Al-Jufri adalah contoh ulama yang menggabungkan kebijaksanaan dengan kearifan spiritual. Dedikasi beliau dalam mendirikan lembaga pendidikan Islam, perjuangan melawan penjajahan, dan penanaman nilai-nilai moral dan etika telah memberikan dampak yang mendalam bagi masyarakat di Indonesia. Warisan beliau, baik dalam bentuk lembaga pendidikan maupun nilai-nilai luhur yang beliau tanamkan, terus mempengaruhi dan membimbing generasi demi generasi. Hingga hari ini, ajaran dan perjuangan beliau tetap menjadi sumber inspirasi dan teladan bagi umat Islam di seluruh dunia. Perjalanan hidup dan kontribusi beliau menjadi bukti nyata dari komitmen dan dedikasinya terhadap penyebaran ilmu agama dan pembangunan masyarakat.