Sederhana ala Rasulullah ﷺ
Majalahnabawi.com- Sederhana ala Rasullah merupakan salah satu pelajaran berharga akan kepribadiannya. Mempelajari pribadi Nabi Muhammad Saw tidak akan habis tertuang dalam seribu bahasa dan tinta. Perilakunya tidak akan mampu tergambarkan dalam seribu judul dan kisah. Namun, sebagian dari kepribadiannya tetap ditulis oleh tangan tangan brilian para ahli Hadis.
Ada yang menulis tentang Nabi Saw sebagai pengemban wahyu, sehingga melahirkan kitab-kitab Mushannaf, Musnad, al-Jami, Sunan, dan Mu’jam sebagaimana yang Imam Ibn Abu Syaibah, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan lainnya lakukan. Uniknya, ada yang menulis khusus tentang karakter fisik Nabi Saw, seperti al-Syama’il al-Nabawiyah karya Imam al-Tirmidzi. Bahkan, ada juga dari mereka yang menulis tentang Nabi Saw dari sisi kesederhanaan, sehingga membuahkan kitab al-Zuhd dan al-Raqa’iq. Ini seperti yang Imam Ibn al-Mubarak, Ahmad bin Hanbal, Ibn Abu al-Dunya, dan al-Baihaqi lakukan. Begitu juga terdapat kitab al-Sirah Ibn Hisyam yang memuat kisah Nabi Saw dari masa kelahiran Nabi Saw sampai wafatnya. Semua kitab ini ditulis dengan penyebutan transmisi periwayatan yang lengkap.
Berbagai Kitab yang Memaparkan Kepribadian Nabi Saw
Sesuai perkembangan zaman, al-Qadhi ‘Iyyadh al-Maliki (w. 544 H) menulis kitab al-Syifa bi-Ta’rif Huquq al-Mushthafa dengan lebih komprehensif dari beberapa sisi kepribadian Nabi Saw namun tanpa menyebutkan sanad yang panjang tersebut. Selain menyebutkan kepribadian Nabi Saw yang mulia dan sederhana, ia juga mengulas tentang hak-hak Nabi Saw yang menjadi kewajiban orang beriman. Al-Qadhi ‘lyyadh juga membicarakan Nabi Saw sebagai pesuruh Allah dan manusia biasa, dan hukum menghina Nabi Saw. Karya yang tergolong berbeda pun lahir oleh Imam al-Suyuti (w. 911 H.) dengan menulis al-Khasha’ish al-Kubra. la menukil hal-hal yang istimewa dari Nabi Saw, tetapi tidak pantas pada diri selainnya, seperti tabarruk (ambil keberkahan) oleh para sahabat dengan menggunakan rambut, air ludah, air seni, air keringat dan darah Nabi ﷺ.
Pada masa kontemporer, Abu al-Hasan al-Nadawi menyumbangkan karyanya al-Sirah al-Nabawiyah. Dan al-Mubarakfuri juga lakukan hal tersebut sehingga melahirkan karya al-Rahiq al-Makhtum. Dua tokoh tersebut memaparkan kepribadian Nabi Saw dengan pendekatan sejarah dan sosial yang rapi. Ini sedikit berbeda dengan Fiqh al-Sirah karya al-Syahid Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, yang mencoba menggali aspek filosofis yang tersirat dalam semua perjalanan sejarah kenabian.
Terlepas dari semua perbedaan metode dan sistematika yang muncul dari kitab-kitab tersebut, hampir semuanya menyentuh aspek kesederhanaan sang pesuruh Allah tersebut. Tidak sedikit yang mempunyai asumsi bahwa kesederhanaan Nabi Saw dikarenakan kemiskinan. Benarkah asumsi ini? Marilah ikuti ulasan berikut ini.
Kesederhanaan vs Kemiskinan
Sebagai sosok yang mendedikasikan dirinya untuk Allah dan umat, Nabi Muhammad Saw selalu berperilaku seperti seorang hamba, bukan seperti raja atau hartawan. Ini terlihat dari beberapa laporan dari para sahabat.
Dalam hal ini, Imam Ibn al-Mubarak mengisahkan dalam kitab al-Zuhd bahwa ketika Abu Hurairah diberikan hidangan roti yang terbuat dari tepung gandum terbaik (khubz muraqaqq). Sajian ini bukannya membangkitkan selera sahabat Nabi Saw tersebut, tetapi malah air matanya berlinang sembari mengenang Nabi Saw. Ia berkata: “Tidaklah pernah kekasihku Muhammad memakan roti seperti ini”.
Imam al-Bukhari juga menyebutkan kisah yang sama terjadi pada Anas bin Malik, pelayan Nabi Saw. Ini sebagaimana diceritakan oleh tabi’in senior seperti Qatadah: “Kami berada bersama Anas bin Malik. Di majlis kami terdapat banyak roti yang berkualitas bagus. Tetapi, Anas bin Malik malah terkenang kesederhanaan Nabi Saw dengan berkata, “Nabi Saw tidak pernah memakan roti seperti ini sama sekali”.
Tidak jarang setelah membaca kisah ini, muncul asumsi bahwa Nabi Saw sangatlah miskin. Tetapi mungkin juga ada yang berpikir bahwa Nabi Saw adalah seorang yang sederhana. Sebenarnya kemiskinan dan kesederhanaan itu jauh berbeda, bahkan bertolak belakang. Karena Nabi Saw bukanlah orang yang miskin. Hal ini dapat terlihat dari pernikahan pertamanya dengan mahar puluhan onta. Apalagi setelah diangkat menjadi rasul, Nabi saw mendapatkan hak harta rampasan perang dengan jumlah yang besar, yaitu khumus (seperlima). Ini adalah jumlah yang sangat besar. Seandainya Nabi Saw ingin hidup “sedikit” mewah, maka tidak akan mengurangi kekayaannya. Namun Nabi Saw memilih hidup sederhana dan bersahaja.
Peran harta ghanimah pada konstruksi ekonomi masyarakat pada masa pra-modern termasuk zaman Nabi Saw adalah sesuatu yang sangat berarti dalam merubah nasib. Ini terlihat dari Hadis Nabi Saw, “Berjihadlah, niscaya kalian mendapatkan harta rampasan perang”. Periwayat Hadis ini dinilai kredibel (rijal al-tsiqat) oleh Imam al-Haitsami. Apabila bagian perorangan dari peserta jihad dapat meningkatkan aset ekonomi mereka, maka khumus yang diperoleh Nabi ﷺ tentu jauh lebih memungkinkan beliau menjadi “super kaya” atau milyarder.
Beberapa Sifat Nabi yang Terlihat Miskin dalam Kesederhanaannya
Tetapi, roman kekayaan Nabi Saw tidak pernah tertulis satu pun dalam kitab Hadis maupun sirah. Namun sebaliknya, justru kesederhanaan yang terlihat di dalamnya. Apabila diperhatikan, maka ada beberapa sifat Nabi Saw yang menyebabkan dirinya terlihat miskin dalam kesederhanaannya. Pertama, Nabi Saw bukanlah sosok pemimpin yang suka memperkaya diri. Bahkan, Nabi Saw tidak membiarkan satu barang berharga pun tertimbun di rumahnya. Jika ada, maka Nabi Saw langsung menyedekahkannya. Dalam hal ini, Uqbah bin ‘Amir menyebutkan bahwa suatu ketika Nabi Saw melaksanakan salat. Namun ada yang ganjil dari perilaku Nabi Saw saat itu. Biasanya Nabi Saw duduk sejenak untuk membaca zikir-zikir atau memberikan bimbingan kepada para sahabat. Tetapi, saat itu Nabi Saw dengan muka yang cemas langsung berdiri setelah mengucapkan salam sebagai tanda penutup salat. Lalu, beliau berjalan menembus saf-saf dengan berjalan di antara bahu para sahabat.
Beberapa saat setelah itu, Nabi Saw kembali ke mihrab di tengah kebingungan para sahabat sembari memberikan penjelasan. “Aku teringat sepotong emas di kamarku, maka aku tidak suka jika ada sesuatu yang menyita pikiranku. Oleh karena itu, aku memerintahkan agar barang berharga tersebut disedekahkan” Nabi Saw. Kisah ini disebutkan oleh Imam al-Bukhari dalam Sahih al-Bukhari. Kejadian ini menyiratkan pesan bahwa, Nabi Saw tidak pernah membiarkan satu barang berharga pun di rumahnya. Apabila seorang nabi yang terpelihara dari dosa terganggu oleh harta yang sedikit, bagaimanakah dengan umatnya saat ini yang setiap hari berusaha menumpuk harta. Tentu, hal tersebut membuat hati manusia yang tidak ma’shum lebih tersita memikirkan harta yang mereka kumpulkan. Wajar jika dalam beribadah pada masa ini menjadi sesuatu yang langka.
Nabi Saw Tak Pernah Menolak Siapapun
Kedua, Nabi Saw tidak pernah menolak siapa pun yang meminta sesuatu darinya. Imam al-Bukhari dalam Sahih al-Bukhari pada bagian kitab al-libas meriwayatkan kisah seorang perempuan yang menenun sendiri suatu pakaian untuk Nabi Saw. Pada saat itu, beliau terlihat memang membutuhkan pakaian. Lalu, Nabi Saw memakainya salat. Setelah salat, tiba-tiba ada seseorang yang berkata kepadanya, “Wahai Rasul Allah, kenakanlah pakaian tersebut kepadaku”. Setelah itu, Nabi Saw kembali duduk di tempat duduknya sejenak, lalu memberikannya pakaian baru itu kepada sahabat yang meminta. Pemandangan kurang wajar ini membuat para sahabat yang lain memarahi orang tersebut, “Pantaskah permintaanmu ini? Bukankah kamu tahu bahwa Nabi Saw tidak pernah menolak orang yang meminta. Tetapi sahabat tersebut memberikan jawaban yang mengejutkan, “Aku meminta pakaian yang dikenakan Nabi Saw tersebut, untuk menjadi kafanku kelak saat meninggal”. Kisah ini, disamping ‘menyebalkan’ juga mengharukan. Ternyata sahabat si peminta tersebut hanya ingin dikafani dengan pakaian yang pernah oleh Nabi Saw.
Terlepas dari muatan yang mengharukan tersebut. Pernyataan kedermawanan Nabi Saw bukanlah berasal dari klaimnya sendiri, tetapi pengakuan dari para sahabat. Beliaulah orang yang la yarudd al-sa’il (tidak pernah menolak orang yang meminta) sebagaimana ungkapan para sahabat. Bahkan tanpa ada yang meminta pun, Nabi Saw sangat dermawan, apalagi pada bulan suci Ramadan. Kedermawanannya pun oleh Sayyidah Aisyah sebutkan seperti angin lepas (al-rih al-mursalah).
Ketiga, Nabi Saw adalah sosok pemimpin yang suka menghormati tamu dengan memberikan mereka hadiah yang berharga. Imam Muslim menyebutkan bahwa suatu kali ‘Umar bin al-Khaththab pernah mengusulkan agar Nabi Saw memberikan hadiah kepada para tamu negara, baik muslim maupun masih musyrik. Lalu, Nabi Saw membeli sutera yang halus untuk dibagikan kepada setiap tamu yang datang. Namun, beliau tidak memakainya sama sekali.
Keempat, Nabi Saw berdoa agar dihidupkan dan diwafatkan dalam keadaan miskin. Ini sebagaimana ditemukan dalam riwayat Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak dengan kualitas yang disepakati kesahihannya oleh Imam al-Dzahabi. Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan bahwa Nabi Saw pernah berdoa, “Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai orang miskin. Wafatkanlah aku dalam keadaan miskin. Kumpulkanlah aku di padang Mahsyar bersama orang miskin. Sesungguhnya orang yang paling sengsara adalah siapa yang miskin di dunia dan tersiksa di akhirat”.
Alasan Nabi Saw untuk Tetap sebagai Orang Miskin
Sebenarnya, alasan sederhana Nabi Saw bermohon agar dihidupkan dan diwafatkan sebagai orang miskin adalah doa yang ketiga dari Hadis tersebut, yaitu berkumpul di padang Mahsyar dengan orang miskin. Orang miskin karena hartanya sedikit dihisab lebih mudah sehingga terlebih dahulu masuk surga daripada orang kaya. Ini sesuai dengan apa yang Imam al-Thabrani riwayatkan dalam Mu’jam al-Awsath dengan riwayat yang dinilai bagus oleh al-Haitsami menyebutkan bahwa Umar bin al-Khaththab mengirim surat kepada Mu’adz bin Jabal yang sedang menjabat sebagai gubernur di luar Madinah. Salah satu isi dari surat tersebut adalah sabda Nabi Saw: “Sesungguhnya para nabi memasuki surga dua ribu tahun lebih dahulu sebelum Nabi Daud dan Nabi Sulaiman, sedangkan orang miskin dari kalangan muslimin masuk surga 40 tahun sebelum orang-orang kaya mereka”.
Hadis ini menunjukkan bahwa ajaran kesederhanaan Nabi Saw diajarkan kembali oleh ‘Umar bin al-Khaththab kepada para pejabat di bawahnya.’Umar ingin mengatakan bahwa jika Nabi Daud dan Sulaiman yang kaya dengan harta yang halal tertunda masuk surga karena kekayaan mereka, maka bagaimanakah nasib para koruptor yang kaya dengan harta yang haram?
Dengan demikian, kesederhanaan Nabi Saw bukanlah kemiskinannya. Tetapi kesederhanaan tersebut adalah karena kesadaran tinggi yang berpandangan jauh ke masa depan yang hakiki, yaitu nasib di akhirat kelak. Sederhana ala Rasullah inilah yang jarang terlihat dari sosok para pemimpin maupun masyarakat biasa di masa ini. Meskipun tidak sanggup mengikuti kepribadian Nabi Saw secara utuh, kita masih dapat mengambil semangat kesederhanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu A’lam.