Sejarah Tafsir Al-Quran

Majalahnabawi.com – Tafsir al-Quran tidak langsung terbukukan pada masa Nabi, tetapi ada perkembangan sampai terbukukan. Berikut perkembangan tafsir al-Quran.

Tafsir Al-Quran pada Masa Nabi Muhammad Saw

Allah menurunkan al-Quran melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw dengan berbahasa Arab. Bahasa Arab menjadi bahasa al-Quran, karena kaum yang menjadi tujuan pertama untuk menyampaikan syariat/ajaran al-Quran itu adalah kaum yang berbahasa Arab.

Nabi Muhammad Saw setiap menerima ayat al-Quran, beliau langsung menyampaikannya kepada para sahabatnya dan menafsirkan yang perlu ditafsirkan. Penafsiran Nabi Muhammad Saw terhadap ayat al-Quran adakalanya dengan ayat al-Quran pula dan adakalanya dengan Hadis/Sunnah, baik dengan sunnah qauliyyah, dengan sunnah fi`liyyah maupun dengan sunnah taqririyyah. Penafsiran ayat al-Quran dengan ayat al-Quran merupakan jalan penafsiran yang paling baik.

Tetapi, tafsir dari Nabi Muhammad Saw sedikit sekali. Aisyah bintu Abī Bakar, istri Nabi sendiri mengatakan bahwa: Nabi Muhammad Saw menafsirkan hanya beberapa ayat al-Quran sesuai dengan petunjuk-petunjuk dari Malaikat Jibril.

Tafsir Al-Quran pada Masa Sahabat

Sahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw yang paling terkemuka dalam bidang tafsir sebanyak 10 (sepuluh) orang, yaitu: 1) Abu Bakar al-Siddīq (573 – 634 M), 2) ‘Umar bin al-Khaţţāb, 3) ‘Uśmān bin ‘Affān (577 – 656 M), 4) ‘Ali bin Abī Ţālib (600 – 661 M), 5) ‘Abdullah bin ‘Abbās (w. 687 M), 6) ‘Abdullah bin Mas’ūd (w. 625 M), 7) Ubay bin Ka’ab (w. 642 M), 8) Zaid bin Tsābit (611 – 655), 9) Abu Mūsā al-Asy‘arī dan 10) ‘Abdullah bin Zubair.

Empat orang pertama dari sahabat-sahabat tersebut pernah menjadi khalifah. Akan tetapi, di antara keempat khalifah ini yang paling banyak menafsirkan al-Quran adalah ‘Ali bin Abī Ţālib. Mengapa demikian? Karena dia sangat erat hubungannya dengan Nabi Muhammad Saw, dia menantu Nabi, dia juga belakangan meninggal daripada khalifah lainnya.

Sedangkan sahabat yang paling banyak menafsirkan al-Quran adalah ‘Abdullah bin ‘Abbās, ‘Abdullah bin Mas‘ūd dan Ubay bin Ka‘ab. Kemudian setelah ketiga sahabat ini adalah Zaid bin Śābit, Abu Mūsā al-Asy‘arī dan ‘Abdullah bin Zubair.

Sahabat yang terkenal pula dalam bidang tafsir walaupun tafsirnya tidak sebanyak dengan tafsir sahabat yang telah disebutkan di atas yaitu: Abu Hurairah, Anas bin Mālik, ‘Abdullah bin Dīnār, Jābir bin ‘Abdullah dan ‘Aisyah.

Pemahaman Sahabat Terhadap Al-Quran

Bagi sahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw tidaklah sulit untuk mengetahui tafsir ayat al-Quran, karena: Pertama, mereka menerima al-Quran dan mengetahui tafsirnya secara langsung dari Nabi Muhammad Saw. Kedua, mereka menyaksikan secara langsung turunnya dan sebab turunnya ayat al-Quran. Ketiga, al-Quran diturunkan dengan menggunakan bahasa mereka yaitu bahasa Arab.

Walaupun demikian para sahabat tidaklah memahami semua ayat al-Quran, karena tidak semua ayat al-Quran telah Nabi Muhammad Saw tafsirkan hingga beliau wafat. Di samping itu juga, para sahabat tidak semua mengetahui semua bahasa Arab yang al-Quran gunakan. Memang tidak semua kata dari bahasa suatu negara dapat diketahui oleh setiap warganya. Al-Quran sebagai sumber utama syariat Islam harus difahami dan diamalkan dan harus pula memberi solusi terhadap persoalan kehidupan yang semakin kompleks seiring dengan perkembangan umat Islam, maka para sahabat berupaya menafsirkan al-Quran, baik menafsirkan al-Quran dengan al-Quran, ataupun menafsirkan al-Quran dengan Hadis atau menafsirkan al-Quran dengan pendapat sahabat sendiri ataupun menafsirkan al-Quran dengan keterangan dari ahlu kitab.

Jadi, pada masa sahabat terdapat empat sumber penafsiran, yaitu:

  1. Penafsiran dengan al-Quran.
  2. Penafsiran dengan Hadis.
  3. Penafsiran dengan ra’yu (pendapat) sahabat.
  4. Penafsiran dengan keterangan dari ahlu kitab yang biasa disebut dengan isrāiliyyah.

Semua sahabat sepakat mengenai penafsiran al-Quran dengan al-Quran dan penafsiran al-Quran dengan Hadis. Bahkan penafsiran al-Quran dengan al-Quran merupakan jalan penafsiran yang paling baik. Sedangkan mengenai penafsiran al-Quran dengan ra’yu dan penafsiran al-Quran dengan keterangan dari ahlu kitab, tidaklah semua sahabat menyepakatinya. Jadi, sebahagian sahabat hanya menafsirkan al-Quran dengan al-Quran atau dengan Hadis dan sebahagian lainnya, di samping menafsirkan al-Quran dengan al- Qur’an atau dengan Hadis, mereka juga menafsirkan al-Quran dengan ra’yu atau dengan keterangan dari ahlu kitab.

Tafsir Al-Quran pada Masa Tabi‘in

Setelah periode pertama berakhir yang ditandai dengan berakhirnya generasi sahabat, maka mulailah periode kedua atau periode tabi‘in yang belajar dan menerima langsung riwayat dari sahabat. Para tabi‘in yang termasyhur dalam ilmu tafsir adalah murid- murid Ibnu ‘Abbas, murid-murid Ibnu Mas‘ud dan murid-murid Ubay bin Ka‘ab.

Murid-murid Ibnu ‘Abbas yang termasyhur, Yaitu: Mujāhid bin Jabar, ‘Aţā’ bin Abī Rayāh, ‘Ikrimah, Sa‘īd bin Jubair, Ţāwūs.

Sedangkan murid-murid Ibnu Mas‘ud yang termasyhur, yaitu: ‘Alqamah bin Qais, Masrūq bin al-Ajda‘, al-Aswad bin Yazid, Murrah bin al-Hamdanī, ‘Amir al-Sya‘bī, al-Hasan al-Başrī dan Qatādah.

Adapun murid-murid Ubay bin Ka‘ab yang termasyhur, yaitu: Zaid bin Aslam, Abu al-’Āliyah dan Muhammad bin Ka’ab al-Qarazī. Kalau sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw yang ahli di bidang tafsir menafsirkan Al-Quran dengan ijtihadnya atau dengan pendapatnya, maka tabi`in yang ahli di bidang tafsir juga menafsirkan Al-Quran dengan ijtihadnya. Dengan demikian sumber penafsiran pada masa tabi`in yaitu:

  1. Penafsiran dengan Al-Quran.
  2. Penafsiran dengan Hadis.
  3. Penafsiran dengan pendapat sahabat.
  4. Penafsiran dengan pendapat tabi`in sendiri.
  5. Penafsiran dengan keterangan dari ahli kitab yang biasa disebut dengan isrāiliyyah.

Kedudukan Penafsiran Tabiin

Ulama berbeda pendapat dalam menyikapi penafsiran tabiin ketika tidak ada riwayat dari Rasulullah saw atau dari sahabt. Ada dua sikap ulama terhadap penafsiran tabiin yaitu: menerima atau menolak. Ulama menolak penafsiran tabiin dengan alasan:

  1. Tidak adanya kemungkinan seorang tabiin mendengar langsung dari Rasulullah Saw.
  2. Tabiin tidak menyaksikan berbagai kondisi mengenai turunnya ayat al-Quran, sehingga kemungkinan mereka salah dalam memahami maksud ayat.
  3. Status tabiin tidak dinaskan seperti status adil para sahabat. Abu Hanifah berkata: Apa yang datang dari Rasulullah Saw, maka aku terima bulat-bulat. Apa yang datang dari sahabat, maka aku pilah- pilah. Apa yang datang dari tabiin, maka mereka manusia dan akupun manusia.

Akan tetapi, umumnya mufassir berpendapat bahwa ucapan tabiin dalam bidang tafsir dapat diterima sebagai acuan, karena tabiin mengutif sebagian besar penafsiran sahabat. Sebagaimana kata Mujahid bahwa: Aku membaca mushaf di hadapan Ibnu `Abbās sebanyak tiga kali, dari surah al-Fātihah sampai surah al-Nās. Aku berhenti pada setiap ayat dan menanyakan kepadanya.

Karakteristik Tafsir Periode Tabiin

Banyak mengambil kisah isrā`iliyyah. Hal ini terjadi karena banyaknya ahli kitab masuk Islam, dan dipikiran mereka masih melekat ajaran kitab suci mereka, khususnya yang ada hubungannya dengan hukum syariat seperti awal penciptaan.

Tafsir masih menggunakan sistem periwayatan, namun bukan periwayatan dalam arti komprehensif seperti pada masa Rasulullah Saw, melainkan periwayatan yang terbatas pada figur. Misalnya, Ulama Mekah hanya menaruh perhatian kepada riwayat Ibnu `Abbās, ulama Madinah hanya menaruh perhatian kepada riwayat Ubay bin Ka‘ab, dan ulama `Irak hanya menaruh perhatian kepada riwayat Ibnu Mas‘ūd.

Banyaknya perbedaan pendapat di antara tabiin dalam penafsiran, walaupun perbedaan pendapat mereka lebih sedikit bila dibandingkan dengan perbedaan pendapat yang terjadi sesudahnya.

Pada masa tabiin telah muncul benih-benih perbedaan mazhab. Karena itu, sebagian tafsir tampak mangusung mazhab-mazhab itu di dalamnya.

Tafsir pada Masa Kodifikasi

Periode ini dimulai di akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal masa pemerintahan Abbasiyah. Karya tafsir termasuk yang paling tua yang sampai ke tangan generasi sekarang dan ditulis oleh pengarangnya sendiri adalah sebahagian dari kitab al-Wujuh wa al-Nazair karya Muqatil ibn Sulaiman al-Balkhi seorang tabi’ al-tabiin.

Selain karya tersebut, Muqatil juga menulis beberapa karya tafsir yang lain separti Tafsir al-Khamsumi’ah ayat, kitab Mutasyabih al-Quran, kitab Nawadir al-Tafsir dan al-Tafsir al-Kabir.

Penafsiran al-Quran secara keseluruhan baru bermula pada abad ke-4 hijriah. Ini pertama kalinya dipelopori oleh Ibn Jarir al-Tabari yang menulis Jami al-Bayan fi Tafsir al-Quran. Di dalam karyanya, Beliau menggunakan sistem isnad untuk menafsirkan al-Quran dengan tujuan agar penafsiran itu tidak sewenang-wenang dan tetap bersandar kepada penafsiran yang dapat dipertanggung jawabkan. Dalam menafsirkan al-Quran, Imam al-Tabari mengumpulkan berbagai hadis, pernyataan para sahabat dan tabiin dengan menyebutkan riwayat dan sanadnya.

Similar Posts