Serangan dan Ancaman Terhadap Kerukunan Umat

MajalahNabawi.com- #bombunuhdiri rupanya mengisi daftar trending twitter per hari minggu [28/03/21]. Pasalnya, pagi hari itu Indonesia dikejutkan dengan bom yang tetiba meledak di depan Gereja Katedral Makassar. Mirisnya, pelaku yang teridentifikasi berinisial L tersebut melancarkan aksinya bersama sang istri. Polisi menerangkan bahwa pelaku tergabung dalam golongan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT). Untuk kesekian kalinya, teror yang mengatasnamakan agama kembali mencoreng nama baik agama tersebut, Islam.

Islam seakan dicitrakan berbanding terbalik dengan misinya sebagai agama penebar kedamaian. Penampilan tersebut dinodai dengan adanya teror di depan publik, bom di tempat-tempat peribadatan, hingga tak sedikit pelaku yang rela mengorbankan nyawanya dan nyawa orang tak bersalah.

Agaknya, masih ada yang memahami bahwa selain muslim berarti kafir, maka dari itu wajib untuk diperangi. Seolah kata kafir yang melekat pada diri orang lain menjadi legitimasi kebolehan seorang muslim bertindak sesuka hati. Jika pemahaman sempit ini masih beredar luas di masyarakat, maka dikhawatirkan akan adanya disintegrasi bangsa yang berdampak pada kesenjangan sosial, konflik, hingga permusuhan antar umat beragama.

Sebagai upaya mereduksi pemahaman tersebut, para ulama acap kali menggaungkan tema persaudaraan sebangsa dan setanah air dalam mimbar-mimbar, buku, diskusi dan juga seminar. Diantaranya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA., dalam bukunya Kerukunan umat dalam perspektif al-Qur’an dan Hadis (2000), dan Islam antara perang dan damai (2010), ia menegaskan pentingnya menjaga persaudaraan antar umat yang dititahkan al-Qur’an dan dicontohkan Rasulullah Saw. Serta menampik pemahaman mengenai kebolehan memerangi setiap non-muslim.

Setidaknya ada 3 poin penting yang bisa kita ambil dari buku tersebut. Yaitu:

  1. Interaksi Nabi Muhammad Saw dengan kaum Yahudi, Nasrani, dan masyarakat setempat

Beragam literatur Hadis menggambarkan keakraban Nabi Saw dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Sebut saja Mukhairiq, seorang pendeta Yahudi yang ikut dalam perang Uhud melawan musyrikin. Disana ia sebagai pasukan yang berpihak kepada Rasulullah Saw. Tak hanya itu, ia juga mewasiatkan seluruh hartanya kepada Rasulullah Saw apabila gugur dalam pertempuran.

Peristiwa lain ketika kaum muslimin mendapatkan tekanan dari kaum musyrikin Makkah, Nabi Saw memerintahkan mereka agar hijrah ke Habasyah, sebuah daerah yang dikuasai Raja Najasyi yang beragama Nasrani. Bahkan, Nabi Saw pernah dihadiahi sang Raja berupa sepasang khuff (sepatu terbuat dari kulit).

Selain itu, Nabi Muhammad Saw berperan sebagai tokoh pemersatu umat. Hal itu nampak sewaktu ia baru saja tiba di Madinah. Beliau mempersaudarakan antara kaum muhajirin dan anshar, suku Persia dan Arab, dan lain sebagainya.

Seandainya memerangi semua orang kafir adalah wajib, sudah barang tentu Rasulullah Saw tidak membolehkan Mukhairiq ikut berperang, justru ia harus diperangi. Pun halnya penduduk muslim yang tertekan di Makkah tidak mungkin di perintahkan berlindung dibawah kerajaan Habasyah yang memeluk agama Nasrani tersebut.

  1. Ayat dan Hadis tentang memerangi orang kafir

Memang terdapat ayat dan juga Hadis yang berisi perintah untuk memerangi orang kafir. Untuk memahaminya, perlu dimengerti bahwa secara umum ayat dan Hadis tergolong menjadi dua. Ada ayat-ayat dan Hadis-hadis berkenaan dengan perang, ada juga yang berkenaan dengan situasi damai.

Dari pengkategorian tersebut, ayat maupun Hadis yang berkenaan dengan perang harus diperlakukan dalam keadaan perang. Tidak boleh memaksakannya dalam keadaan damai.

Sementara itu, pada masa Nabi Saw peperangan tidak pernah terjadi karena alasan Agama. Ia terjadi karena penyerangan yang digencarkan lebih dulu terhadap kaum Muslimin. Seandainya perbedaan Agama menjadi faktor pemicu Nabi memerangi non-muslim, maka Nabi Saw sudah lebih dulu memerangi orang Yahudi, Nasrani, dan yang lainnya sebagaimana penjelasan poin pertama.

  1. Status non-muslim yang ada di Indonesia

Pembagian tiga jenis kafir menjadi harbi, dzimmi, dan musta‘man, tampaknya sudah sering kita dengar. Terutama di pesantren dan sekolah-sekolah Islam. Dari 3 kategori tersebut, hanya ada satu yang wajib diperangi, yaitu kafir harbi. Ia merupakan sekolompok kafir yang dengan terang-terangan memerangi Islam. Oleh karena itu, umat muslim harus bangkit untuk melawannya.

Adapun status non-muslim di Indoensia sendiri secara formal tidak ada dari ketiga jenis kafir diatas. Kendati demikian, secara moral umat muslim sebagai mayoritas tidak boleh berlaku lalim dan semena-mena terhadap masyarakat minoritas. Terlebih, proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dengan jelas menyatakan sikap berbagi kedamaian antar umat beragama dan suku setanah air.

Maka dari itu, sangat tidak dibenarkan menyamakan non-muslim yang ada di Indonesia dengan kafir harbi. Tidak ada alasan sama sekali untuk membom gereja dan hotel hanya karena disana banyak non-muslim. Agama Islam cinta kedamaian, toleransi, dan kasih sayang. Bukan kekerasan, perpecahan dan peperangan.

Wallahu a’lam

Similar Posts