Shalat Sunnah Awwabin dalam Perspektif Madzhab Syafi’iyyah
Majalahnabawi.com – Pada dasarnya istilah shalat Awwabin memiliki dua konotasi. Dalam sewaktu-waktu shalat Awwabin bisa diartikan dengan shalat Dhuha. Dalam waktu yang lain, shalat Awwabin bisa diartikan dengan shalat sunnah yang dilakukan di antara Maghrib dan Isya.
Agama Islam merupakan agama yang rahmatan li al-alamin. Sehingga dalam konsep ajarannya, segala sesuatu pasti diperhatikan baik itu hal yang berhubungan dengan urusan ukhrawi maupun hal yang berhubungan dengan duniawi. Oleh karena itu tidak diherankan apabila dalam perkembangaannya banyak kita temukan pada kitab-kitab ulama salaf as-shalih pembahasan yang secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam dua aspek besar yaitu Ubudiyah dan Mu’amalah.
Tentunya itu semua berdasarkan sumber-sumber ajaran Islam yaitu al-Quran al-Karim (sumber hukum pokok ajaran Islam yang pertama) yang diturunkan kepada baginda Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril. Kemudian Nabi diberi tugas untuk menyampaikan sekaligus menjelaskan baik dengan bentuk ucapan, perbuatan, sifat dan penetapan. Hal ini direkam baik oleh memorinya para sahabat yang hidup bertemu langsung dengan baginda Nabi. Sehingga hal dikenal dengan hadis-hadis Nabi (sumber hukum pokok ajaran Islam yang kedua).
Dua hal tersebut yang menjadi pedoman bagi para ulama, sehingga apabila terdapat sebuah masalah yang hukumnya secara jelas tidak ada dalam al-Quran dan hadis maka para ulama diperkenankan untuk mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara sungguh-sungguh untuk menetapkan suatu hukum, namun tetap mengacu berdasarkan al-Quran dan hadis, dan hal ini disebut dengan Ijtihad. Sehingga hal itu melahirkan kesepakan dan ketetapan dari para ulama yang disebut dengan Ijma’ (Sumber hukum pokok ajaran Islam yang ketiga).
Qiyas dan Maqashid al-Syari’ah
Pada prosesnya terdakang ulama mempersamakan hukum suatu masalah yang belum ada kedudukan hukumnya dengan masalah lama yang pernah ada kedudukan hukumnya karena ada alasan yang sama dan hal ini disebut dengan qiyas (sumber hukum pokok ajaran Islam yang keempat).
Semua ini tentunya karena tujuan utama ditetapkan syariat adalah agar terwujudnya kemaslahatan bagi makhluk hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini disebut dengan maqashid al-syari’ah sebagai bentuk manifestasi agama Islam yang rahmatan li al-alamin sebagaimana yang disebutkan oleh al-Syatibi dalam al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah Jilid II.
Atas dasar itu, sehingga manusia sebagai makhluk ciptaan Allah, yang memiliki akal diwajibkan untuk bersyukur, beribadah, dan tidak mengikuti hawa nafsu yang sangat memerintahkan kepada keburukan.
Di sisi lain, patut kita sadari bahwa manusia juga diciptakan dengan hawa nafsu. Kendati itu manusia tidak akan terlepas dari kesalahan dan kekurangan. Sehingga pada praktiknya manusia tidak hanya diperitah melakukan hal-hal yang wajib, namun juga manusia dapat mengerjakan hal-hal yang bentuknya sunnah sebagai cara untuk menyempurnakan kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan tersebut.
Di antara perkara sunnah dalam bentuk shalat yang lebih terarah kepada “kembali kepada Allah Swt” dan biasa dilakukan untuk menyempurnakan kekurangan dan kesalahan ialah shalat yang dikenal dengan sebutan Shalat Sunnah Awwabin.
Shalat Sunnah Awwabin
Istilah Awwabin adalah jama’ (bentuk plural) dari kata Awwab yang secara etimologi artinya orang yang kembali kepada Allah (bertaubat). Kata ini juga termasuk shigat mubalaghah, sehingga artinya adalah orang yang benar-benar kembali kepada Allah (bertaubat). Dan secara terminologi kata al-Awwab adalah sebutan bagi orang yang banyak kembali (banyak bertaubat) kepada Allah Swt dengan cara mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
يُنْظَرُ تَعْرِيفُهَا فِي مُصْطَلَحِ: وَالأَوَّابُونَ جَمْعُ أَوَّابٍ، وَفِي اللُّغَةِ: آبَ إِلَى اللَّهِ رَجَعَ عَنْ ذَنْبِهِ وَتَابَ وَالأَوَّابُ: الرَّجَّاعُ الَّذِي يَرْجِعُ إِلَى التَّوْبَةِ وَالطَّاعَةِ
Artinya: “Definisinya dapat ditemukan dalam istilah: kata al-Awwabun adalah bentuk jama’ dari kata al-Awwab. Secara bahasa adalah kembali (bertaubat) kepada Allah. Atau kata al-Awwab artinya orang yang lembali kepada taubat dan ketaatan.” (Lihat al-Mawsu’at al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait, Wuzarah al-Awqaf wa al-Syu’un al-Islamiyah, 1431 H, Juz: 27, hal: 134)
Pada dasarnya istilah shalat Awwabin memiliki dua konotasi. Dalam sewaktu-waktu shalat Awwabin bisa diartikan dengan shalat Dhuha, hal ini berdasarkan hadis Nabi dari riyawat Zaid ibn Arqam yang menyebutkan bahwa shalat Awwabin adalah shalat yang dilakukan apabila anak unta sudah merasa kepanasan di waktu Dhuha.
Dalam waktu yang lain, shalat Awwabin bisa diartikan dengan shalat sunnah yang dilakukan di antara Maghrib dan Isya. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh para ulama dari kalangan Madzhab Syafi’i (Syafi’iyyah). Walaupun Jumhur ulama lebih cenderung menggunakan istilah shalat Awwabin dengan makna yang pertama (shalat Dhuha). Namun demikan Madzhab Syafi’iyyah lebih cenderung menggunakan istilah shalat Awwabin ini dengan makna yang kedua yaitu shalat yang dilakukan di antara Maghrib dan Isya.
وَيُؤْخَذُ مِمَّا جَاءَ عَنْ صَلَاةِ الضُّحَى وَالصَّلَاةِ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ أَنَّ صَلَاةَ الأَوَّابِينَ تُطْلَقُ عَلَى صَلَاةِ الضُّحَى، وَالصَّلَاةِ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ. فَهِيَ مُشْتَرَكَةٌ بَيْنَهُمَا كَمَا يَقُول الشَّافِعِيَّةُ. وَانْفَرَدَ الشَّافِعِيَّةُ بِتَسْمِيَةِ التَّطَوُّعِ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِصَلَاةِ الأَوَّابِينَ.
Artinya: “Dari apa yang telah dijelaskan mengenai shalat Dhuha dan shalat sunah di antara Maghrib dan Isya, dapat diambil kesimpulan bahwa ‘shalat Awwabin’ dikatakan untuk menyebut shalat sunah Dhuha dan shalat sunah di antara Maghrib dan Isya. Karenanya shalat Awwabin dikonotasikan di antara keduanya sebagaimana dikemukakan oleh Madzhab Syafi’i. Hanya Madzhab Syafi’i yang menamakan shalat di antara Maghrib dan Isya dengan shalat Awwabin.” (Lihat, al-Mawsu’at al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait, Wuzarah al-Awqaf wa al-Syu’un al-Islamiyah, 1431 H, Juz: 27, hal: 134-135)
Praktik Shalat Sunnah Awwabin
Terkait peraktiknya, shalat Awwabin ini termasuk salah satu shalat yang memiliki waktu tertentu yaitu dimulai setelah selesai melakukan shalat Maghrib sampai hilangnya mega merah atau masuknya waktu Isya, sehingga tidak disunnahkan dilakukan dengan cara berjamaah.
Paling sedikitnya shalat Awwabin dilakukan dua raka’at, paling banyaknya dilakukan dengan dua puluh raka’at dengan salam di setiap dua raka’atnya, dan yang pertengahan dilakukan dengan enam raka’at dengan salam di setiap dua raka’atnya.
Shalat ini juga dilakukan dengan niat “Ushalli Sunnah Shalat al-Awwabin li Hifdzi al-Iman.” Setelah salam hendaknya ia membaca doa “Allahumma saddidni bi al-iman wahfazdhu ‘alayya fi hayatii wa ‘inda wafatii wa ba’da mamati.” Hal ini sebagaimana yang tutur oleh Syekh Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi al-Bantani dalam kitabnya Nihayah al-Zain fi Irsyad al-Mubtadiin:
وَمِنْه صَلَاة الْأَوَّابِينَ وَتسَمى صَلَاة الْغَفْلَة ووقتها بعد صَلَاة الْمغرب إِلَى مغيب الشَّفق الْأَحْمَر وَلَو جمع الْعشَاء مَعَ الْمغرب تَقْدِيمًا أَخّرهَا عَن فعل الْعشَاء لوُجُوب الْمُوَالَاة فِي جمع التَّقْدِيم وأقلها رَكْعَتَانِ وأوسطها سِتّ وأكثرها عشرُون وتفوت بِخُرُوج وَقت الْمغرب وَينْدب قَضَاؤُهَا إِذا فَاتَت وَيَنْوِي بهَا سنة صَلَاة الْأَوَّابِينَ أَو سنة صَلَاة الْغَفْلَة وَلَا بَأْس لَو نوى بالركعتين الأولتين من السِّت صَلَاة الْأَوَّابِينَ وَحفظ الْإِيمَان كَأَن يَقُول نَوَيْت أُصَلِّي من صَلَاة الْأَوَّابِينَ لحفظ الْإِيمَان وَإِذا فَاتَ شَيْء من هَذَا النَّوْع ندب قَضَاؤُهُ ثمَّ يَقُول بعد السَّلَام مِنْهَا اللَّهُمَّ سددني بِالْإِيمَان واحفظه عَليّ فِي حَياتِي وَعند وفاتي وَبعد مماتي.
Artinya: “Di antaranya yaitu shalat Awwabin yang juga dinamakan dengan shalat ghaflah (lalai). Waktu pelaksanaannya dimulai setelah shalat Maghrib sampai hilangnya mega merah. Sehingga apabila seseorang hendak menjama’ taqdim shalat Isya dan Maghrib, maka ia harus mengakhirkannya (shalat Awwabin) dari waktu pelaksanaan shalat Isya karena adanya kewajiban terus-menerus dalam menjama’ taqdim. Paling sedikitnya dilakukan dua raka’at, paling pertengahannya dilakukan enam raka’at dan paling banyak dilakukan dua puluh raka’at. Shalat ini telah usai apabila waktu Maghrib telah habis. Disunnahkan untuk mengqadhanya apabila telah tertinggal. Dia niat shalat sunnah Awwabin untuk menjaga iman. Apabila terdapat salah satu yang tertingal dari bagian ini, maka disunnahkan untuk mengqadhanya. Kemudian setelah salam ia membaca do’a “Allahumma saddidni bi al-iman wahfazdhu ‘alayya fi hayatii wa ‘inda wafatii wa ba’da mamati.” (Lihat Syekh Nawawi al-Bantani, Nihayah al-Zain fi Irsyad al-Mubtadiin, Beirut, Dar al-Fikr, Cetakan Pertama, hal. 104)
Berniat Agar Dijaga Iman dan Bertaubat
Guru kami KH. Imaduddin Utsman, MA., selaku pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Nahdlatul Ulum Cempaka Kresek dalam suatu kesempatan pernah mengatakan bahwa dalam shalat Awwabin hendaknya kita titipkan iman kita kepada Allah Swt agar senantiasa dijaga dalam hidup, ketika dan setelah wafat.
Melihat shalat ini memiliki tujuan tersendiri yaitu agar Allah Swt selalu menjaga iman dan Islam hamba-nya. Orang yang menjalankannya itu kembali kepada Allah Swt dan bertaubat dari kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan yang dilakukan pada siang hari baik secara sengaja maupun tanpa disengaja.
Apabila shalat ini berulang-ulang dilakukan, maka ini menunjukkan bahwa ia bertaubat dan kembali kepada Allah Swt walau hal tersebut tidak disadarinya. Oleh karenanya, para Ulama khususnya kalangan Madzhab Syafi’i (Syafi’iyyah) menyebut shalat ini dengan nama Shalat Sunnah Awwabin. Hal ini sebagaimana yang diutarakan oleh Sulaiman al-Jamal dalam kitabnya Hasyiyah al-Jamal:
وَإِنَّمَا سُمِّيَتْ صَلَاةَ الْأَوَّابِينَ؛ لِأَنَّ فَاعِلَهَا رَجَعَ إلَى اللَّهِ تَعَالَى وَتَابَ مِمَّا فَعَلَهُ فِي نَهَارِهِ. فَإِذَا تَكَرَّرَ ذَلِكَ مِنْهُ دَلَّ عَلَى رُجُوعِهِ إلَى اللَّهِ تَعَالَى وَلَوْ لَمْ يُلَاحَظْ ذَلِكَ الْمَعْنَى
Artinya, “Dinamai shalat Awwabin sebab orang yang menjalankannya itu kembali kepada Allah dan bertobat dari kesalahan yang ia lakukan pada siang hari. Karenanya, ketika ia melakukannya berulang-ulang, maka hal itu merupakan penanda kembalinya ia (bertobat) kepada Allah Ta’ala meskipun itu tidak disadarinya.” (Lihat Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal, Dar al-Fikr, Juz:1, hal: 478)
Waktu Shalat Sunnah Awwabin
Apabila dilihat dari waktu pelaksanaannya, shalat ini tepat dilaksanakan di antara Maghrib dan Isya yaitu waktu di mana orang-orang tengah sibuk oleh aktivitas seperti makan, tidur dan lainnya sehingga orang-orang lalai atas shalat ini. Oleh sebab itu, shalat ini pun bisa disebut dengan Shalat Sunnah Ghaflah. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Muhammad al-Syarbini al-Khathib dalam kitabnya al-Iqna’ fi Halli Alfazhi Abi Syuja’:
وَصَلَاة الْأَوَّابِينَ وَتسَمى صَلَاة الْغَفْلَة لغفلة النَّاس عَنْهَا بِسَبَب عشَاء أَو نوم أَو نَحْو ذَلِك وَهِي عشرُون رَكْعَة بَين الْمغرب وَالْعشَاء وأقلها رَكْعَتَانِ لحَدِيث التِّرْمِذِيّ أَنه صلى الله عَلَيْهِ وَسلم قَالَ من صلى سِتّ رَكْعَات بَين الْمغرب وَالْعشَاء كتب الله لَهُ عبَادَة اثْنَتَيْ عشرَة سنة
Artinya, “Shalat Awwabin disebut juga ‘shalat Ghaflah’ (lalai) karena kelalaian orang-orang atas shalat tersebut oleh aktivitas seperti makan malam, tidur, dan selainnya. Sedang jumlah rakaatnya adalah dua puluh di antara Maghrib dan Isya. Minimal adalah dua rakaat.” (Lihat Muhammad al-Syarbini al-Khathib, al-Iqna’ fi Halli Alfazhi Abi Syuja’, Beirut, Darul Fikr, 1415 H, juz 1, halaman 118)
Demikianlah agama Islam yang sangat memperhatikan hal-hal yang berhubungan bagi para penganutnya. Bukan hanya memperhatikan kemaslahatan-kemaslahatan untuk seluruh makhluk, namun juga dapat memberi peluang manusia untuk dapat kembali menjadi hamba yang lebih baik, lebik taat, lebih bertakwa dan bertaubat. Di antaranya dengan adanya shalat sunnah Awwabin ini. Sehingga demikianlah agama Islam yang rahmatan li al-alamin.