Sikap Moderat Yusuf Qardhawi terhadap Perdebatan Tafsir Ilmi
Majalahnabawi.com – Perkembangan Tafsir Ilmi tidak lepas dari perdebatan, karena keberadaan tafsir ilmi berawal dari berkembangnya ilmu pengetahuan modern. Pengkajian tafsir ilmi ini menjadi kontroversial di kalangan para ulama dan menimbulkan sikap pro dan kontra karena sesungguhnya Al-Quran merupakan kitab suci yang bernilai absolut. Sementara ilmu pengetahuan (sains) lebih relatif. Lantas, bagaimana menerapkan sesuatu yang bernilai relatif dapat dianggap sebagai pandangan Al-Quran?
Definisi Tafsir bi al-Ilmi
Istilah al-tafsir al-‘ilmi terdiri dari dua frasa kata, yaitu tafsir dan ilmi. Makna tafsir menurut Quraish Shihab adalah upaya manusia untuk memahami kandungan Al-Quran dengan menggunakan berbagai macam disiplin ilmu dan pendekatan yang ada. Sedangkan kata ilmi berasal dari kata ‘ilm yang berarti menyingkap hakikat sesuatu, keyakinan dan pengetahuan. Keterangan di atas merupakan bagian dari pendefinisian secara etimologi.
Secara terminologi, banyak ulama yang mendefinisikan tafsir ilmi ini. Di antaranya adalah Fahd al-Rumi dalam kitabnya Buhust fi Ulum al-Tafsir wa Manahijuh beliau memberi pengertian bahwa tafsir ilmi ialah “Ijtihad seorang mufassir dalam menemukan hubungan antara ayat-ayat kauniyah Al-Quran dengan penemuan ilmu-ilmu eksperimen yang bertujuan untuk mengungkapkan kemukjizatan Al-Quran sebagai sumber ilmu yang sesuai dan sejalan di setiap waktu dan tempat.”[1]
Pandangan Mufassir Antara Pro dan Kontra
Perkembangan tafsir ilmi tidak lepas dari perdebatan. Para mufasir berbeda pendapat dalam merespon hadirnya tafsir ilmi. Di antara mereka ada yang membenarkan dan ada yang tidak. Salah satu ulama yang membenarkan atau pro terhadap tafsir ilmi adalah Al-Suyuti.[2]
Al-Suyuthi dalam beberapa karyanya seperti al-Itqån fi Ulum Al-Quran dan al-Iklil fi Istimbät al- Tanzil memaparkan secara luas berbagai argumentasi yang mendukung bahwa semua ilmu yang berkembang hari ini sampai hari kiamat telah diungkap di dalam Al-Quran dan dapat ditelusuri melalui Al-Quran. Dan untuk memperkuat argumentasinya, al- Suyuti mengutip beberapa ayat Al-Quran. Di antara ayat-ayat Al-Quran yang dikutipnya adalah surat an-Nahl ayat 89 sebagai berikut:
ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيء….
“…. dan Kami turunkan kepadamu al-kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu….” (Q.S. an-Nahl: 89)
Menurut beliau ayat ini terdapat isyarah ilmiah. Al-Quran juga memerintahkan untuk selalu melakukan tadabbur dan tafakkur terhadap alam semesta.
Kemudian mufasir yang menolak atau kontra terhadap tafsir ilmi ini antara lain Al-Syatibi (W 970 H), menurutnya para ulama terdahulu tidak pernah mengorelasikan ilmu-ilmu pengetahuan dengan Al-Quran dan tujuan diturunkannya Al-Quran untuk menjelaskan hukum-hukum dan segala sesuatu yang berkaitan dengan akhirat.(tafsir wa al- Mufassirun)
Kemudian beliau membantah orang-orang yang mengakui keberadaan tafsir ilmi yang berdalil dengan Al-Quran surah an-Nahl ayat 89, dan mengatakan bahwa lafadz kullu syai’ pada surah an-Nahl tersebut tidak ada korelasinya dengan ilmu pengetahuan, akan tetapi berkaitan dengan taklif (beban syari’at) dari Allah kepada hambanya. Oleh karena itu, beliau menganggap bahwa mufasir yang menggunakan dalil tersebut atas keberadaan tafsir ilmi itu kurang tepat.
Yusuf Qardhawi dan Konsep Moderatnya
Yusuf al-Qardhawi adalah salah satu ulama kontemporer Mesir yang tinggal di Qatar. Beliau juga penulis kitab yang berjudul Kayfa Nata’amal Ma’a al-Qur’an al-Karim yang di dalamnya terdapat argumentasi beliau tentang tafsir ilmi. Dalam masalah ijtihad, Yusuf al-Qardhawi merupakan seorang ulama berwawasan luas dan berfikir objektif.
Yusuf al-Qaradhawi juga masyhur sebagai seorang tokoh penyeru Aliran Keadilan Islam (al-Washatiyah al-Islamiyah) yang memadukan antara nilai-nilai kemurnian dan pembaruan, mengikat pemikiran dan pergerakan, mempertimbangkan semua aspek fikih. Aspek Fikih tersebuh meliputi Fiqh al-Sunnah, Fiqh al-Maqasid, Fiqh al-Aulawiyat dan pertimbangan keteguhan ajaran Islam. Selain itu juga relevan dengan tuntutan perubahan zaman dan kekinian, berpegang teguh dengan nilai-nilai lama yang bermanfaat, menerima kehadiran masalah baru yang berguna menjadikan masa lalu sebagai pengajaran, memberikan solusi bagi permasalahan yang sedang terjadi.
Yûsuf al-Qardhawî kemudian merespon kontroversi yang berkembang atas Tafsir ‘ilmi . Yûsuf al-Qardhawî menawarkan kaidah-kaidah al-tafsir al-‘ilmi, melalui kitab beliau yang berjudul Kayfa Nata’amal Ma’a al-Qur’an al-Karim diantaranya sebagai berikut[3] :
- Ilmu pengetahuan yang menjadi acuan dalam menafsirkan Al-Quran adalah ilmu pengetahuan yang sudah terbukti kebenarannya. Adapun teori ilmu pengetahuan yang hanya sekedar gagasan atau diragukan kebenarannya tidak dapat menjadi acuan dalam menafsirkan Al-Quran.
- Tafsir ‘ilmi tidak boleh menyimpang dari kaidah kebahasaan. Makna ayat harus sesuai dengan makna kosakata dan sisi siyaq-nya dalam Bahasa Arab.
- Tafsir ‘ilmi sifatnya berupa penambahan atau penegambangan penafsiran Al-Quran. Al-tafsir al-‘ilmi tidak merekonstruksi penafsiran dari mufasir terdahulu. Tafsir ‘ilmi tidak dapat mengklaim bahwa kajian tafsirnya adalah yang paling benar.
Dari penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa Yûsuf al-Qaradawî menerima legalitas tafsir ilmi namun tetap memperhatikan kaidah-kaidah tersebut. Akan tetapi, apabila terdapat tafsir ilmi yang tidak memperhatikan kaidah, maka Yûsuf al-Qaradawî tidak bisa menerima interpretasi tersebut.
[1] Fahd al-Rumi, Buhust fi Ulum al-Tafsir wa Manahijuh, ( Maktabah al-Taubah), hal 11.
[2] Husain al-Dzahabi, Tafsir wa al Mufassirun, (Dar al-Hadits: Kairo, 2012), hal 356.
[3] Yusuf al-Qardhawi, Kayfa Nata’amal ma’a al-Quran al-Adzhim, (kairo: Dar al-Syuruq, 1968), hal 382