Sisa Darah pada Daging, Bagaimana Hukumnya?
Majalahnabawi.com – Daging adalah salah satu makanan atau lauk pauk penting untuk pertumbuhan dan kesehatan manusia. Berangkat dari ragam kandungan gizi dan rasanya yang lezat, hampir semua orang menyukainya. Bahan yang bersifat hewani ini terbukti sangat bermanfaat bagi tubuh sepanjang dikonsumsi dengan benar. Benar dalam proses pengolahannya ataupun porsi konsumsinya.
Masyhur diketahui bahwa daging merupakan salah satu sajian pokok dalam acara-acara keagamaan. Tak jarang dalam setiap acara, umat muslim selalu menyediakannya. Seperti acara yasinan, tahlilan, dan semisal agenda syukuran lainnya.
Kasus pada Konteks Acara Sosial Keagamaan
Pada momen semacam itu pihak sahibul bait atau pemilik acara tentu harus menyediakan banyak sajian untuk para tamunya. Tak terkecuali daging sebagai sajian utama menurut adat kebiasaan mereka. Sebut saja daging ayam. Baik dengan menyembelihnya sendiri atau memesan pada orang lain, para jagal yang menyembelih ayam dalam jumlah yang banyak itu sering kali kurang memperhatikan kebersihannya. Lantaran mengejar banyaknya jumlah daging yang harus disiapkan. Kala banyaknya ayam yang dipesan sampai kepada sang pemesan, acap kali pembersihan dilakukan ala kadarnya. Yang penting terlihat bersih maka dianggap siap untuk dimasak dan dikonsumsi.
Akibatnya ketika ayam sudah sampai di tangan tamu undangan, sisa darah ayam tersebut masih menempel pada sela-sela daging dan tulangnya. Hingga membuat beberapa orang merasa ragu untuk memakannya- meskipun banyak juga yang tetap memakannya bahkan tak menghiraukannya. Padahal diketahui bersama bahwa pada dasarnya darah sisa sembelihan itu hukumnya adalah najis. Di samping itu umat muslim dituntut untuk selalu makan makanan yang bersih nan suci. Lantas pertanyaannya bagaimana fikih menyikapi peristiwa semacam itu? Apakah daging tersebut tidak boleh dimakan atau boleh boleh saja untuk dimakan?
Pendapat Syekh Zakariya Al-Anshari Perihal Kasus Ini
Disadur dari kitab Asnal Mathalib (juz 1 hal.13) Syekh Zakariya Al-Anshari mengatakan ;
( قَوْلُهُ كَدَمٍ ) الدَّمُ الْبَاقِى عَلَى لَحْمِ الْمُذَكَّاةِ وَعَظْمِهَا نَجِسٌ مَعْفُوٌّعَنْهُ فَقَدْ قَالَ الْحَلِيْمِيُّ وَأَمَّا مَا بَقِيَ مِنَ الدَّمِ الْيَسِيْرِ فِيْ بَعْضِ الْعُرُوْقِ الدَّقِيْقَةِ خِلَالَ اللَّحْمِ فَهُوَ عَفْوٌ
“Sisa sisa darah yang tersisa pada daging sembelihan beserta tulangnya adalah najis yang ma’fu (ditoleransi). Imam al-Halimy pun menerangkan bahwa adapun sedikit darah yang menempel (tersisa) di sebagian pangkal dalam sela-sela daging itu hukumnya ma’fu”.
Dari sini kita tahu, manakala pembersihan darah beserta kotoran daging kurang maksimal, maka daging tersebut tetap boleh dikonsumsi. Terlepas konsumennya merasa jijik atau pun tidak. Karena dalam hal ini sisa darah yang sedikit itu sudah ditoleransi oleh syariat Islam sendiri. Dalam artian sisa darah yang mulanya najis, sebab ditoleransi menjadi boleh untuk dimakan.
Refleksi
Perlu digaris bawahi pendapat di atas tentu bukan tidak memiliki landasan tak mendasar. Tidak mungkin seorang ulama Sunni dengan ragam karangannya berfatwa tanpa punya sebuah alasan yang logis. Sebab boleh jadi sebersih-bersihnya seseorang membersihkan darah pada daging tetap memungkinkan ada darah yang masih tertinggal. Entah karena lupa maupun sukar dihilangkan. Dan ini termasuk masyaqqah (kesulitan) dalam ruang fikih. Di mana watak syariat Islam sendiri tidak ingin memberatkan seorang muslim dalam melakukan segala aktivitasnya. Entah itu di ranah ibadah, muamalah maupun yang lainnya. Sebagaimana telah banyak diterangkan dalam ayat-ayat al-Quran yang lumrah diketahui bersama.
Walhasil semoga kurang lebihnya tulisan di atas dapat bermanfaat untuk kita semua. Amin.