Sisi Sufi Nabi
Majalahnabawi.com – Jika kita tarik 14 belas abad ke belakang, yaitu zaman munculnya agama Islam. Zaman percontohan masa-masa setelahnya, kita tidak akan menemukan suatu ilmu yang utuh dalam bentuk yang kita kenal sekarang. Beberapa pertanyaan ini mungkin akan memiliki jawaban yang sama, adakah ilmu tafsir di zaman Rasul? Adakah ilmu Hadis di zaman nubuwwah? Atau ilmu Ushul Fikih di zaman Rasul? Lalu bagaimana dengan ilmu Nahwu, ilmu Fikih, ilmu Tasawuf? Dan lain-lain.
Kajian-kajian ilmu syariat seperti Fikih, Tafsir, Ushul Fikih, meski muncul setelah masa nubuwwah, namun sangat erat kaitannya dengan masa Rasul. Hal ini disinyalir, selain kajiannya merupakan syariat, kajian tersebut sangat menuntut adanya dalil yang dapat melegalkan hasil kajian, dalam hal ini hadis. Namun, bagaimana jika dihadapkan pada kajian yang tidak bersentuhan dengan hukum, seperti tasawuf, yang bahasan prioritasnya bukan untuk melahirkan sebuah hukum, sehingga dinilai tidak terlalu urgen untuk mensinkronkan tasawuf dengan hadis-hadis. Hal inilah yang membuka celah sebagian kritikus tasawuf untuk terus menyoal dan menyoroti dunianya. Sebut saja misalnya Dr. Ala Bakar dalam bukunya Mukhtashor Tarikuh Tasawuf. la mengatakan akan bid’ah-nya tasawuf sehingga harus dibuang jauh-jauh. la mendasarkan pada sebuah hadis,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدُّ
“Barang siapa mengada-ngada sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami, padahal kami tidak perintahkan, maka hal itu tertolak.” (HR. Muslim)
Karenanya, perlu ada telaah mendalam mengenai tasawuf, supaya jelas benang merahnya. Apakah tasawuf memang ada sejak zaman Rasul atau malah hanya sebuah bid’ah semata?
Menurut Al-Ghazali, sebagaimana dikutip oleh Al-Mahalli dalam penutup kitab Syarah Jam’u-l-Jawami”, “Tasawuf ialah menfokuskan hati dan pikiran kepada Allah dan menganggap hina hal yang tidak ada hubungannya dengan Allah. Dari definisi tawaran Al-Ghazali ini dapat kita simpulkan bahwa ranah kajian tasawuf adalah bagaimana mengatur hati serta menjaga segenap anggota tubuh agar tidak bergerak kecuali untuk hal- hal yang berorientasi pada Sang Pencipta alam semesta dalam rangka mencari kebenaran intuintif.
Beragam konsep yang ditawarkan para tokoh dalam pengembangan tasawuf atau sufi dalam pencapaian misi sufi. Namun, yang terpenting adalah bagaimana Rasulullah menilai tasawuf atau sufi. Dalam hal ini kita akan uraikan beberapa embrio yang nantinya menjadi konsep penting dalam tasawuf.
Wara’ Perspektif Hadis
Di antara hal yang menjadi kajian terpenting dalam dunia tasawuf adalah wara’. Jauh sebelum munculnya tasawuf Rasulullah Saw telah memberikan aba-aba terkait wara’ sebagaimana dalam sabda beliau;
مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ
“Di antara tanda-tanda bahwa islam seseorang telah baik, bahwa ia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.” (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
Hadis ini memberikan penegasan bahwa keislaman seseorang masih belum bisa dikatakan baik dan sempurna jika ia masih melakukan hal-hal yang tidak menguntungkan bagi urusan akhiratnya, hal ini mencakup segala sesuatu yang masih berstatus mubah apalagi yang syubhat dan haram. Sebab, ketiga hal ini tidak menguntungkan dalam urusan akhirat. Dan inilah yang dimaksud dengan wara’ dalam kajian tasawuf.
Banyak konsep wara’ yang ditawarkan para ulama. Imam Al- Qusyairi mengatakan bahwa wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang syubhat. Sementara Imam Al-Ghazali membagi wara’ menjadi empat tingkatan; Pertama, wara’nya kaum awam, yaitu meninggalkan segala hal yang diharamkan oleh para fuqoha’. Kedua, wara’nya orang sholeh, yaitu meninggalkan hal-hal yang syubhat. Ketiga, wara’nya orang taqwa, yaitu meninggalkan sesuatu yang berefek negatif sebagai antisipasi agar tidak terjerumus dalam hal yang negatif. Keempat, wara’nya orang shiddiqin, yaitu meninggalkan sesuatu yang sudah jelas 1 tidak terjangkit afat, hanya saja ia tidak mendatangkan pahala dan kebajikan.
Kalau kita tilik kehidupan Rasulullah Saw, banyak dari tindakan- tindakan beliau yang mencerminkan wara’ dengan pengertian yang dikenal dalam dunia tasawuf. Sebagai contoh, hadis riwayat sahabat Anas ra;
مَرَّ النَّبِيُّ بِتَمْرَةٍ فِي الطَّرِيقِ قَالَ لَوْلَا أَنِّي أَخَافُ أَنْ تَكُونَ مِنْ الصَّدَقَةِ لَأَكَلْها
“Rasulullah Saw berjalan menemukan sebutir kurma di jalan, kemudian beliau bersabda; Seandainya aku tidak khawatir kurma ini termasuk shadaqoh, maka akan aku makan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari sini, jelas bahwa benih-benih wara’ yang merupakan hal terpenting dalam tasawuf telah ditanamkan dan dicontohkan oleh Rasulullah Saw sejak dahulu.
Zuhud Perspektif Hadis
Zuhud menempati posisi sangat penting dalam kajian tasawuf. Imam Zainuddin al-Ma’buri menempatkan zuhud pada posisi kedua setelah taqwa. Begitu urgennya zuhud dalam membangun pribadi seseorang, sehingga banyak para ulama yang membahasnya panjang lebar.
Dalam dunia tasawuf, zuhud diartikan sebagai tidak adanya ketergantungan hati seseorang dengan kepentingan harta dan kesenangan duniawi, bukan namun, berarti seseorang harus meninggalkan dan tidak memiliki harta. Seorang yang zuhud tidak menggantungkan aktifitas dan pekerjaannya dengan harta dan kepentingan dunia. Rasulullah Saw bersabda;
ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ
“Berzuhudlah di dunia, Allah akan mencintaimu, dan ber-zuhud-lah terhadap apa yang dimiliki manusia, mereka akan mencintaimu” (HR. Ibnu Majah, al-Baihaqi, dan al-Ashbihani)
Zuhud dari dunia berarti tidak menggantungkan hatinya dengan kepentingan duniawi, sementara zuhud terhadap apa yang dimiliki manusia berarti tidak mengharapkan pemberian orang lain dan tidak ada keinginan untuk memilikinya.
Dalam pribadi Rasulallah terdapat teladan zuhud yang beliau praktikkan setiap harinya. Meski beliau mengurus masalah duniawi, namun itu tidak memalingkannya dari tujuan akhirat. Sebagai contoh adalah beliau beserta ahlul bait berhak atas sebagian dari harta ghanimah (rampasan perang) serta harta fai’ (harta yang diambil dari orang kafir tanpa adanya perang). Allah berfirman;
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ
“Dan ketahuilah bahwa apa yang kalian rampas(dari musush di medan perang) dari sesuatu, maka sesungguhnya milik Allah-lah seperlimanya dan milik Rasul….” (QS. al-Anfal: 41)
Seperlima mungkin bisa dianggap besar. Namun, coba kita lihat hadis berikut ini, dimana Rasulullah Saw tidak segan- segan menyedekahkan harta tersebut kepada para sahabat, sebagaimana riwayat Abu Said al-Khudriy,
أَنَّ نَاسًا مِنْ الْأَنْصَارِ سَأَلُوا رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَأَعْطَاهُمْ ثُمَّ سَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ حَتَّى إِذَا نَفِدَ مَا عِنْدَهُ قَالَ مَا يَكُنْ عِنْدِي مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ أَدَّخِرَهُ عَنْكُم … الحديث
“Bahwa sekelompok orang dari sahabat Anshar meminta kepada Rasulullah, kemudian beliau memberinya, kemudian mereka meminta lagi dan Rasulaullah memberinya hingga habis semua harta yang ada pada beliau. Kemudian beliau bersabda; kebaikan apapun yang ada padaku tidak akan aku simpan dari kalian …..” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam hal ini al-Ma’buriy berpesan;
وَتَكُونَ مِنْ سَيْبِ الْأُنَاسِي أَبِسًا
وَلِسَيْبِ نَفْسِكَ لِلأُنَاسِي بَاذِلا
“Dan engkau harus putus asa terhadap pemberian orang lain, sementara engkau selalu memberi pemberian kepada orang lain.”
Kedermawanan merupakan puncak dari sifat zuhud. Karena orang yang menyukai sesuatu ia akan selalu menahannya dan tidak akan melepaskannya. Maka hanya orang yang mengannggap kecil kesenangan dunia saja yang akan membagikan harta tanpa perhitungan.
Zuhud sangat membantu dalam membangun karakter positif seseorang. Khususnya dalam perbaikan sosial masyarakat di era modern ini. Rasulullah Saw, dalam sebuah Hadis, memberi isyarat akan hal tersebut.
مَا زَهِدَ عَبْدٌ فِي الدُّنْيَا إِلَّا أَثْبَتَ اللَّهُ الْحِكْمَةَ فِي قَلْبِهِ، وَأَنْطَقَ لَهَا لِسَانَهُ وَبَصْرَهُ عَيْبَ الدُّنْيَا وَدَاءَهَا وَدَوَاءَهَا وَأَخْرَجَهُ مِنْهَا سَالِمًا إِلَى دَارِ السَّلَامِ
“Tidaklah seorang hamba zuhud di dunia kecuali Allah tumbuhkan hikmah di dalam hatinya, dan Allah gerakkan lisannya untuk hikmah, Allah juga akan memperlihatkan kepadanya aib dunia, penyakitnya serta penawarnya, dan Allah mengeluarkannya dari dunia dalam keadaan selamat menuju surga(darus-salam)” (HR. Al-Baihaqi)
Hadis ini menegaskan bahwa seseorang yang telah zuhud akan mendapatkan beberapa hal. Pertama, Allah akan memberinya hikmah yang nantinya ia akan melafalkannya dengan lisannya. Kedua, akan ditampakkan racun- racun dunia beserta penawarnya. Ketiga, ia akan mendapatkan jaminan keselamatan saat keluar dari dunia fana ini.
Hal ini sangat rasional jika kita kaji – lebih mendalam hal-hal yang akan timbul dari hati yang zuhud dan hati yang tidak zuhud. Ibnu Athaillah dalam kitab al-Hikam mengatakan,
مَا قَلَّ عَمَلٌ بَرَزَ مِنْ قَلْبِ زَاهِدٍ، وَلَا كَثُرَ عَمَلٌ بَرَزَ – مِنْ قَلْبِ رَاعِبٍ
“Tidaklah sedikit, suatu pekerjaan (ibadah) yang tumbuh dari hati yang zuhd, dan tidaklah banyak pekerjaan (ibadah) yang tumbuh dari hati yang senag dunia.”
Rasionalisasinya adalah bahwa 1 satu pekerjaan yang yang tumbuh dari hati yang zuhud akan selalu didasari rasa ikhlas tanpa ada harapan apapun dari dunia ini. Sehingga pekerjaan tersebut bisa terselamatkan dari rasa riya, ujub, sum’ah, takabbur, dan semua sifat-sifat yang dapat merusak ibadah. Sementara pekerjaan yang tumbuh dari hati yang tidak zuhd akan selalu dipenuhi dengan sifat-sifat yang akan merusak buah ibadah hingga tak tersisa.
Merupakan sebuah prestasi yang cemerlang jika semua generasi telah memiliki karakter yang demikian. Jika semua aktifitas tidak hanya karena uang, jika semua kinerja tidak hanya karena kepentingan sesaat, jika semua transaksi tidak hanya untuk kepentingan pihak tertentu. Hal ini akan tercapai jika semua memiliki sifat zuhud.
Dari paparan di atas, kita bisa ambil kesimpulan bahwa konsep Zuhd menurut kaum sufi sejatinya merupakan pengembangan dari zuhud yang telah ditanamkan oleh Rasulullah Saw.
Muroqabah Perspektif Hadis
Seorang Sufi akan senantiasa berada dalam keadaan siap siaga dan tidak lengah dalam setiap tindakan dan keputusannya sehingga selalu terhindar dan aman dari hal-hal yang dapat mengganggu perjalanannya. Dalam hal ini, Rasulullah Saw telah memberikan contoh apa yang harus dilakukan seorang salik (pelaku sufi). Suatu ketika Rasul Saw ditanya tentang apa itu ihsan, kemudian beliau menjawab;
قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“(Ihsan adalah) engkau menyembah Allah seakan-akan engkau sedang melihatnya, jika tidak bisa demikian, maka yakinlah bahwa engkau sedang dilihat olehnya.” (HR. Bukhari)
Menyempurnakan segala jenis ibadah seakan kita sedang menyaksikan Sang Khaliq, sehingga kita merasa malu jika ibadah kita masih terdapat kekurangan atau belum memenuhi syarat. Jika hal tersebut belum juga berhasil, maka ada alternatif kedua, yaitu harus yakin bahwa Sang Khaliq selalu mengawasi kita. Demikian Rasulullah Saw dalam memberikan teladan bagi kita tentang bagaimana mengatur pola hidup sehari- hari semata untuk kebaikan dunia dan akhirat. Teladan yang pada abad-abad setelahnya sering didiskusikan dalam ranah kesufian. Wallahu A’lam.*
*Penulis adalah alumni Darus-Sunnah International Insitute For Hadith Sciences Tahun 2016.
Sumber bacaan:
Abu Bakr Syatho, Kifayatu-l-Atqiya wa minhaju-l-Ashfiya’
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail bin
Ibrahim al-Bukhari, al-Jami al- Shahih.
Al-Baihaqi, Abu bakr Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi, Syu’abu-l-Iman
Al-mahalli, Syarh jam’ul Jawami’
Al-Ma’buri, Zainuddin bin Ali al-Ma’buri, Hidayatul Adzkiya’ ila Thariqi-l- Auliya
Ala Bakr, Mukhtashar Tarikh al-Tasawuf Al-Sakandari, Ibnu ‘Athaillah al-Sakandari, al-Hikam