Solusi Untuk Mengatasi Orang yang Berhutang, Tapi ‘Nggak Bayar-Bayar’

Majalahnabawi.com – Akad hutang merupakan akad yang disyariatkan dalam rangka irfaq yakni menolong dan membantu orang lain yang sedang membutuhkan. Inilah mengapa dalam hutang-piutang dilarang adanya riba. Karena spirit dari hutang-piutang dalam fikih, adalah membantu dan menolong orang lain.

Tidak Mau Membayar Hutang

Namun spirit akad hutang ini terkadang ternodai dengan oknum-oknum yang ketika sudah mampu membayar malah sulit sekali untuk ditagih. Bahkan sebaliknya yang ditagih malah lebih galak daripada yang menagih. Tentu saja ini sangat merugikan terhadap pihak da’in (pemilik piutang); sudah tidak dapat apa-apa dari hutang yang ia berikan, malah sekarang orang yang ditolong tidak mau membayar hutangnya.

Sebenarnya bisa saja da’in melaporkan tindakan tersebut ke persidangan (hakim) untuk mendapatkan haknya kembali. Namun untuk melaporkan tentunya perlu upaya dan biaya yang tidak sedikit. Toh meski dilaporkan, belum tentu da’in bisa menang.

Dzafar sebagai Solusi

Dalam rangka mengatasi hal semacam ini fikih memberikan solusi dengan melegalkan da’in untuk mengambil hutangnya sendiri dari  madin (penerima hutang) secara diam-diam tanpa sepengetahuan madin dan tanpa harus melapor kepada hakim. Ini disebut dengan istilah ad-dzafru atau dzafar dan orang yang melakukannya disebut dzafir. Hanya saja untuk melakukannya ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan.

Pertama, madin (penerima hutang) merupakan orang yang sudah mampu untuk membayar hutang namun selalu enggan membayar hutang dengan berbagai macam alasan. Jika madin memang orang yang tidak mampu dan tidak punya uang maka tidak diperbolehkan memaksa untuk membayar hutangnya, apalagi melakukan dzafar.

Kedua, tidak dikhawatikan timbulnya fitnah atau hal-hal buruk. Jika dikhawatirkan akan timbul fitnah atau hal-hal yang tidak diinginkan maka da’in tidak diperbolahkan untuk melakukan dzafar, sebaliknya da’in diharuskan melapor pada hakim untuk mendapatkan haknya kembali.

Ketiga, dzafir hanya boleh mengambil barang yang sama dan ukuran yang juga sama, dengan apa yang ia hutangkan pada madin (penerima hutang). Dalam arti jika yang ia hutangkan adalah beras satu kilogram maka hanya boleh mengambil beras satu kilogram. Jika uang seratus ribu maka hanya boleh mengambil uang seratus ribu. Tidak boleh lebih tidak boleh kurang.

Keempat, jika barang yang sama tidak ditemukan, maka dzafir diperbolehkan mengambil uang. Jika tidak ada uang maka boleh mengambil barang lainnnya.

Kelima, jika yang diambil bukan barang yang sama dan ternyata harga barang tersebut lebih tinggi dari hutangnya, maka dzafir diharuskan menjual barang tersebut dan hanya mengambil sesuai jumlah hutangnya saja. Sementara sisa uang penjualannya harus dikembalikan kepada madin.

Legalitas Dzafar dalam Hukum Islam

Legalitas dzafar ini berlandaskan keputusan Rasulullah Saw. dalam kisah Hindun, istri Abi Sufyan. Abi Sufyan dikenal sebagai suami yang pelit dan tidak memberikan nafkah yang cukup untuk istrinya dan anaknya. Hindun pun mengeluhkan prihal sifat suaminya tersbut kepada nabi. Akhirnya Nabi memperbolehkan Hindun untuk mengambil uang Abi Sufyan tanpa sepengetahuannya sekiranya bisa mencukupi kebutuhannya dan anaknya. Hadis riwayat Sayyidatuna ‘Aisyah Ra. bunyinya sebagai berikut:

عن عائشة قالت : جاءت هند إلى النبي صلى الله عليه وسلم، فقالت: يارسول الله إن أبا سفيان رجل شحيح، لايعطيني ما يكفيني وولدي، إلا ما أخذت من ماله، وهو لايعلم، فقال: خذي مايكفيك وولدك بالمعروف

Aisyah ra. menceritakan bahwa telah datang hindun kepada nabi shallahu ‘alaihi wasallam. kemudian ia berkata: “Wahai rasulullah sesungguhnya Abi Sufyan itu orang yang pelit. Dia tidak memberikan nafkah yang cukup untukku dan anakku. Jadi aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya”. Kemudian rasulullah bersabada: “ambillah (darinya) untukmu dan anakmu secukupnya” (HR. Al-Bukhari)

Dzafar sebagai Alternatif Terakhir

Ala kulli hal, kiranya perlu diperhatikan bahwa orang yang berhutang seharusnya memiliki tanggung jawab yang besar dalam menunaikan kwajibannya. Bahkan seharusnya orang yang berhutang berterimaksih pada temannnya yang telah bersedia membantu, dengan menunaikan kewajibannya sebaik-baiknya. Bukan malah berkelit atau bahkan menegur orang yang telah membantunya.

Begitu pun bagi si pemilik piutang. Walaupun fikih memperbolehkan dzafar, menagih hutang secara santun masih jauh lebih baik daripada melakukan dzafar. Sekuat apapun legalitas dzafar tetap tidak menafikan bahwa ia merupakan mengambil barang orang lain secara diam-diam dan bisa saja menimbulkan berbagai problem dikemudian hari. Dzafar hanya diperbolehkan sebagai alternatif terakhir ketika cara-cara normal -seperti menagih secara santun atau melaporkan kasus pada hakim- sulit untuk terlaksana. Illat diperbolehkannya dzafar adalah karena dlarurah dan masyaqqah. Oleh karena itu jika illatnya (dlarurah dan masyaqqah) tidak terpenuhi maka tidak diperbolehkan untuk melakukan dzafar.

Similar Posts