Standarisasi Masyaqqah dalam Kajian Najis

Majalahnabawi.com – Dalam ajaran syariat, sikap konservatif dan kaku dalam memberikan hukum bukanlah background dari karakter islam. Sebagaimana banyaknya anggapan orang kepada agama kita ini, syariat islam hadir dengan membawa misi rahmatan lil ‘alamin. Salah satu manifestasinya adalah konsep peringanan (raf’ul haraj wal masyaqqah) seperti rukhshah, taysir, dan tashil. Dengan kata lain, Islam menghendaki suatu upaya pencegahan dan penghilangan segala sesuatu yang membuat manusia merasa masyaqah atau kepayahan dan terciptanya kemaslahatan seluruh umat manusia.

Berbagai solusi itu bisa kita terjemahkan melalui syariatnya yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini karena agama Islam merupakan agama yang mengakomodir pelbagai kebutuhan manusia serta tidak memberikan kesulitan bagi semua pengikutnya dalam menerapkan hukum-hukumNya sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj: 78

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ 

“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama kesempitan”

Dalam ayat ini, kata Haraj bermakna sebagai kondisi sulit, yang mencakup berbagai macam kesulitan dengan segala bentuknya. Apalagi jika kita teliti dalam surat al-Hajj di atas mencantumkan kata ad-Din yang secara eksplisit menunjukan bahwa kesulitan yang termaksud adalah setiap kesulitan yang timbul dalam kerangka keagamaan atau syariat. Dengan demikian, peniadaan kesulitan dalam Islam merupakan apresiasi syariat terhadap dialektika kehidupan umat yang tidak mungkin lepas dari beragam bentuk kesulitan. Syaikh Yasin Al-Fadaani menyatakan bahwa ini menunjukan upaya Islam untuk memberi kebaikan, keringanan, dan keutamaan kepada umat islam.

Dari sini dapat terlihat benang merah bahwa hukum Islam, baik ritual maupun sosial telah tersusun dengan aspek kemudahan, fleksibel dan penuh toleransi. Ayat di atas relevan dengan hadis Nabi yang telah masyhur:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِّنَّ دِيْنَ اللهِ يُسْرٌ، ثَلَاثًا

Rasulullah SAW berkata ; “sesungguhnya agama Allah adalah agama yang mudah” (beliau mengatakannya tiga kali).

Konteks Masyaqqah Dalam Kajian Najis

Dalam problematika fikih, konsep di atas sering kali tampil sebagai counter dari masyaqqah itu sendiri. termasuk dalam kajian najis atau defiling filth. Seperti tentang menghindari atau menghilangkan najis. Jamak merangkan bahwa manakala najis mengenai tubuh atau pakaian manusia dan sampai pada taraf sukar terbersihkan atau terhilangkan maka hukumnya mendapat ma’fu (toleransi/keringanan). Adanya istilah ma’fu ini tak lain adalah secuil dari pengejawantahan konsep raf’ul haraj wal masyaqqah di atas.

Dalam kasus at-thaharah ‘an an-najasah seperti mencuci pakaian berlumur darah dan menyamak kulit hewan, langkah pertama mensucikannya adalah izalah ‘an an-najasah (menghilangkan zat kenajisannya), seperti darah dan benda-benda basah yang bisa membuat busuk kulit yang hendak disamak. Pada tahap inilah sering kali masyaqqah muncul. Kendati telah melalui proses pembersihan, najis tetap sulit sekali hilang dan membuat bingung seseorang bagaimana cara mengatasinya. Apakah keadaannya itu sudah terkategori mendapat toleransi lantaran tak bisa menghilangkan najisnya?

Perspektif Syaikh Sulaiman ibn Muhammad Terkait Standarisasi Masyaqqah dalam Kajian Najis

Sebelum memberikan jawaban dari kasus tersebut, pertama perlu kita ketahui sebatas manakah masyaqqah dalam kasus at-thaharah ‘an an-najasah mendapat ma’fu? Terkait hal ini dalam kitab Bujairami ‘ala Syarhil-Manhaj (juz.1 hal.108) Syaikh Sulaiman ibn Muhammad menerangkan ;

وَضَابِطُ الْعُسْرِ أَنْ لَا يَزُولَ بَعْدَ الْمُبَالَغَةِ بِالْحَتِّ وَالْقَرْضِ ثَلَاث مَرَّاتٍ وَبَعْدَ الْأُشْنَانِ وَالصَّابُونِ إنْ تَوَقَّفَتْ الْإِزَالَةُ عَلَيْهِمَا. وَالْقَرْضُ هُوَ الْحَتُّ بِأَطْرَافِ الْأَصَابِعِ

“Standarisasi sulit (menghilangkan najis) yaitu ketika najis tidak hilang setelah melakukan upaya keras untuk membersihkannya, dengan cara menggosok dan mengeriknya dengan ujung-ujung jari sebanyak tiga kali serta menggunakan sabun bilamana perlu”. Beliaupun menambahkan bahwa najis yang memang sulit untuk dihindari atau dihilangkan itu kebanyakan hukumnya mendapat ma’fu.

Kesimpulannya tolak ukur dari masyaqqah (kesulitan) menghilangkan najis yang dapat toleransi adalah al-mubalaghah (upaya keras). Maksudnya dalam kedua kasus tadi bilamana darah yang ada pada baju dan kulit yang disamak benar-benar tidak bisa hilang. Bahkan jika setelah berulang-ulang kali dibersihkan tidak berhasil, maka darah tersebut hukumnya mendapat ma’fu. Dalam artian darah yang masih menempel tersebut tak mengapa dibiarkan. Sehingga baju atau kulit itu tetap boleh digunakan untuk beraktifitas bahkan untuk beribadah.

Untuk lebih detailnya para pembaca bisa melihat referensi referensi yang lain perihal kasus semacam ini. Dan terakhir semoga keterbatasan tulisan di atas bisa bermanfaat bagi kita semua, amin. Tabik.

Similar Posts