imam ibn hibban

Studi Pemikiran Nashiruddin Albani

Majalahnabawi.com – Albani bernama lengkap Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh al-Albani. Ia dilahirkan pada tahun 1914 M di kota Ashqodar (Shkoder), sebuah distrik pemerintahan di Albania. Ia lebih populer disebut Albani sebab kelahirannya di Albania. Ayahnya bernama al-Hajj Nuh an-Najati. Bapak Albani merupakan lulusan lembaga pembelajaran ilmu- ilmu syariat di ibukota kesultanan Ottoman, Istanbul. Bapaknya pula dikenal sebagai seorang pemuka madzhab Hanafi di Albania. Area yang dia tinggali kala masih muda merupakan area yang kental napas agamanya, memelihara ajaran agama dalam seluruh aspek kehidupan.

Ketertarikan Albani pada kajian hadis bermula saat ia berumur 20 tahun, berawal dari dijumpainya beberapa edisi majalah al-Manar, Albani mendapati tulisan Rasyid Ridha dalam mengkritisi kitab Ihya’ Ulum ad-Din karya al Ghazali dari beberapa segi seperti masalah tasawuf dan hadis-hadis daif. Tulisan al-Iraqi mengenai kitab Ihya Ulum ad-Din yang meneliti hadis-hadisnya serta memisahkan antara yang sahih dan yang daif dengan menulis kitab al-Mugni an Hamli Asfar fi Takhrij ma fi Ihya’ min al-Akhbar. Dalam bidang hadis, Albani tidak pernah mendapatkan pendidikan formal, ia belajar hadis secara otodidak dengan mengunjungi perpustakaan-perpustakaan di Damaskus, khususnya perpustakan al-Zahiriyyah.

Selain hal itu, Albani juga prihatin dengan realita banyaknya para penulis di majalah-majalah Islam, penulis buku Islam, para khotib jum’at, penceramah dan mubaligh yang menyebutkan suatu hadis dan menisbatkannya sebagai perkataan Nabi dan perbuatannya tanpa menyebutkan sumber hadis itu dalam kitab-kitab hadis yang terseleksi. Bahkan mereka menyebut dengan pasti (jazm) dalam penyandaran hadis itu kepada Nabi, padahal bisa jadi hadis tersebut dha’if atau palsu. Menurut al-Albani, hal ini tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim. Pengecekan (verifikasi) status validitas hadis menurut kaidah para ahli hadis harus dilakukan sebelum menisbatkan hadis kepada Rasulullah.

Penilaian Pensahihan dan pendhaifan hadis adalah suatu aktivitas ilmiah yang membutuhkan ketelitian dan kecermatan dan pengetahuan yang baik tentang ilmu hadis dan ushul hadis di satu sisi dan kemampuan melakukan takhrij dan pengetahuan luas dan mendalam tentang jalur periwayatan hadis dan masalah sanadnya di sisi yang lain. Dalam hal ini Albani sepakat dengan ulama-ulama hadis terdahulu bahwa menilai validitas sebuah hadis sahih dan dhaifnya menutut hal-hal sebagai berikut;

(1) pengetahuan tentang kondisi para perawi,

(2) pengetahuan tentang kondisi sanad,

 (3) pengetahuan tentang ilal hadis yang terdapat pada sanad dan matan

Selain itu, salah satu dari beberapa metode Al-Albani dalam mensahihkan atau melemahkan suatu hadis adalah dengan mencermati indikasi-indikasi (qarinah) yang terdapat pada sanad dan matan hadis. Setiap hadis memiliki kajian khusus dalam penetapan hukumnya dan memiliki indikasi tersendiri pada sanad dan matan-nya yang mempengaruhi penilaian validitasnya.

            Dalam memahami dan mendalami sunnah, Albani merumuskan beberapa kaidah dalam kitabnya Tamam al-Minnah fi al-Ta’liq ‘ala Fiqh al-Sunnah, beberapa di antaranya ialah :

  1. Dalam penilaian hadis dalam Sunan Abi Daud, tidak berpatokan pada tidak adanya komentarnya Abu Dawud. Hal ini karena Abu Daud dalam menerangkan metodologi Sunan-nya adalah jika terdapat kelemahan yang berat, maka dia akan menjelaskan. Namun bila Abu Daud tidak mengomentarinya, maka hadis tersebut “Salih”.Terkait dengan pemaknaan ungkapan “Salih” ini, para ulama hadis berbeda pendapat karena ada yang mengartikannya dengan hasan, namun ada pula yang mengartikan dengan lebih luas mencakup hadis dhaif yang tidak terlalu parah dan dapat dijadikan syahid
  2. Tidak boleh berpatokan kepada penilaian thiqah (tawthiq) yang dilakukan oleh Ibn Hibban. Pendapat Al-Albani ini disandarkan pada penjelasan Ibnu Hajar dan para ulama hadis sebelumnya yang menetapkan adanya sikap tasahul Ibn Hibban. Ibnu Hibban menilai bahwa perawi yang terlepas dari status tidak dikenal indentitasnya (jahalatulain) dan tidak terdapat data jarh padanya maka ditetapkan sifat ‘adalah padanya. Bahkan menurut Ibn Hibban, status jahalah al-’ain seorang perawi majhul hilang jika hadisnya diriwayatkan oleh cukup seorang perawi masyhur. Hal inilah yang diterapkan oleh Ibn Hibban dalam kitabnya “At-Tsiqat”. Pendapat tersebut, menurut Ibn Hajar dinilai bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama hadis. Bahkan, Al-Albani menegaskan “keanehan” Ibn Hibban dengan mencantumkan dalam Kitab “At-Tsiqat” sejumlah perawi yang dinyatakan sendiri oleh Ibn Hibban “tidak dikenal indentitas mereka dan bapak-bapak mereka”.
  3. Dalam hadis dhaif Albani melarang mencamtumkan dan menyebutkan kecuali disertakan penjelasan kedhaifannya. Albani juga tidak membolehkan beramal pada hadis dhaif dalam keutamaan fadhailul amal.

Terlepas dari beberapa hal di atas, Nashiruddin Albani adalah Salah satu ulama yang menuai banyak pro-kontra. Hal ini juga terdapat dalam bidang hadis, dilihat dengan Inkonsistensi Albani bisa dalam membandingkan seluruh hadis yang dihukumi dalam empat kitab sunan yang pada beberapa tempat. Albani memberikan komentar yang berbeda dalam hadis yang sama. Sedangkan keakuratan Albani bisa dinilai dari hasil takhrij yang dilakukan dengan menggunakan kaedah-kaedah ilmu hadis yang berlaku. Seperti suatu observasi yang dilakukan dalam Nash hadis dalam Sunan an-Nasa’i kitab Salah al-Idain bab Hassu al-Imam ala Sadaqah fi al-Hitbah no.1562

أخربنا عيل بن حجر قال حدثنا يزيد وهو إبن هارون قال أنبأنا محيد عن احلسن أن أبن عباس خطب بابلرصة فقال أدوا زاكة صومكم فجعل انلاس ينظر بعضهم إىل بعض فقال من هاهنا من أهل املدينة قوموا إىل إخوانكم فعلمواهم فإنهم ال يعلمون أن رسول اهلل صىل اهلل عليه وسلم فرض صدقة الفطر ىلع الصغري والكبري واحلر والعبد واذلكر واألنىث نصف صاع من بر أو صااع من تمر أو شعر

“Menceritakan kepada kami Ali bin Hijr,ia berkata menceritakan kepada kami Yazid dan dia adalah Ibn Harun, ia berkata menceritakan kepada kami Humayd dari al-Hasan, sesungguhnya Ibn Abbas berkhotbah di Basrah, ia berkata; keluarkan zakat atas puasa kalian, jadilah manusia yang saling memperhatikan sesama, Ia berkata; siapa pun di sini dari golongan penduduk Madinah, sampaikanlah kepada saudara-saudara kalian dan ajarkanlah kepada mereka, karena sesungguhnya mereka tidak tahu bahwa Rasulullah saw mewajibkan sadaqah fitrah bagi anak kecil, dewasa, orang merdeka dan hamba sahaya, perempuan, laki-laki sebesar setengah sha’ gandum atau satu sha’tamrin atau roti syair.”

Hadis ini juga diriwayatkan dalam Sunan an-Nasai (2461, 2463, 1568), Sunan Abu Daud (1381), dan Musnad Ahmad bin Hanbal (1914). Keterangan dari hadis di atas ialah :

 1) Riwayat Nasai memiliki empat jalur sanad. Sanad pertama, dari Ali bin Hijr dari Yazid bin Harun dari Humaid dari Hasan, sanadnya terputus ke Abdullah dari Nabi Saw. Sanad kedua, dari Qutaibah dari Hummad bin Zaid dari Ayyub dari Imran bin Taym dari Nabi Saw. Sanad ketiga, dari Muhammad bin al Mutsanna dari Khalid dan Sahal dari Humaid dan bertemu dengan sanad al-Hasan. Sanad ke empat, dari Ali bin Maimun dari Mukhlid dari Hisyam dari Muhammad terputus ke Abdullah dari Nabi Saw.

2) Riwayat Abu Daud sanadnya adalah dari Muhammad bin al-Mutsanna dari Khalid dan Sahal bertemu dengan sanad Humayd dari al Hasan. Albani dalam Dhaif Sunan an-Nasai melalui jalur Ali bin Hijr menghukumi sahih, dan dalam Daif Abu Daud melalui jalur Muhammad bin Mutsanna menghukumi daif.

Berikut skema dari sanad keseluruhan jalur:

Skema Jalur Sanad Nashiruddin Albani

Jika kita melihat skema di atas, sanad hadis tersebut terputus di jalur Hasan, Abdullah tidak pernah meriwayatkan hadis secara langsung kepada Hasan, Hasan yang dinilai para ulama sebagai seorang tsiqah, telah terbukti oleh ulama lain melakukan tadlis. Dengan demikian, riwayat hadis yang dikemukakan an-Nasai melalui jalur Ali bin Hijr terputus sanadnya. Oleh karena itu, sanad tersebut dinilai dhaif. Riwayat an-Nasai baru dapat diperkuat oleh jalur lain yaitu Qutaibah, dan tidak ada keraguan di dalamnya. Hal ini, bertentangan dengan statemen Albani yang justru menetapkan hadis dari jalur Ali bin Hijr sebagai hadis sahih.

Di sisi lain, Albani dalam Dhaif Abu Daud menghukuminya dhaif melalui jalur Muhammad bin Mutsanna, sanad Muhammad bin Mutsanna bertemu dengan riwayat Nasai pada Humaid dan sama-sama menyandarkannya pada Hasan, dan Hasan diragukan kredibilitasnya sebagai seorang perawi.

Dari paparan di atas, bisa dilihat bahwa Albani memberikan dua hukum (shahih dan dhaif) pada satu hadis dengan jalur periwayatan yang sama. Satu matan hadis yang sama dengan hukum yang berbeda, menunjukkan konsistensi Albani patut dipertanyakan. Albani melakukan pentashihan dan pentadifan hadis pada kritik sanad, dan hasil penelitian Albani terkait kualitas perawi tidak jauh berbeda dengan pandangan ulama hadis pada umumnya. Namun, hasil kesimpulan akhir terkait kualitas hadis, Albani berseberangan dengan kaedah-kaedah ilmu hadis yang berlaku.

Similar Posts