Tafsir Aliran Muktazilah, Jadi Rujukan Ahlusunnah?

majalahnabawi.com – Muktazilah merupakan aliran yang lebih mengutamakan akal dan pemikiran rasional dalam memahami agama Islam. Mereka berpendapat bahwa akal merupakan sumber pengetahuan yang utama dan dapat digunakan untuk memahami wahyu agama. Oleh karena itu, mereka sering menggunakan metode logika dan filsafat dalam memahami ajaran-ajaran agama. Walaupun aliran ini melenceng dikarenakan mengutamakan akal, muktazilah memiliki peran penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan Islam.

Salah satunya dalam bidang keilmuan tafsir, kitab tafsir aliran muktazilah mulai muncul pada abad ke-8 M dan dikenal sebagai salah satu aliran teologi yang paling berpengaruh dalam sejarah Islam. Metode penafsiran aliran Muktazilah sangat unik dan berbeda dengan penafsiran lainnya. Kitab tafsir aliran Muktazilah menggunakan metode tahlili, yang melibatkan penjelasan kosa kata, latar belakang turunnya ayat (asbab al-nuzul), nasikh-mansukh, dan munasabat.

Seperti kitab tafsir al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari yang merupakan ulama aliran muktazilah, di mana kitab ini dikenal sangat berpengaruh pada bidang keilmuan tafsir.

Mengenal Kitab Tafsir al-Kasysyaf dan Muallif-nya

Nama lengkap al-Zamakhsyari adalah Abu al-Qasim Muhammad bin Muhammad bin Umar al-Khawarizmiy al-Hanafiy al-Mu’taziliy, dilahirkan pada tahun 467 H di sebuah dusun bernama Zamakhsyar terletak di daerah Khurasan Turkistan. Tidak dapat dipungkiri, al-Zamakhsyari merupakan imam besar dalam bidang tafsir, hadits, rahwu, bahasa, serta kesusasteraan.

Kejeniusan al-Zamakhsyari dalam bidang nahwu, bahasa, adab, serta tafsir, menjadikan pendapat-pendapatnya dalam bidang ini diakui keorisinilannya oleh para ulama. Hal ini tentunya sangat berharga dan menjadi aset besar bagi kalangan muktazilah serta kalangan hanafiyah, sebagai aliran dalam bidang teologi dan madzhab di bidang fiqh yang ia anut. Al-Zamakhsyari wafat tahun 538 Hijriyah di daerah Jurjaniyah, wilayah Khawarizmi sekembalinya dari tanah suci Makkah. Masa hidupnya merupakan masa keemasan bagi ilmu tafsir, karena di masa itu lahir kitab-kitab tafsir besar, seperti Tafsir al-Baghawi, al-Thabari, Ibnu ‘Arabi dan kitab tafsir penting lainnya.

Kitab Tafsir al-Kasysyaf secara lengkap bernama Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamid Al-Tanzil wa Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil, yang disusun oleh al-Zamakhsyari selama tiga tahun, mulai dari tahun 526 H sampai dengan tahun 528 H, di Makkah, tepatnya ketika ia berada di sana untuk melakukan ibadah haji yang kedua kalinya. Hal ini diketahui dari pengakuannya sendiri yang dituangkan pada muqaddimah tafsirnya. Dalam hal ini, ia mengatakan bahwa lama penyusunan kitabnya sama dengan lama masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq, khulafau al-Rasyidin. Kitab tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir yang banyak beredar di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Sebagai kitab tafsir yang penafsirannya didasarkan atas pandangan muktazilah, maka kitab ini dijadikan corong oleh kalangan muktazilah untuk menyuarakan fatwa-fatwa rasionalnya.

Metode dan Sistematika Tafsir al-Kasysyaf

Tafsir al-Kasysyaf merupakan salah satu kitab tafsir bi al-ra’yi yang terkenal, di mana dalam pembahasannya menggunakan pendekatan bahasa dan sastra yang sangat dalam. Penafsirannya kadang ditinjau dari arti mufradat yang mungkin, dengan merujuk kepada ucapan-ucapan orang kaum Arab terhadap syair-syair atau definisi istilah-istilah yang populer kala itu. Terkadang penafsirannya juga didasarkan pada tinjauan gramatika atau nahwu yang cukup pelik dan dalam. Imam al-Fadhil Ibnu ‘Asyur berpendapat bahwa Tafsir al-Kasysyaf ditulis antara lain untuk menaikkan pamor muktazilah sebagai kelompok yang menguasai dan mengedepankan aspek balaghah dan takwil dalam pemikiran tafsir al-Qur’an. Berikut contoh penafsirannya:

وَإِن كُنتُمۡ فِي رَيۡبٖ مِّمَّا نَزَّلۡنَا عَلَىٰ عَبۡدِنَا فَأۡتُواْ بِسُورَةٖ مِّن مِّثۡلِهِۦ وَٱدۡعُواْ شُهَدَآءَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ )٢٣(

“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (al-Baqarah (2): 23)

Dalam menafsirkan ayat di atas al-Zamakhsyari memberikan dua pilihan rujukan dhamir (kata ganti) hi pada kata mitslihi, yaitu dapat dikembalikan pada kata ma nazzalna atau pada kata ‘abdina. Tetapi, yang lebih kuat argumentasinya yaitu harus dikembalikan pada ma nazzalna, karena pada ayat tersebut Allah swt. Sedang membicarakan al-Qur’an, bukan membicarakan Nabi Muhammad saw.

Tafsir al-Kasysyaf merupakan kitab tafsir tahlili jika dilihat dari segi metode penafsiran. Karena Imam al-Zamakhsyari melakukan penafsiran secara lengkap terhadap seluruh ayat al-Qur’an, dimulai ayat pertama Surah al-Fatihah hingga ayat terakhir Surah an-Nas. Sedangkan metode tahlili sendiri merupakan suatu metode tafsir yang menyoroti ayat- ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan dalam mushaf Utsmani. Imam al-Zamakhsyari sebenarnya tidak melaksanakan semua kriteria tafsir dengan metode tahlili, tetapi karena penafsirannya melakukan sebagian langkah-langkah tahlili, maka tafsir ini dianggap menggunakan metode tafsir tahlili.

Aspek lain yang dapat dilihat, penafsiran al-Kasysyaf juga menggunakan metode dialog, di mana ketika Imam al-Zamakhsyari ingin menjelaskan makna satu kata, kalimat, atau kandungan satu ayat, ia selalu menggunakan kata in qulta (jika engkau bertanya). Kemudian, ia menjelaskan makna kata atau frase itu dengan ungkapan qultu (saya menjawab). Kata ini selalu digunakan seakan-akan ia berhadapan dan berdialog dengan seseorang atau dapat dikatakan jika penafsirannya merupakan jawaban atas pertanyaan yang dikemukakan. Metode ini digunakan sebab lahirnya kitab Tafsir al-Kasysyaf dilatarbelakangi oleh dorongan para murid Imam al-Zamakhsyari dan ulama-ulama yang saat itu membutuhkan penafsiran ayat dari sudut pandang kebahasaan.

Pandangan Ulama Sunni Terhadap Kitab al-Kasysyaf

Walaupun kitab tafsir al-Kasysyaf ini beraliran mu’tazilah, namun tak dapat dipungkiri kitab ini telah diakui dan beredar luas secara umum di berbagai kalangan, tidak hanya di kalangan non-Ahlussunnah wal Jama’ah, tetapi juga di kalangan Ahlusunnah wal Jama’ah. Misalnya Ibnu Khaldun yang mengakui keistimewaan Tafsir al-Kasysyaf dari segi pendekatan sastra atau balaghah-nya dibandingkan dengan sejumlah karya tafsir ulama mutaqaddimin lainnya. Kemudian menurut Muhammad Zuhaili, kitab ini merupakan kitab tafsir pertama yang mengungkap rahasia balaghah al-Qur’an, aspek-aspek kemukjizatannya, dan kedalaman makna lafal-lafalnya, di mana dalam hal inilah orang-orang Arab tidak mampu untuk menentang dan mendatangkan bentuk yang sama dengan al-Qur’an. Lebih jauh lagi, Ibnu Asyur menegaskan bahwa mayoritas pembahasan ulama Sunni mengenai tafsir al-Qur’an didasarkan pada tafsir al-Zamakhsyari ini. Contohnys seperti tafsir Al-Alusi, Abu al-Su’ud, al-Nasafi, dan para mufassir lain merujuk kepada tafsir ini.

Begitu juga Imam al-Zarqani yang mencatat beberapa keistimewaan yang dimiliki Tafsir al- Kasysyaf, antara lain:

  1. Kitab tafsir al-Kasysyaf terhindar dari cerita-cerita israiliyyat,
  2. Terhindar dari uraian yang panjang,
  3. Dalam menerangkan pengertian kata berdasarkan atas penggunaan bahasa Arab dan gaya bahasa yang mereka gunakan,
  4. Memberikan penekanan pada aspek-aspek balaghah, baik yang berkaitan dengan gaya bahasa ma’aniyyah maupun bayaniyyah,
  5. Dalam melakukan penafsiran al-Zamakhsyari menempuh metode dialog.

Walaupun paham-paham Muktazilah mewarnai Tafsir al-Kasysyaf, tetapi hal itu tidak menghalangi para ulama untuk mengambil faedah-faedah darinya. Al-Zamakhsyari berjasa besar dalam memperkaya khazanah tafsir al-Qur’an, baik melalui karyanya sendiri maupun karya-karya ulama lain lintas zaman yang terinspirasi oleh karyanya. Kenyataan ini bisa dilihat oleh siapapun yang membaca lembaran-lembaran tafsir yang ditulis oleh para mufasir pasca al-Zamakhsyari. Sisi inilah yang perlu diteladani, yakni bagaimanapun adanya ketidakcocokan kepada seseorang atau sebuah karya, mestinya tidak menghalangi seseorang untuk mengambil faedah darinya.

Similar Posts