Tafsir Ekologi; Manusia Pemeran Utama Menjaga Alam
Majalah Nabawi – Manusia merupakan bagian dari ekologi. Dibandingkan dengan unsur yang lain manusia juga Allah berikan karunia berupa akal yang menjadikan mereka lebih unggul dari makhluk lain. Keunggulan ini membuat mereka juga harus mengemban amanat dalam menjadi khalifah Allah di muka bumi ini. Tugas sebagai khalifah di muka bumi juga menempatkan manusia sebagai pemeran utama dalam menjaga dan merawat alam. Hal ini bisa kita lihat dari tafsir ekologi terhadap ayat-ayat al-Quran.
Manusia telah Allah jadikan sebagai pemeran utama dalam mengemban tugas untuk menjaga alam. Hal ini sebagaimana ungkapan Muhammad Mahmud dalam dalam al-Madkhal ilā ‘ilmi al-jag̣rāfiyā wa al-bī`ah (hal 327). Bahwa Allah telah menjadikan manusia unggul di atas unsur-unsur ekologi yang lain. Untuk menunjukkan hal ini, terdapat banyak ayat al-Quran yang memberi isyarat atas peran manusia dalam merawat alam. Seperti dalam QS. al-Isrā [17]:70 yang berbunyi:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
“Dan sungguh telah kami muliakan keturunan adam di darat dan juga di laut dan telah kami beri rezeki dari perkara-perkara yang baik dan telah kami unggulkan mereka mengungguli banyak makhluk dengan sebenar-benarnya.”
Selain itu ayat lain yang juga memberi isyarat kepada manusia seperti pada sūrah al-Mulk [67]:15 yang berbunyi:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Dial ah żat yang menjadikan bumi rendah bagi kalian maka berjalanlah di tempat-tempat kalian dan makanlah dari rezeki yang telah ia berikan dan kepada-Nya lah tempat kembali”
Ayat-ayat ini telah mengisyaratkan bahwa manusia mempunyai peran penting sebagai subjek yang paling utama dalam merawat alam. Karena itu Allah telah menempatkan manusia di alam dan memberikan mereka potensi untuk memanfaatkan segala unsur yang ada pada alam. Allah juga memberi peringatan agar manusia tidak berlebihan dalam mengambil manfaat dari alam hingga merusak alam itu sendiri.
Relasi antara Manusia dan Alam
Dalam menunjukkan relasi antara manusia dan alam lingkungan hidup mereka, Muhammad Mahmud mengedepankan QS. al-A’rāf [7]:74 :
وَبَوَّأَكُمْ فِي الأَرْضِ تَتَّخِذُونَ مِنْ سُهُولِهَا قُصُورًا وَتَنْحِتُونَ الْجِبَالَ بُيُوتًا فَاذْكُرُوا آلاءَ اللَّهِ وَلا تَعْثَوْا فِي الأَرْضِ مُفْسِدِينَ
“Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum ‘Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.”
Dari ayat ini kemudian Muhammad Mahmud menjelaskan relasi dan makna bī`ah dengan mengatakan:
بَوَّأَكُمْ فِي الْأَرْضِ: أَيْ أِسْكَنَكُمْ، وَكَلِمَةُ الْبِيْئَةِ مُشْتَقَةٌ مِنْ بَوَّأَ وَتَبَوَّأَ أَيْ أَقَامَ وَسَكَنَ وَاتَّخَذَ مَنْزِلًا، وَعَلَى ذَلِكَ فَبِيْئَةُ الْإِنْسَانِ هِيَ مَكَانُ سَكَنَاهُ وَكُلُّ مَا يُحِيْطُ بِهِ مِنْ عَنِاصِرَ طَبِيْعِيَّةٍ كَالْمَاءِ وَالْهَوَاءِ وَالتُرْبَةِ وَالْكَائِنَاتِ الْحَيَّةِ مِنْ نِبَاتٍ وَحَيَوَانٍ
Muhammad Mahmud menjelaskan bahwa makna kata bawwa`a yaitu menempatkan. Kemudian kalimat bī`ah itu sendiri terbuat dari asal kata bawwa`a. Maka berdasarkan hal ini, maksud dari kata bī`ah bagi manusia adalah tempat ia tinggal dan menetap dan sekelilingnya dari unsur-unsur biotik seperti tumbuhan di sekitarnya, dan juga unsur-unsur abiotic seperti air, batu, udara, dan tanah. Ayat al-Quran lainya yang mengandung perintah untuk menjaga lingkungan adalah surah al-Rum [30]:41 yang berbunyi
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.”
Quraish Shihab dalam Tafsir al-Miṣbāḥ (hal 78) menjelaskan bahwa makna kata al-fasād adalah kerusakan alam yang mengakibatkan manusia menderita seperti banjir dan lainya. Ia menafsirkan makna potongan ayat bimā kasabat ʽaidi al-nāsi (بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى النَّاسِ) bahwa maksud dari apa yang dikerjakan oleh tangan-tangan manusia adalah pelanggaran-pelanggaran yang mengakibatkan gangguan keseimbangan di alam.
Ancaman bagi Manusia Yang Merusak Alam
Allah ﷻ memberikan ancaman kepada orang-orang yang merusak alam. Ancaman itu berulang kali Allah sebutkan dalam al-Quran seperti pada sūrah al-A’rāf [7]:56 yang berbunyi:
وَلَا تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ بَعۡدَ إِصۡلَٰحِهَا وَٱدۡعُوهُ خَوۡفٗا وَطَمَعًاۚ إِنَّ رَحۡمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٞ مِّنَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
” Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Kebanyakan mufassir menafsirkan prasa ba’da islāḥhā (بَعۡدَ إِصۡلَٰحِهَا) dengan tafsiran setelah Allah membersihkan bumi dari maksiat kepada-Nya atau setelah Alllah mengutus Baginda Nabi Muhammad ﷺ. Namun Imam Muhammad bin Muhammad al-Māturīdī (wafat 333 H) dalam kitab Ta’wīlātu Ahli al-Sunnah (juz 4: 496) menyajikan makna umum dari tafsiran kalimat ini yang menunjukkan bahwa ayat ini juga bisa kita pahami sebagai larangan merusak alam setelah Allah menjadikannya baik bagi kehidupan manusia. Dalam menafsirkan ayat ini ia mengatakan:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا.أِيْ: بِعْدِ أِنْ جَعَلَهَا لَكُمْ صَالِحَةً لِمَعَاشِكُمْ وَمَقَامِكُمْ فِيْهَا
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya: yaitu setelah Allah menjadikannya baik untuk kehidupan kalian di bumi.”
Tafsiran yang Imam al-Matūrīdi lebih tepat untuk menggambarkan sisi ekologis dari ayat tersebut dari pada tafsiran ulama yang lain. Hal ini karena kebanyakan ulama menafsirkan kata fasād berupa perbuatan maksiat dan menafsirkan makna dari kalimat ba’da iṣlāhihā dengan arti setelah Allah mengutus Nabi Muhammad yang mengajarkan ketaatan pada manusia. Memang penafsiran Imam al-Matūrīdi ini singkat dan masih bersifat umum. Tapi term li ma’āsyīkum yang beliau ungkapkan dalam tafsirnya inilah justru yang memiliki penekanan bahwa makna iṣlah di sini juga bisa berarti setelah Allah menjaga dan menjadikan alam dalam kondisi yang baik bagi kehidupan manusia. Maka larangan pada ayat itu sangat tepat dengan tafsiran tidak boleh merusak alam bila mengikuti redaksi penafsiran Imam al-Matūrīdi.
Imam al-Māturīdi merupakan ulama klasik yang hidup pada abad keempat hijriyyah, namun ia memaparkan penafsiran yang menunjukkan pentingnya kesadaran ekologis. Hal ini menunjukkan bahwa ayat-ayat yang merujuk kata fasād (الفساد) tidak hanya merujuk pada kerusakan berupa banyaknya maksiat di bumi.