tafsir ilmi

Tafsir Ilmi; Metode dan Sejarah Perkembangannya

Majalah Nabawi – Dalam sejarah perkembangan tafsir tercatat bahwa penafsiran al-Quran selama ini mengalami perkembangan secara pesat. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor seperti adanya perubahan dan perkembangan zaman yang menghendaki pengembangan terhadap bentuk penafsiran. Selain itu pengaruh munculnya ilmu pengetahuan baru juga sangat memengaruhi terhadap perkembangan penafsiran al-Quran. Sehingga tidak bisa disangkal lagi bahwa dari waktu ke waktu penafsiran al-Quran mengalami perubahan dan perkembangan, karena telah melalui berbagai periode sehingga sampai pada bentuk dan corak yang beragam.

Penafsiran yang dihasilkan tentunya akan bermacam-macam. Hal ini disebabkan karena perbedaan latar belakang pengetahuan, sosial budaya dan kecenderungan yang berbeda-beda pada setiap mufasir. Dalam ilmu al-Quran keragaman itu diistilahkan dengan al-Laun yang secara harfiah adalah warna. Jika dalam bahasa Indonesia, M. Quraish Shihab menggunakan istilah Corak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti corak antara lain adalah berjenis-jenis warna pada warna dasar, faham, macam, bentuk.

Berhubung penelitian ini berkaitan dengan pembahasan ayat-ayat al-Quran tentang pertanian, dan pisau analisis yang akan digunakan dalam skripsi ini adalah tafsir ilmi, maka berikut ini penjelasan secara komprehensif mengenai tafsir ilmi:

At-Tafsir

Tafsir ilmi lahir akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan salah satu usaha mufasir untuk memahami kandungan ayat-ayat al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Untuk memahami pengertian tafsir ilmi, lebih lanjut penulis akan menjelaskan secara terpisah pengertian at-Tafsir dan al-‘ilm.

Secara bahasa, tafsir berasal dari kata al-fasr (fa, sin, ra) mengikuti pola taf’il yang berarti “menjelaskan, menyingkap, dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak”.

Menurut al-Raghib Al-Ashfahaniy kata al-Fasr dan al-Safr adalah dua kata yang secara makna dan lafalnya berdekatan, kata al-Fasr menunjukan arti menzhahirkan (menampakan) makna yang samar atau abstrak (ma’qul), sedangkan kata al-Safr menunjukan arti secara jelas yang langsung tampak pada penglihatan.

Abu Hayyan berpendapat bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafaz-lafaz al-Quran dan tentang arti dan makna dari lafaz-lafaz tersebut, baik kata perkata maupun dalam kalimat utuh serta hal-hal yang melengkapinya.

Menurut al-Zarkasyi tafsir adalah ilmu memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ , menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya, merujuk kepada ilmu bahasa, nahwu dan saraf, ilmu bayan, ushul fiqh, dan qira’at, seorang ahli tafsir juga membutuhkan pengetahuan terhadap asbab al-Nuzul, nasikh, dan mansukh.

Dari beberapa pengertian yang dipaparkan oleh para ulama terkait makna tafsir, bisa kita pahami bahwa secara singkat tafsir adalah penjelasan tentang arti dan maksud yang terkandung dalam ayat-ayat al-Quran.

Al-‘Ilm

Sedangkan kata al-‘ilm dan berbagai turunannya selalu disandingkan dalam arti umum yaitu sebuah pengetahuan (knowledge). Jika dilihat dari segi bahasa al-‘ilm berasal dari bahasa Arab yaitu ‘alima-ya’lamu-‘ilman dengan fa’ila-yaf’alu-fa’lan yang artinya adalah mengerti, memahami dengan benar.

Lebih lanjut, penjelasan terkait tafsir ilmi, tafsir ilmi adalah penafsiran terhadap ayat al-Quran yang objek kajiannya dikhususkan pada ayat-ayat ilmu pengetahuan, baik yang berkaitan dengan ilmu alam, maupun ilmu sosial. Tafsir ilmi juga bisa dipahami sebagai tafsir yang pembahasannya mempunyai kecenderungan terhadap ilmu pengetahuan.

Menurut Adz-Dzahabi tafsir ilmi atau disebut juga tafsir ilmiah adalah penafsiran al-Quran dengan menggunakan istilah-istilah ilmiah untuk menjelaskan dan memberikan keterangan tentang makna di dalamnya, dan berupaya dengan penafsiran tersebut untuk menggali bermacam-macam ilmu pengetahuan dan pemikiran-pemikiran filosofis dari dalam al-Quran.

Bagi M. Quraish Shihab tafsir ilmi adalah ijtihad dari seorang mufasir untuk mengungkap hubungan ayat-ayat kauniyah dalam al-Quran dengan penemuan-penemuan ilmiah yang ada, sebagai bukti kemukjizatan al-Quran.

Tafsir ilmi bisa juga dipahami sebagai penafsiran al-Quran dengan pendekatan istilah ilmiah untuk mengungkapkan isi kandungan al-Quran, dan sebagai upaya untuk melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang baru dan berbeda dengan melibatkan pemikiran-pemikiran filsafat.

Dari beberapa penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tafsir ilmi adalah upaya menafsirkan al-Quran dengan menghubungkan teori-teori ilmiah yang ada. Di mana antara al-Quran dan sains terdapat banyak kesesuaian. Karena al-Quran tidak akan bertentangan dengan fakta ilmiah, begitu pula sebaliknya. Maka upaya ini lah yang akan memperkaya khazanah keilmuan terutama pada bidang penafsiran al-Quran.

Sejarah Perkembangan Tafsir Ilmi

Tafsir ilmi lahir dan tumbuh pesat seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Daulah ‘Abbasyiah. Tepatnya sejak abad keempat Hijriyyah ketika umat Islam berada pada puncak keemasan. Kemudian pada saat itu para mufasir tidak puas dengan bentuk penafsiran bi al-ma’tsur. Pengembangan bentuk tafsir dipengaruhi oleh perubahan dan perkembangan zaman. Pada saat itu peran ar-ra’yu atau ijtihad semakin luas dan besar dibandingkan dengan bentuk penafsiran bi al-ma’tsur. Sejalan dengan itu pada masa kekhalifahan al-Ma’mun (w. 853 M) banyak kitab-kitab ilmiah yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Buku-buku seperti karya Plato, Aristoteles, Galenus, Appolonuis, dan Archimedes juga kerap diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Memang sejak dahulu para cendikiawan Muslim telah berupaya untuk menciptakan hubungan erat antara al-Quran dan ilmu pengetahuan, mereka berupaya untuk menggali beberapa jenis ilmu pengetahuan yang terkandung dalam ayat-ayat al-Quran. Kesadaran umat Islam terhadap pentingnya tafsir ilmi semakin besar ketika abad ke 19 yaitu saat Eropa mulai menguasai negara-negara Islam. Sedikit demi sedikit ilmu-ilmu sains semakin digaungkan terutama dalam pembahasan ilmu pengetahuan alam. Kesesuaian antara al-Quran dan ilmu pengetahuan bagaimana pun tidak bisa dihiraukan.

Al-Quran sejatinya tidak hanya sebagai sumber ilmu Agama yang bersifat i’tiqadiyah (keyakinan) dan amaliyah (perbuatan), akan tetapi ia juga mencakup ilmu keduniawian (al-‘ulum al-Dunya) yang beraneka jenis, ragam dan bentuknya.

Periode Tafsir Ilmi

1.Tafsir Ilmi Klasik

Tafsir ilmi klasik keberadaannya sebelum ada modernisasi Barat di dunia Islam. Atau sering juga disebut sebagai tafsir ilmi Pra-Modern.
Tafsir ilmi klasik masih menggunakan metode secara fragmentaris dalam kitab-kitab tafsir ar-Ra’yi, terkhusus saat membahas ayat-ayat kauniyah (fenomena alam).

Pada periode ini mufasir yang kerap menggunakan tafsir ilmi seperti, Al-Ghazali (1059-1111M) dalam kitabnya Ihya ‘Ulum al-Din dan Jauhir al-Qur’an. Abu al-Fadl al-Mursy dalam tafsirnya Jam’u al-Qur’an, ‘Ulum al-Awwalin wa al-Akhirin. Fakhr al-Din al-Razy dalam kitab tafsirnya Mafatih al-Ghaib.

2.Tafsir Ilmi Modern

Tafsir ilmi modern ini tentu berbarengan dengan modernisasi dunia Islam. Secara metode tidak jauh berbeda dengan periode sebelumnya, namun pada masa ini lebih lengkap dan dibahas secara tahlili (studi analisis) contohnya seperti Muh. Abduh (1849-1905) dalam tafsirnya Al-Manaar, Tanthawi al-jauhari (1870-1940) dalam kitabnya Al-Jawaahir, Muh. Rasyid Ridha (1865-1935).

3.Tafsir Ilmi Kontemporer

Periode ini disebut sebagai tafsir ilmi Pasca-Modern, yaitu pembahasannya cenderung bersifat maudhu’i (tematik), yaitu membahas terkait topik-topik tertentu, dihimpun dalam satu kesatuan kemudian dianalisis dengan pendekatan ilmu pengetahuan. Contohnya seperti Hanafi Ahmad dalam tafsir al-tafsir al-‘Ilmy al-Ayatul Kauniyyah, Al-Ghanawi dalam kitab Sunan Allah al-Kauniyyah, A. Aziz Ismail dalam kitab al-islam wa al-Thabib al-Hadits. Abdul al-Razzaq Nawfal al-Qur’an wa al-‘Ilmy al-hadits.

Metode Tafsir Ilmi

Pada pembahasan metode tafsir ilmi, terdapat sistematika metode penafsiran. Ada tiga poin penting berkaitan dengan sistematika metode tafsir ilmi. Pertama, konsepsi metode tafsir ilmi. Kedua, metode-metode tafsir ilmi. Ketiga, prinsip analisis tafsir ilmi. Berikut penjelasan nya:

Mengenai konsep metode tafsir ilmi, di dalamnya terdapat pengungkapan terhadap penjelasan, perincian, kemukjizatan, atau isyarat penemuan ilmiah terhadap segala macam bentuk ilmu pengetahuan. Hal ini tetap harus berpegang teguh pada nilai-nilai absolut al-Quran. Setiap mufasir harus berpegang teguh pada dua paradigma, yaitu paradigma al-Quran dan paradigma ilmu pengetahuan (sains).

Pada paradigma al-Quran setiap mufasir yang ingin menggunakan tafsir ilmi harus berpedoman pada adab dan etika dalam menafsirkan al-Quran. Seperti mengetahui bahasa Arab dari berbagai bidang, mengetahui ilmu al-Quran, sejarah turunya, mengetahui prinsip-prinsip pokok keagamaan, dan tentunya mengetahui tentang disiplin ilmu yang menjadi materi pembahasan, misalnya dalam hal ini yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.

Sedangkan paradigma ilmu pengetahuan berkaitan dengan ontology, epistemologi, dan aksiologi. Ketiga komponen tersebut adalah kategori dari hakikat ilmu pengetahuan. Selain itu seorang mufasir harus menyadari bahwa ilmu pengetahuan tidak mengenal kata kekal. Teori ilmu pengetahuan yang salah di masa lalu, dapat diakui kebenarannya di masa modern, karena pandangan terhadap persoalan ilmiah sering kali silih berganti, begitu pula dengan teori-teori ilmiah yang sifatnya selalu berkembang. Misalnya Qawanin at-Tahabi’ah (Natural Law) yang dulu dianggap pasti, tanpa mengizinkan suatu kebebasan pun. Namun sekarang ia hanya dinilai sebagai “Summary of Statistical Averages”. Hal itu membuktikan bahwa sifat dari ilmu pengetahuan itu selalu berkembang dan berubah-ubah.

Kitab-Kitab Tafsir Ilmi

Adapun contoh kitab tafsir ilmi di antaranya Tafsir al-Kabir/Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi (w. 1210 M ), Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an al-Karim karya Thanthawi Jauhari (w. 1940 M), Kasyf al-Asrar al-Nuraniyah al-Qur’aniyah karya Muhammad bin Ahmad al-Iskandarani (w. 1360 H), dll.

Selain dari pada kitab-kitab tafsir di atas, kita dapat menemukan beberapa penafsiran al-Quran dengan corak ilmi pada website yang telah disediakan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Kementrian Agama Republik Indonesia:

https://pustakalajnah.kemenag.go.id/search?key=&published=&tafsir-ilmu=on

Contoh Penafsiran dengan Tafsir Ilmi

Adapun salah satu contohnya ialah pada QS. al-Baqarah (02) ayat 61 yang menceritakan tentang kaum Nabi Musa yang tidak puas dengan makan satu jenis makanan di pegunungan. Yang mana Thanthawi Jauhari (w. 1940 M) berpendapat tentang ayat ini dengan mengambil teori ilmiah Eropa. Yaitu bahwa model kehidupan Badui di pedesaaan atau pegunungan, yang biasanya orang mengkonsumsi makanan manna wa salwa (makanan dengan tanpa efek samping) dengan konsisi udara yang bersih, jauh lebih baik daripada model kehidupan di perkotaan yang biasanya orang suka mengkonsumsi makanan siap saji, daging-daging, dan berbagai ragam makanan lainnya, ditambah lagi polusi udara yang sangat membahayakan kesehatan.

Wallahu ‘alam

Similar Posts