Tafsir QS. Al-Baqarah Ayat 43; ‘Abid, Khalifah, dan Konsep Jamaah
Majalahnabawi.com – Pernahkah kita berpikir bahwa untuk menjadi pribadi yang saleh mengharuskan kita untuk bersikap apatis terhadap sesama dengan cara mengasingkan diri serta fokus memperbanyak ritual ibadah formal seperti salat, puasa, dan lain sebagainya? Benarkah agama mengajarkan para pemeluknya demikian? Terdapat sebuah ayat yang menarik di dalam QS. Al-Baqarah. Berikut teks ayat secara lengkap:
وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرۡكَعُواْ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ ٤٣
“Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang ruku’”. (QS. Al-Baqarah [2]: 43)
Menariknya, penggunaan redaksi ruku’ di atas menunjukkan perintah untuk menjalankan salat yang di dalamnya terdapat gerakan ruku’. Sebab, salat yang dilakukan oleh umat terdahulu tidak ada ruku’ di dalamnya. Selain itu, bila dilihat dari aspek sabab nuzul-nya, ayat ini memerintahkan kepada ahli kitab untuk melaksanakan salat bersama Rasulullah saw., memberikan zakat kepada beliau. Seakan-akan Allah hendak berkata kepada ahli kitab “Hiduplah bersama orang-orang mukmin dan jadilah bagian dari mereka”. Al-Razi (W. 606 H) menambahkan bahwa di sana juga terdapat perintah untuk rendah hati serta larangan untuk bersikap sombong.
Pemilihan lafadz أقيموا pada ayat ini –juga ayat-ayat lainnya dalam Al-Quran– bukanlah tanpa alasan. Dalam tafsirnya, al-Qurthubi (W. 671 H) menjelaskan bahwa makna dari iqamah ialah mengerjakan suatu perbuatan secara kontinu. Maksudnya melaksanakan salat pada waktunya sesuai dengan syarat, rukun, dan sunah-sunahnya secara istiqomah. Apabila kita telah melewati waktu salat, para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan meng-qadha salat.
Korelasi antara Salat dan Zakat
Dalam agama Islam, ibadah terbagi menjadi dua bentuk, yaitu ibadah qasirah (ibadah individual) dan ibadah muta’addiyah (ibadah sosial) yang manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh pelakunya, melainkan banyak orang. Ibadah individual contohnya seperti salat, puasa, haji, umrah, dan lain-lain. Sedangkan ibadah sosial misalnya seperti sedekah, zakat, wakaf, hibah, dan lain sebagainya.
Al-Quran kerap kali menyebutkan perintah salat beriringan dengan perintah menunaikan zakat. Selain pada QS. Al-Baqarah [2]: 43, terdapat sekitar 26 ayat lainnya yang menampilkan dua tema ini dalam satu ayat. Mengapa demikian? Sebab, salat merupakan ibadah badaniyyah (fisik) yang paling utama sedangkan zakat merupakan ibadah maliyyah (harta) yang paling utama.
Keduanya merupakan implementasi dari hablum min Allah dan hablum min al-nas. Wujud hubungan vertikal-horizontal yang seimbang memang jarang ditemukan pada diri seseorang. Biasanya, jika bagus hubungannya dengan Tuhan, kurang baik hubungannya dengan sesama manusia, pun sebaliknya. Namun, spirit keseimbangan inilah yang dibawa serta diharapkan oleh agama. Bukan untuk lebih condong kepada salah satunya bahkan hingga menganggap rendah yang lainnya.
Selain dalam rangka menjalankan kewajiban, ibadah salat mempunyai beberapa pelajaran penting yang diharapkan dapat meresap ke dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah aspek kedisiplinan dalam mengatur waktu. Salat wajib haruslah dilakukan pada waktunya (lima waktu), tidak bisa ditambah ataupun dikurangi. Tata cara pelaksanaannya pun telah diatur sedemikian rupa. Para kiai sering dawuh “Barang siapa yang menjaga salat nya, maka akan teratur hidupnya”.
Zakat, secara syari’at, ditujukan untuk membersihkan (tazkiyah) harta yang dimiliki oleh muzakki (pemberi zakat). Bila ditilik lebih dalam lagi, zakat berfungsi sebagai solusi untuk mengatasi ketimpangan ekonomi dalam masyarakat. Sehingga harta yang ada tidak hanya berputar di kalangan orang kaya saja melainkan tersebar kepada golongan menengah ke bawah juga. Permasalahan ekonomi yang menjadi problem era sekarang dirasa dapat diselesaikan lewat penyaluran zakat secara tepat sasaran.
Berbuat Baik dan Menegakkan Kebenaran Secara Jamaah
Nilai yang tak kalah pentingnya pada QS. Al-Baqarah [2]: 43 ialah menyangkut tentang pola jamaah tatkala hendak melakukan perbuatan baik dan menegakkan kebenaran. Komunitas yang baik dapat memberi dampak yang luar biasa terhadap orang-orang yang berada di dalamnya. Apalagi, sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup secara individual sepanjang hayatnya. Untuk memenuhi kebutuhannya, manusia harus menjalin hubungan dengan individu atau komunitas lainnya.
Kekuatan dari suatu kegiatan yang dilakukan secara berjamaah adalah lebih besar dibanding dengan perbuatan yang dilakukan sendirian. Apalagi bila yang dilakukan adalah perbuatan baik atau perlawanan terhadap kezaliman. Pola jamaah yang dimaksud di sini tentunya dengan aturan serta tatanan yang jelas dan terarah. Bukan dilakukan secara sembrono dan tanpa orientasi. Dengan demikian, nilai-nilai kemaslahatan akan terealisasi secara nyata dalam kehidupan kita.
Walhasil, dimensi ‘abid dan khalifah yang disandang oleh manusia bukan hanya sebagai bunga tidur semata bilamana kita mengambil pelajaran serta mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan. Pada dasarnya, agama tidak mengkapling dimensi duniawi dan ukhrawi pada ruang yang berbeda. Agama memerintahkan kita untuk bersikap seimbang terhadap dunia ataupun akhirat. Walaupun akhirat menjadi destinasi akhir segala kehidupan, Allah juga memerintahkan kita agar tidak melupakan kehidupan di dunia. Caranya adalah dengan beribadah dengan sungguh-sungguh. Ibadah yang bermakna qashirah (individu) maupun muta’addiyah (sosial). Bukan hanya ibadah sebagai ritual semata. Bahkan, pekerjaan yang diniatkan untuk beribadah juga dapat bernilai pahala di sisi-Nya. Wallahu a’lam.
Referensi :
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj.
Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi.
Ismail bin Umar Ibn Katsir, Tafsir Al-Quran al-‘Adzim.
Fakhr al-Din Muhammad bin Umar Al-Razi, Mafatih al-Ghaib.
Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam Al-Quran.