Tarik-Ulur Kritik Terhadap Abdullah bin al-Mubarak
Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin al-Mubarak bin Wadhih, Abu Abdurrahman al-Handzali. Namun, beliau lebih dikenal dengan“Ibnul Mubarak” (118 H – 181 H). Ayahnya berasal dari Turki dan ibunya dari Khawarizmi. Gelar beliau sangat banyak, di antaranya: Al-Hafizh, Syekh Al-Islam, Fakhr Al-Mujahidin, pemimpin para ahli zuhud, dan masih banyak gelar lainnya. Beliau habiskan usianya untuk melakukan safar dalam rangka berhaji, berjihad, dan berdagang. Karena itu, beliau dikenal dengan “As-Saffar” (orang yang rajin melakukan perjalanan).
Abdullah bin al Mubarak adalah imam Hadis selain al-Tsawri, Malik bin Anas dan Hammad bin Zaid, menurut bin Mahdi. Kapasitasnya sebagai pendekar Hadis tidak terbantahkan. Banyak ulama Hadis setelahnya yang mengambil Hadis dari Abdullah bin al-Mubarak. Di antara murid senior beliau adalah Abdurrahman bin Mahdi, Yahya bin Ma`in, Hibban bin Musa, Abu Bakr bin Abi Syaibah, Utsman bin Abi Syaibah, Ahmad bin Mani`, Ahmad bin Jamil, Al-Husain Al-Maruzi, Hasan bin `Arafah, dan masih banyak ulama besar lainnya. Sampai datanglah Ahmad Amin yang kemudian mengkritik Abdullah bin al-Mubarak.
Ahmad Amin (selanjutnya ditulis Amin) lahir di Kairo, pada tanggal 1 Oktober 1886 M, tepat 2 Muharram 1304 tahun setelah hijrahnya Nabi Muhammad Saw dari Mekkah al-Mukarramah ke Madinah al-Munawwarah. Amin pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Adab Universitas Kairo. Selain itu, pada tahun 1947 M diangkat sebagai Rektor pada Direktorat Kebudayaan di Liga Arab (Jami’at al-Duwal al-‘Arabiyah). Cukuplah kita untuk mengakui bahwa Amin memiliki intelektual yang mempuni.
Amin juga dikenal sebagai penulis yg produktif. Tidak kurang dari 16 karya yang masing-masing tidak bisa dibaca dengan sekali duduk saja. Semisal Qishshat al-Falsafat al-Yunaniyah, Fajr al-Islam, al-Naqd al-adabi, Zhuhr al-Islam, dan lain-lain. Dari karya-karya Amin, dapat disimpulkan bahwa selama hidupnya Amin menekuni sedikitinya tiga bidang studi, yaitu (1) filsafat atau pemikiran Islam (2) sejarah peradaban Islam, dan (3) sastra Arab.
Pada dasarnya Amin sama sekali tidak meragukan otoritas Hadis sebagai pedoman dan sumber hukum Islam. Namun, otentisitas dari Hadis lah yang menjadi keraguan bagi Amin. Bahkan, Amin memvonis beberapa Hadis dalam kitab Shahih al Bukhari maudhu’ . Suksesi keraguan Amin terhadap Hadis adalah dengan cara mengkritik perawi-nya. Salah satu korban kritiknya adalah Abdullah bin al-Mubarak.
Dalam Fajr al-Islam halaman 212, Amin mempersoalkan kualitas pribadi Abdullah bin al-Mubarak. “Sebagian dari pemalsu-pemalsu itu, “kata Amin,” ada yang berniat baik. Dia mengumpulkan apa saja yang diterimanya atas anggapan bahwa semuanya shahih. Jadi, dia secara pribadi adalah seorang yang jujur, dan menuruturkan apa saja yang telah didengarnya.” Amin menambahkan, “masyarakat mengambil Hadis dari dia dan terkecoh oleh kejujurannya.
Ditunjuknya Abdullah bin al-Mubarak yang menurutnya andal dan jujur dalam perkataan, tetapi dalam mengambil Hadis, dia tanpa pilih-pilih.” Pernyataan Amin diatas memuji namun setali dua uang mencelanya karena diniliai tidak selektif dalam penerimaan Hadis.
Kritik Amin pada halaman 212 Fajr al-Islam, (nanti akan dibantah oleh Musthafa al-Siba’i) disimpulkan sebagai kritik yang tidak memiliki kekuatan argumen sebagai alat bukti (eufisme dari bernilai lemah), yaitu:
Bahwa Abdullah bin al-Mubarak adalah seorang yang berniat baik berkenaan dengan Hadis yang ia dengar, tanpa melakukan kritik kepada periwayat.
Bahwa orang banyak tertipu oleh kejujurannya sehingga mereka mengambil setiap Hadis yang didengar dari dia dengan anggapan bahwa Hadis-hadis itu shahih.
Bahwa ungkapan yang dikutipnya dari Shahih Muslim adalah benar-benar ditujukan kepada Abdullah bin Al-Mubarak.
Kritikan Amin kemudian mendapat tanggapan dari Musthafa al-Siba’i (selanjutnya ditulis al-Siba’i) dalam karyanya berjudul al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami.
Al-Siba’i lahir di kota Homs, salah satu kota di negera Syiria, pada tahun 1915 M; bertepatan dengan 1333 H. Jika dibaca riwayat hidupnya, al-Siba’i aktif berdakwah lewat media tulis. Tidak kurang dua puluh karya telah dikukuhkan sebagai jalan dakwah yang ia tempuh. Di bidang keilmuan, al-Siba’ diakui tokoh alim di bidang Hadis, hukum Islam, sejarah peradaban, sosialisme, dan metodologi keilmuan.
Dalam menanggapi kritikan Amin, al-Siba’i menyuguhkan pembelaan dengan cukup argumentatif. Sebagai berikut.
Mengenai yang pertama, al-Siba’i memulai dengan memperkuat personal Abdullah bin al-Mubarak. Menurutnya, Abdullah bin al-Mubarak adalah seorang yang paling terkenal dari para imam zamannya; pribadi yang jujur, kuat hafalan, juga sangat kritis dengan memperhatikan tokoh-tokih Hadis dengan keras. Hal ini dibuktikan al-Siba’i dengan merujuk kepada muqaddimah shahih Muslim.
Muslim menuturkan, antara lain, dengan sanad ‘Ali bin Syaqiq yang berkata,”Saya mendengar Abdullah bin al-Mubarak berkata di depan orang banyak, “Tinggalkan Hadis ‘Amr bin Tsabit karena dia pernah mengumpat kaum Salaf.” Kemudian sanad kepada Ahmad bin Yusuf al-Azdi yang berkata,”Aku pernah mendengar ‘Abd al-Razzaq berkata,”Tidak pernah ku saksikan Bin al-Mubarak dengan tegas mengatakan pembohong kecuali kepada bin al-Quddus.” Dengan ini gugurlah kritik pertama penulis Fajr al Islam.
Mengenai yang kedua. Sebenarnya poin kedua ini berhubungan erat dengan poin pertama, yakni Amin mengklaim bahwa masyarakat (terutama ahli Hadis) telah tertipu oleh kejujurannya. Maka kita telah melihat sendiri bahwa dia adalah seorang yang kritis kepada tokoh-tokoh sanad. Berarti, jika kejujuran berkumpul dengan sikap ‘adil, hafalan kuat, dan keteguhan hati dalam diri satu orang, maka wajib bagi kita berpegang kepada pendapatnya. Demikian yang terjadi pada Abdullah bin al-Mubarak.
Dalam menjawab poin ketiga, al-Siba’i merasa heran dengan pernyataan Amin. Pasalnya, ungkapan Muslim dalam kitab Shahihnya itu berbunyi begini:
Bin al-Qahzadz menurutkan kepadaku demikian,”Kudengar Wahb mengatakan, dikutip dari Sufyan berasal dari bin al Mubarak, begini, “Baqiyyah adalah orang terpercaya ucapannya, tetapi dia mengambil (Hadis) dari orang yang menghadap maupun orang yang membelakang (maksudnya, dari siapa saja tanpa dikritisi terlebih dahulu)”.
Berdasarkan keterangan diatas, al-Siba’i melihat Amin telah melakukan dua kesalahan: Pertama, Ia mengira sebagai ucapan tentang Bin Al-Mubarak oleh orang lain, padahal sebenarnya ucapan Bin al Mubarak tentang orang lain. Kedua, Dia salah mengutip kata “ثقة” (‘adil dan dhabit) padahal dalam kitab Shahih Muslim kata-katanya ialah “بقية” (nama perawi Hadis).
Kesimpulan dari penulis adalah Musthafa al-Siba’i berada dalam jalan yang benar dengan argumentasi yang kuat. Bukti lain adalah dawuh dari Abdullah bin al Mubarak :
الْإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
“Sanad adalah sebagian dari agama. Seandainya tiada sanad, maka orang pasti akan berbicara semau yang ia kehendaki.”
Dari aforisme di atas sudah tergambar bagaimana sikap selektif Abdullah bin al Mubarak. Dan Ahmad Amin pun sudah mengakui kejujuran Abdullah bin al Mubarak. Berarti Amin pun percaya, bahwa Bin al Mubarak tidak akan berbohong atas ucapannya. Maka argumentasi Mustafa al-Siba’i yang mempertahankan ke-tsiqah-an Abdullah bin al-Mubarak bisa diterima.