Tawaran Pemahaman Hadis Feminisme di era kontemporer; Pemikiran Hadis Misoginis Fatima Mernissi

Majalahnabawi.com – Pada realita historis, hadis merupakan bagian dari ukiran sejarah umat islam yang tidak dapat dipisahkan karena bersandarkan kepada risalah kenabian Nabi Muhammad Saw. dan juga tidak heran bahwa hadis adalah sumber hukum islam kedua yang dijadikan referensi dalam menetapkan suatu hukum permasalahan terutama dalam segala problematika kehidupan pada saat era kontemporer ini. Seiring berjalannya waktu, hadis tidak akan bisa dihilangkan penggunaanya untuk menetapkan suatu hukum, karena hadis sudah menjadi patokan yang sudah ditetapkan oleh kesepakatan para ulama sebagai masadhir al-ahkam yang muttaafaq (disepakati).

Al-Qarafi dalam sebuah kitabnya menjelaskan hadis sebagai sebuah terminologi yang harus dibedakan dan meninjau terlebih dahulu posisi nabi sebagai utusan atau rasul, nabi sebagai hakim atau pemberi putusan perkara, pemimpin masyarakat, kepala keluarga, dan juga kepribadian nabi sendiri akan mempengaruhi pemahaman hadis bagi generasi setelahnya. Maka dengan persoalan terminologi tersebut belum tercapainya titik final untuk saling menyepakati satu sama lainnya. Dan sebagai konsekwensinya adalah muncul berbagai macam variatif pemahaman terhadap hadis-hadis nabi menurut keilmuwan masing-masing para cendekiawan dan juga latarbelakang konteks baik berdasarkan historis maupun zaman atau peristiwa yang dialami pada masa kontemporer ini.

Hadis-hadis nabi yang sudah sekian lama diperbincangkan dan ditinjau kembali agar sesuai dengan konteks pemahaman zaman dan tidak bertentangan dengan nalar ilmiah. Salah satunya adalah mengenai hadis-hadis yang keberadaannya oleh para aktivis gender dan feminisme seolah-olah mendiskreditkan kedudukan kaum hawa, salah satunya yang disuarakan oleh salah seorang aktivis feminis dan juga pemikir islam moderat Arab-Maroko yaitu Fatima Mernissi.

Fatima memiliki cara tersendiri ketika melakukan tinjauan ulang hadis-hadis tersebut, baginya hadis-hadis misoginis tidak boleh dimaknai secara literal menurut arti dasarnya saja, akan tetapi harus dilihat dari konteks kapan hadis itu dipahami, artinya sebagai sebuah ajaran yang mengikat dan sumber sandaran hukum, hadis tidak hanya milik pemahaman orang-orang masa lalu namun juga masa kini yang sudah pasti berbeda, oleh karena itu akan tampak disini Fatima Mernissi mengedepankan hermeneutika dalam menilai hadis-hadis misoginis.

Gagasan pemikiran Fatima akan terlihat kental dengan nuansa konstruk sosiologi yang dibangunnya sebagai kerangka awal. Argumentasi yang ingin dibangun olehnya berangkat dari realitas konteks menuju teks, karena pada dasarnya konteks tidak mungkin berseberangan dengan teks begitu pula sebaliknya. Fatima melihat secara kritis hadis-hadis misoginis sebagai bagian yang harus direkonstruksi dengan implikasi metodologi yang dikemukakannya.

Dalam banyak literatur hadis menurut Fatima seolah-olah banyak hadis yang dipahami mendiskreditkan kaum wanita. Hadis-hadis tersebut dipahami secara umum dan menjadi dogma agama bertahun-tahun lamanya, menurutnya adalah tidak relevan pada satu sisi nabi sebagai rasul memuliakan wanita namun dalam lain hal terkesan mengesampingkan wanita di beberapa hadisnya.

Hadis mengenai kepemimpinan perempuan juga menjadi pembahasan yang menarik dalam kajian hadis misoginis. Pemahaman terhadap hadis ini memunculkan anggapan yang selama ini dianut yaitu yang berhak menjadi pemimpin adalah kaum laki-laki, sedangkan perempuan hanya diberikan ruang sedikit karena dianggap kemampuannya terbatas dibandingkan laki-laki. Perempuan lebih cocok tinggal di rumah agar suasana rumah terjaga dengan baik dan melayani suami, kodratnya laki-laki lebih superior memiliki kekuatan dan kecakapan maka dianggap lebih siap menerima kepemimpinan. Menurut Nizar Ali sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Tasrif dalam bukunya Kajian Hadis di Indonesia; Sejarah dan Pemikiran, hadis mengenai kepemimpinan perempuan harus dilihat dengan kacamata budaya yang melekat pada saat itu.  Dimana pada saat nabi mengucapkan hadis ini, apakah ada peristiwa yang menyertainnya atau tidak.

Tampak jelas arah Fatima Mernissi dalam pemikiran hadis bahwa realitas teks agama akan sesuai dengan realitas konteks sebagai realitas historis yang paling mungkin dapat diterima.  Oleh karena itu makna teks akan ditarik sejalan dengan konteks masa pemahaman setiap pembacanya, karena teks tidak mungkin menyalahi ruang konteks saat pertama yang sejatinya konteks dan teks adalah lahir bersamaan sehingga memunculkan persepsi. Dalam hal ini hadis sebagai produk sejarah tidak mungkin dipisahkan dari proses transmisi yang terjadi pada setiap generasi para informannya.

Gagasan yang dicetuskan oleh Fatima Mernissi sangat dipengaruhi oleh latar belakang dan kesejarahan hidupnya, sebenarnya konstruk pemikiran seperti ini juga sudah banyak digagas oleh pemikir lain semisal Rifat Hasan dan lain-lain, atau oleh Muhammad al-Ghazali dari Mesir yang banyak mengkritik hadis-hadis misoginis terhadap perempuan. Tampaknya yang menjadi unik adalah upaya konstruksi tersebut lahir dari buah pemikiran seorang perempuan sendiri. Maka setelah mengetahui pokok inti gagasan pemikiran Fatima Mernissi bisa disimpulkan bahwa menurutnya ajaran dan pemahaman keagamaan yang memojokkan kaum wanita pada teks-teks hadis adalah kesalahan dalam memaknai hadis dimaknai secara tekstual, karena ajaran agama sebenarnya tidak mungkin demikian, oleh karena itu perlu ditelaah kembali.

Similar Posts