Tawassul dalam Islam: Sebuah Jalan untuk Mendekatkan Diri pada Allah

Majalahnabawi.com-Sekian perdebatan serta perbedaan pendapat pada kaum Muslim hingga hari ini dirasa belum tuntas. Dalam perkara “berdoa”, dikenal istilah “tawassul” atau menjadikan sesuatu sebagai pertengahan atau perantara hamba dengan Allah Swt. Namun, seperti apa pengertian, bentuk, batasan serta contoh bertawassul yang diperbolehkan dalam Islam. Pasalnya, gaya bertawassul pada zaman ini semakin perlu untuk diperhatikan agar tidak melewati batas syariat yang telah digariskan Allah Swt.

Pengertian Tawassul

                Sayyid Alawi al-Makki dalam kitab beliau al-Mafaahiim Yajibu An Tusahha setidaknya menghidangkan sekian definisi mengenai tawassul, antara lain:

  1. Tawassul merupakan cara bermunajat serta salah satu jalan dari sekian jalan menuju Allah Swt. Adapun harapan utamanya tetap kepada Allah Swt. Media yang dianggap sebagai jalan tawassul berkontribusi sebagai objek yang mampu mendekatkan hamba kepada Allah Swt.
  2. Hamba yang bertawassul tentu saja tidak melakukannya kecuali dengan meyakini bahwa media yang dijadikan tawassul disenangi oleh hamba tersebut dan disenangi oleh Allah Swt.
  3. Tawassul tidaklah suatu syarat akan dijawabnya doa. Bahkan, dalam firman Allah Swt diberitahukan indikasi agar berhubungan langsung kepada Allah Swt, dalam Q. S Al-Baqarah [2]: 186 disebutkan,“…Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku..”. Namun, perlu diketahui juga bahwa ditemukan ayat yang menuntut indikasi akan perlunya mencari media untuk bertawassul kepada Allah Swt, dalam Q. S Al-Ma’idah [5]: 35 disebutkan, “…Hai orang-orang yang beriman, betakwalah kepada Allah Swt dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya…”

Pola Tawassul yang Dikehendaki Ulama’

                Keampuhan bertawassul dalam segudang khazanah literatur Islam tidak dapat dipungkiri. Sejumlah hikayat dan kisah tersebut dapat disimpulkan bahwa, para hamba Allah Swt bertawassul dengan media berpuasa, shalat, membaca al-Quran, sedekah dan sebagainya. Bahkan, bertawassul dengan model demikian memiliki potensi yang cukup besar untuk diterima dan dijawab oleh Allah Swt.

                Hal demikian diperkuat dengan salah satu kisah masyhur mengenai 3 orang shaleh yang terjebak dalam goa. Dalam suatu riwayat dijelaskan, “,,,seseorang bertawassul berupa dedikasinya akan keduaorangtua, seseorang lagi bertawassul melalui penolakannya terhadap kesempatan zina yang mudah baginya untuk melakukan. Adapun seorang terakhir bertawassul dengan sikapnya yang amanah dalam menjaga harta orang lain dan mengembalikan harta tersebut dengan utuh”. Dengan bentuk tawassul demikian, Allah Swt membuka atau menyingkirkan masalah yang dihadapi, yaitu membuka bagi mereka batu besar tersebut.

                Tawassul dengan metode di atas telah dianalisis serta dikaji secara mendalam oleh Syekh Ibnu Taimiyah dalam sekian kitab karangan beliau, seperti kitab Qa’idat Jaliilat Fi al-Tawaasul Wa al-Wasiilat. Maka, bertawassul demikian boleh dipraktikan karena ditemukan adanya pengesahan yang kredibel sekaligus pembolehan dari para ulama’ yang mu’tabarah.

             Hukum dan Hikayat Tawassul

                Khazanah Islam berupa literatur kitab-kitab klasik cukup kaya. Dalam konteks ini, penulis merangkum sekian hukum dan hikayat mengenai tawassul dari khazanah literatur tersebut,

  1. Syeikh Ibnu Taimiyah dalam kitab beliau al-Fatawa al-Kubra menguraikan sebuah pertanyaan, “apakah boleh bertawasul dengan Nabi Saw?”, beliau menjawab, “Alhamdulillah, adapun tawasul dengan iman kepada beliau, kecintaan, ketaatan, shalawat serta salam kepada beliau dan dengan do’a serta syafaat beliau dan sebagainya, juga menyangkut hal-hal yang merupakan tindakan Nabi Saw, maka tawasul seperti ini disyariatkan menurut kesepakatan ulama muslimin”
  2. Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam Majmu’at al-Muallifat membolehkan bertawasul kepada orang-orang shaleh, juga kepada Nabi Muhammad Saw. Dalam hal ini, beliau bersandar kepada pendapat mayoritas ulama’, yaitu makruh. Akan tetapi, beliau tidak mengingkari bahkan menganggap orang-orang yang bertawassul dengan orang shaleh tersebut telah kafir sebagaimana tuduhan yang dikenakan kepada beliau. Adapun beliau mengingkari kepada orang-orang yang bertawassul kepada kuburan dengan cara merengek serta menangis tersedu-sedu serta berharap diangkat darinya kesulitan atau diberikan kepadanya sebuah kebahagiaan.
  3. Nabi Adam bertawassul kepada Nabi Muhammad Saw, dalam Mustadrak al-Hakim diuraikan, “Saat Nabi Adam as melakukan kesalahan, beliau memohon “Ya Tuhanku, aku memohon kepadaMu dengan haknya Muhammad Saw agar Engkau mengampuniku”. Allah Swt menjawab, “Wahai Adam, bagaimana engkau mengenal Muhammad Saw padahal Aku belum menciptakannya?”. Nabi Adam as menjawab, “Wahai Tuhanku ketika Engkau menciptakanku dengan kekuatanMu serta Engkau tiupkan pada tubuhku ruhMu, aku melihat pada kaki-kaki Arsy sebuah tulisan ‘Laa Ilaaha Illa Allah Muhammad Rasul Allah’”. Melalui fenomena tersebut, Allah Swt berdasarkan haknya Muhammad Saw mengampuni Nabi Adam as.
  4. Bertawassul dengan jejak peninggalan Nabi. Dalam kitab Mafahim Yajibu An Tusahha disebutkan mengenai keinginan Umar bin Khattab agar dimakamkan di samping makam Rasulullah Saw dengan maksud mengharapkan berkah. Selain itu, diuraikan juga mengenai Asma’ binti Abu Bakar yang menyimpan jubah Nabi Saw. Adapun jubah tersebut dicuci dan dimanfaatkan bekas airnya untuk orang-orang yang sakit. Hal demikian memiliki keterkaitan yang erat dengan pembahasan “tabarruk”.

Dalam agama Islam, pilihan akan pendapat para ulama’ adalah sesuatu yang tidak membingungkan. Adanya sekian pendapat menjadikan sebuah tawassu’ atau keluasan bagi pemeluknya. Dalam konteks tawassul, pembaca bisa mengambil pendapat yang dirasa cocok dan tidak melewati batasan syariat. Wallahu a’lam.

Similar Posts