Musyawarah

Tetaplah Bermusyawarah!

majalahnabawi.com – Waktu itu 3 Hijriah awal bulan Syawal. Kaum Kafir Quraisy hendak balas dendam karena kekalahan dalam perang Badar. Nabi dan penduduk Madinah bermusyawarah, bagaimana strategi menghadapi serangan Quraisy ini. Dalam musyawarah, sebagian kecil, termasuk Nabi, berpendapat agar bertahan dan berperang di Madinah. Ini lebih menguntungkan penduduk Madinah karena pasukan Quraisy jauh lebih banyak. Dalam keadaan seperti itu, perang di lorong-lorong Madinah lebih menghemat tenaga dan pasukan.

Namun, sebagian besar peserta musyawarah, terutama para pemuda, menggebu-gebu untuk menyongsong lawan di luar Madinah. “Bagaimana mungkin, pada masa jahiliah, tidak ada yang menyerang kita di dalam Madinah. Apalagi setelah Islam?” Begitu mereka mengutarakan argumennya.

Akhirnya, berdasarkan musyawarah, keputusan menjadi tetap. Pasukan menyongsong musuh di luar Madinah. Nabi mengenakan pakaian dan peralatan perangnya.

Namun, kaum Ansar merasa bersalah. Kita telah menolak pendapat Nabi. Mereka menghadap dan berkata, Wahai Nabi, urusan kami ikut kepadamu. Tapi apa jawaban Nabi? “Tidaklah layak, seorang Nabi yang telah mengenakan peralatan perangnya, melepas kembali.” Kisah ini, Jabir bin Abdillah (w. 68 H) menceritakannya dan tercatat dalam Sunan al-Darimi dan Musnad Ahmad. Berikut teks hadis dalam Sunan al-Darimi.

Hadis

أَخْبَرَنَا الْحَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ ، حَدَّثَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ ، عَنْ جَابِرٍ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ” رَأَيْتُ كَأَنِّي فِي دِرْعٍ حَصِينَةٍ، وَرَأَيْتُ بَقَرًا يُنْحَرُ، فَأَوَّلْتُ أَنَّ الدِّرْعَ الْمَدِينَةُ، وَأَنَّ الْبَقَرَ نَفَرٌ – وَاللَّهُ خَيْرٌ – وَلَوْ أَقَمْنَا بِالْمَدِينَةِ فَإِنْ دَخَلُوا عَلَيْنَا قَاتَلْنَاهُمْ “. فَقَالُوا : وَاللَّهِ مَا دُخِلَتْ عَلَيْنَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ، أَفَتُدْخَلُ عَلَيْنَا فِي الْإِسْلَامِ ؟ قَالَ : ” فَشَأْنَكُمْ إِذَنْ “. وَقَالَتِ الْأَنْصَارُ بَعْضُهَا لِبَعْضٍ : رَدَدْنَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأْيَهُ. فَجَاءُوا فَقَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ، شَأْنَكَ. فَقَالَ : ” الْآنَ، إِنَّهُ لَيْسَ لِنَبِيٍّ إِذَا لَبِسَ لَأْمَتَهُ أَنْ يَضَعَهَا حَتَّى يُقَاتِلَ “.

Dari Jabir (w. 68 H) radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Aku bermimpi seakan memakai baju besi yang kuat. Aku juga bermimpi melihat seekor sapi yang tersembelih. Aku artikan baju besi yang kuat sebagai Madinah, sedang makna sapi-demi Allah-itu adalah sebuah kebaikan. Jika saja kita bermukim di Madinah, lalu mereka (menyerang) kita di sana, niscaya kita akan memerangi mereka.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah, belum pernah ada yang menyerang kami di kota Madinah semasa Jahiliah, bagaimana bisa kita diserang pada masa Islam?” Beliau bersabda, “Terserah kalian, kalau begitu.” Lalu orang-orang Ansar berkata, “Kami telah menolak pendapat Nabi ﷺ’, ” Akhirnya mereka datang dan berkata, “Wahai Rasulullah, kalau begitu urusan kami menurut kepada engkau.” Beliau bersabda, “Tidak layak bagi seorang Nabi jika telah memakai baju besi, lalu melepasnya kembali sampai ia berperang.”

HR. Al-Darimi (181-255 H).

Musyawarah, Sebuah Pelajaran

Artinya apa? Keputusan musyawarah tak dapat diubah sewenang-wenang, kecuali kembali dimusyawarahkan. Namun, ketika itu waktu tidaklah lagi memungkinkan.

Singkat cerita, secara lahir pasukan Madinah dapat dikatakan kalah. Sekitar tujuh puluh orang syahid. Nabi terluka. Namun, apakah kemudian musyawarah menjadi tersangka dan harus ditinggalkan? Justru kemudian Allah langsung berpesan kepada Nabi-Nya.

“Maka, berkat rahmat Allah-lah, engkau [wahai Nabi] bersikap lemah-lembut terhadap mereka [para pengikutmu]. Sebab, andaikan engkau bersikap keras dan berhati kasar, mereka tentu akan menjauhkan diri darimu. Maka, maafkanlah mereka dan berdoalah agar mereka diampuni. Dan, tetaplah bermusyawarah dengan mereka dalam segala urusan yang menyangkut kepentingan masyarakat umum. Kemudian, jika engkau telah menetapkan langkah tindakan, bersandarlah penuh percaya kepada Allah. Sebab, sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bersandar penuh percaya kepada-Nya.” (Alu ‘Imran/3: 159).

Artinya apa? Apapun yang kemudian terjadi, bertindak berdasarkan musyawarah, tetaplah itu yang lebih aman. Coba bayangkan, hanya pendapat satu orang atau minoritas yang dijalankan. Andai pun perang menang, tidaklah begitu membanggakan. Jika kalah, kesedihan akan lebih mendalam. Namun dalam musyawarah, apapun yang terjadi, kita rasakan bersama. Kemenangan adalah kebanggaan semua. Kekalahan adalah tanggungan dan pelajaran sekalian. Sehingga, kesedihan tidaklah terlalu mencekam.

Intinya apa? Tetaplah bermusyawarah. Apa yang akan terjadi, hanya Allah yang tahu. Namun, persiapan dan kesiapan ada di pundak manusia sebagai ikhtiar.
Wallahu a’lam

Similar Posts