Tidak Ada Cinta Tanpa Luka
Majalah Nabawi.com – Kali ini, penulis bermaksud melanjutkan tulisan yang ia tulis sebelumnya dengan judul “Studi Kritis Rasionalika terhadap Pemahaman Ilmu Hadis Imam al-Ghazali”. Lanjutan tulisan ini merupakan hasil telaah penulis terhadap sesi tanya jawab kajian mingguan yang diadakan Lembaga Kajian dan Riset Rasionalika (Lemkaris Rasionalika).
Sesi tanya jawab kajian mingguan Rasionalika yang diselenggarakan pada hari Sabtu malam, 05 Februari 2022 di Perpustakaan Ma’had Darus-Sunnah, Ciputat berlangsung sengit dan panas. Sesi ini menghabiskan kurang lebih 2 jam hingga ditutupnya acara. Namun sepanjang pengamatan penulis, ada sebuah pertanyaan yang menjadi pemantik bagi pertanyaan-pertanyaan lainnya dan penulis anggap sebagai pertanyaan inti yang ada di sesi ini. Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh Muhammad Auliya (mahasantri semester 8). Kurang lebih pertanyaan yang ia ajukan ialah: “Apakah sosok Imam al-Ghazali adalah tokoh nyata dan hanya ada satu orang atau justru tokoh buatan yang dibuat-buat oleh pihak tertentu, baik keberadaannya bisa ditemui secara nyata maupun fiksi, serta berjumlah satu ataupun lebih?”
Tanggapan dari Para Pemateri dan Peserta
Pertanyaan yang diajukan kepada pemateri pada malam itu pun direspon oleh para pemateri. Tak mau kalah, beberapa peserta pun turut merespon diskusi yang terjadi pada malam itu. Dari tanggapan-tanggapan itu, penulis mendapatkan beberapa poin penting yang dirasa sayang bila tak disebarluaskan kepada masyarakat umum, khususnya melalui platform media ini.
Ada beberapa pertanyaan menarik dalam kajian ini
Apakah al-Ghazali adalah Sosok Nyata?
Berdasarkan diskusi yang terjadi pada sesi tanya jawab kajian mingguan Rasionalika dengan judul “Otoritas Imam al-Ghazali dalam Ilmu Hadis: Satu Tinjauan yang Adil” itu, terdapat 2 jawaban kuat yang mampu membuktikan keberadaan dan kenyataan sosok al-Ghazali yang dikenal dengan sederet karya tulisnya, terutama di bidang tasawuf, fikih, dan akidah.
Adanya ratusan karya al-Ghazali dengan gaya bahasa yang sama.
Sepanjang hidupnya, Al Ghazali telah menghasilkan sederet karya tulis di berbagai bidang keilmuan. Sebut saja Ihya Ulumuddin di bidang tasawuf, al-Iqtishad fi al-I’tiqad di bidang tauhid, al-Mustashfa di bidang usul fikih, dan lain sebagainya. Menurut beberapa audiens yang menanggapi pertanyaan pada kajian tersebut, diakui bahwa al-Ghazali memiliki gaya bahasa yang khas.
Kekhasan gaya bahasa adalah hal yang wajar ditemui bagai setiap penulis, bahkan bisa dikatakan bahwa gaya bahasa khas yang dihadirkan oleh setiap penulis menjadi daya Tarik dunia sastra dan kepenulisan. Sopyan Munir (mahasantri semester 8), mengaku sangat senang membaca novel-novel yang dituliskan oleh Tere Liye. Sederet buku pun telah ia baca. Menurutnya, Tere Liye memiliki gaya bahasa khas yang membedakan tulisannya dengan tulisan milik orang lain. Ia pun melanjutkan bahwa Tere Liye memiliki kekhasan dalam gaya kepenulisannya, tentu al-Ghazali yang telah menuliskan sekian banyak karya tulis pun juga memiliki gaya bahasanya sendiri.
Tidak ditemukannya visi yang kongkret berkenaan dengan sosok al-Ghazali yang diada-adakan keberadaannya
Menurut Muhammad Iqbal Akmaluddin (mahasantri semester 6), peran ulama yang ada di masa hidup Imam al-Ghazali, yang bertepatan dengan masa pemerintahan Dinasti Bani Saljuk, tidak begitu diperhatikan oleh masyarakat. Hal tersebut dikarenakan kondisi masyarakat saat itu yang relatif nyaman dan tidak dipenuhi dengan kejadian-kejadian tragis, seperti perang salib, invansi pasukan Mongol, dan lain sebagainya.
Iqbal menambahkan, kalaupun keberadaan Al Ghazali adalah suatu catatan sejarah yang diada-ada dengan motif branding, maka motif branding inilah yang menjadi faktanya, sementara statement yang mengatakan sosoknya hanyalah diada-ada agaknya perlu dipertimbangkan kembali argumentasinya. Branding yang diberikan kepada Al Ghazali memang benar adanya, yaitu branding Imam Al Ghazali sebagai seorang ulama masyhur yang ada di era itu. Salahsatunya adalah fakta adanya pengangkatan Al Ghazali sebagai pimpinan Madrasah Nizhamiyah setelah wafatnya Imam Al Juwaini. Dari sini dapat diketahui bahwa branding yang diberikan kepada Al Ghazali bukanlah branding palsu yang tidak jelas maksud dan tujuannya.
Selain itu, branding dirasa menjadi langkah penting bagi kemaslahatan umat Islam kala itu. Branding yang dimaksud adalah branding pemikiran, terutama pemikiran aliran teologi Asya’iroh. al-Ghazali juga disebut menjadi pionir yang mencegah adanya kerusakan pemikiran, terutama yang kerusakan yang berasal dari Qaramithah dan Hassasin, dengan pendekatan tasawuf dan fikih.
- Terdapat syarah (penjelasan) karya-karya Al Ghazali yang dituliskan oleh ulama lintas generasi.
Keberadaan Al Ghazali di dunia nyata juga dibuktikan dengan adanya syarah-syarah yang menjelaskan kitab-kitab yang ditulisnya. Sebut saja Ihya Ulumuddin yang diberikan penjelasan lebih lanjut seputar takhrij hadis dari 3 orang ulama lintas generasi, yaitu al-Hafidz al-Subki (w. 771 H), al-Iraqi (w. 806 H), dan al-Zubaidi (w. 1125 H).
Closing Statement Kajian Mingguan Rasionalika
Untuk menutup kajian pertama di semester genap tahun 2022 ini, Rikko Aji Dharma (mahasantri semester 6) memberikan sebuah closing statement (kalimat penutup). Ia menutup kajian tersebut dengan kata-katanya, “Tidak ada cinta tanpa luka.” Kalimat tersebut ia ungkapkan setelah ia merasa rasa cintanya kepada al-Ghazali telah mengalami naik-turun selama kajian tersebut berlangsung. Namun dengan diskusi yang berjalan hingga hari Ahad, 06 Februari 2022 pukul 01.30 WIB, ia merasakan kemantapannya untuk mencintai sosok al-Ghazali. Ia juga merasa bahwa hal-hal yang diperjuangkan al-Ghazali selama hidupnya pasti dilandaskan rasa cinta, terutama cinta kepada Allah Ta’ala, yang seringkali diberikan ujian yang ‘melukai’ tubuh dan karyanya. Maka, sejatinya cinta tak akan muncul kalau bukan dilalui tanpa luka.
Mengulik Hal Lain Tentang Imam al-Ghazali
Jose Mourinho dan Imam Ghazali
Sebagai penutup tulisan ini, penulis mencoba memberikan juga sedikit pikiran yang terlintas di benak di akhir kajian yang diadakan oleh Rasionalika bersama 3 pematerinya (05/02). Penulis sempat berpikir bahwa apa yang terjadi pada Imam al-Ghazali berkaitan dengan kritik-kritik yang dilontarkan kepadanya bisa dikaitkan dengan sebuah pemikiran dari Jose Mourinho di dunia sepak bola. Berikut pemaparannya.
Jose Mourinho adalah salah seorang pelatih sepak bola profesional dari Portugal. Ia dikenal dengan sosok yang pragmatis. Bahkan, pemikirannya di sepak bola pun sangat dikenal karena sifatnya yang pragmatis. Salah satu pemikirannya adalah ia lebih memilih untuk menata skuadnya dengan skema counter attack ketika menghadapi klub dengan intesitas serangan yang tinggi, seperti saat ia mengawal Tottenham Hotspur melawan Manchester City di bawah asuhan Pep Guardiola yang dikenal mendewakan ball possession. Ia memilih taktik tersebut karena ia memiliki pemikiran bahwa semakin besar penguasaan bola suatu klub, maka semakin besar pula kesalahan yang bakal dilakukan oleh tim tersebut.
Dari pemikiran Jose Mourinho penulis merasa bahwa banyaknya kritikan yang diberikan kepada al-Ghazali adalah sebuah kewajaran. Hal tersebut dikarenakan al-Ghazali adalah seorang ulama dengan kredibilitas tinggi di berbagai cabang keilmuan, terutama tasawuf, fikih, dan akidah. Hal tersebut juga ditambah dengan banyaknya karya tulis yang dihasilkan oleh al-Ghazali sepanjang hidupnya. Tingginya kekredibilitasan dan banyaknya karya seorang al-Ghazali membuat celah kritik kepadanya membesar. Maka tak heran ketika dijumpai sederet kritik yang dilemparkan kepadanya, terutama ketika menyangkut masalah penukilan hadis dhaif yang ada pada karya-karyanya.