Tidak Mendengarkan Musik Bukan Berarti Radikal
Majalahnabawi.com – Beberapa hari lalu, jagat media digemparkan mengenai para santri yang menutup telinga ketika mendengar musik di lokasi vaksin. Hal ini tentu menimbulkan pro atau kontra dari postingan tersebut.
Ada yang sampai membahas mengenai haramnya musik, ada yang mengira bahwa mereka adalah santri yang salah asuh, dan celotehan lainnya yang merespon vidio tersebut. Saya tidak mau terlibat antara perdebatan itu, hanya saja, saya mau mencoba mengingatkan kembali suatu yang mungkin terlupakan.
Semboyan toleransi yang kerap kali kita dengar, tiba-tiba menghilang dari permukaan. Sebagian orang menghakimi vidio tersebut, dengan mengira sebagai kelompok radikal. Sangat disayangkan memang, seharusnya budaya tabayun (klarifikasi) tidak luput kita amalkan. Supaya jari kita tidak mudah mencaci dan menuduh.
Ternyata Santri Tahfiz
Usut punya usut, ternyata para santri vidio yang diunggah di media sosial itu ternyata para santri tahfiz. Adapun yang mereka lakukan, seperti menutup telinga, karena menurut mereka musik memang mengganggu hafalan. dalam arti, hafalan dapat luntur jika mendengar musik. Saya pernah dapat pengakuan dengan orang yang menghafal al-Quran, ia berujar bahwa musik memang mengganggu hafalan.
Saya bisa saja menganggap mereka terlalu kaku. Namun pengalaman pribadi, menjaga hafalan itu memang tidak mudah. Sehingga orang yang belum mengetahui bagaimana beratnya menjaga hafalan, seharusnya tidak mudah mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang kaku. Terlebih mengolok-ngolok mereka.
Adapun jika memang benar bahwa mereka menutup telinga, karena beranggapan musik adalah haram. Toh kenapa? Bukankah para ulama masih berbeda pendapat mengenai halal dan haramnya musik. Meskipun sebenarnya dalam vidio tersebut tidak ada kata-kata “haram” yang diucapkan.
Ironisnya, ketika cap radikal mulai dilekatkan kepada mereka. Seharusnya cap radikal dilekatkan kepada orang-orang yang mengolok-ngolok, sebab mereka tidak dapat menghargai perbedaan. Hemat saya, kita tidak perlu berlebihan menanggapi suatu fenomena yang sebenarnya tidak kita ketahui seutuhnya. Jangan-jangan istilah toleransi hanya dapat kita terima, tatkala pendapat kita lebih mendominasi. Ketika ada pendapat yang berbeda muncul di permukaan, kita belum tentu bisa menerima hal itu. Jadi istilah toleransi hanya sebatas apologetik untuk mempertahankan argumen suatu kelompok.
Dalam hal ini, perbedaan seharusnya dapat kita terima. Selama hal tersebut masih menyangkut masalah khilafiyah. Jadi tidak perlu menjelekkan, menuduh, atau bahkan merendahkan.
لَايُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ، وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ.
Tidak boleh menginkari perkara yang (keharamannya) masih diperdebatkan, tapi (harus) menginkari perkara yang (keharamannya) sudah disepakati”.
Memahami Algoritma Media
Di satu sisi, umat muslim harus bisa melihat perkembangan teknologi, terkhusus media sosial. Ada etika yang tak tertulis, namun perlu dipahami. Tidak semua bisa menerima budaya yang berbeda. Jika mengupload hal yang dikirakan akan menimbulkan kontroversi, maka mencegah hal itu terjadi, adalah sebuah kebijakan yang patut kita ambil. Sehingga kita bisa memfilter terlebih dahulu sebelum mengupload sesuatu.
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan”
Memang tidak sepenuhnya yang mengkritik dapat disalahkan. Kritik yang baik, tentu harus diterima oleh pihak yang memviralkan. Sebab saling memberi nasihat, termasuk dari anjuran agama. Sangat perlu dipahami, bahwa media sosial bukan hanya digunakan oleh para santri, tapi semua kalangan manusia. Sehingga tidak semua kalangan dapat memaklumi budaya tertentu.
Di media sosial, niat baik tidak selalu diapresiasi baik. bahkan, sering kali mendapatkan caci maki. Terlebih bagi sebagian orang yang belum memahami budaya tertentu. Maka penting memahami bagaimana algoritma media berjalan. Agar kita tidak salah jari, ketika mencoba masuk ke dalam kehidupan media sosial.