Tiga Manfaat Pesantren Pasan
Majalahnabawi.com – Satu hari sebelum masuk bulan Ramadan, kami tiba di Pesantren Leteh Rembang. Pesantren yang diasuh oleh KH. Ahmad Mustofa Bisri. Familiar dengan sebutan Gus Mus. Niat hati, selama 20 hari, ikut nyantri pasan. Ngaji kilatan bersama ratusan santri. Termasuk di dalamnya ada 125-an santri pasan. Santri yang hanya mondok di bulan Ramadan saja. Umumnya, mereka juga telah berstatus santri di pesantren lain. Semisal Lirboyo Kediri, Al-Risalah Mlangi Yogyakarta, al-Yasini Sidogiri, dan lainnya. Setidaknya ada tiga hal menarik dari tradisi santri pasan ini.
Pertama, tradisi ini menjadi ajang silang budaya. Mempertemukan santri lintas pesantren. Selama ngopi bareng, ngaji bareng, makan bareng, masing-masing akan bertukar cerita terkait pesantren asalnya. Mulai dari kegiatan harian hingga metode dan judul kitab yang diajarkan. Setiap metode yang dipilih, tentu akan berkorelasi pada budaya dan kehidupan sehari-hari para santri.
Semisal dari obrolan singkat dengan santri al-Risalah Mlangi Yogyakarta, kami sedikit banyak memahami dinamika pesantren di Mlangi. Satu desa di Yogyakarta yang dipenuhi puluhan pesantren. Di mana masing-masing pesantren memiliki corak kekhasan. Seturut dengan kebutuhan perkembangan zaman. Semisal ada yang fokus dalam kitab kuning, IT, bahasa asing, keterampilan, wirausaha, hingga fokus menyalurkan lulusan santri untuk studi ke luar negeri.
Kedua, tradisi ini menjadi medium jejaring sanad ilmu. Santri dapat memperluas dan mendapatkan ijazah sanad dari para masyayikh lintas pesantren. Dalam tradisi kajian hadis, hal ini sudah menjadi rahasia umum. Semisal, Imam al-Bukhari (194-256 H) dan Imam Muslim (204-261 H) mendatangi lebih 5-10 guru, meskipun untuk satu matan hadis yang sama. Dari kebiasaan ini, sehingga dalam kitab Shahihain dikenal hadis mukarrar (hadis yang diulang). Dalam penuturan Gus Mus, Kiai Machrus Ali Lirboyo juga melakukan hal yang sama. Meskipun putra-putranya sudah menjadi kiai, Kiai Machrus masih terus mondok di berbagai pesantren. Meski hanya pasanan di Bulan Ramadhan.
Ketiga, tradisi ngaji pasan menjadi jalan meraup berkah dan inspirasi. Santri dapat menimba inspirasi dari berbagai kiai. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa masing-masing kiai memiliki kepakaran dan kecenderungan yang beragam. Semisal, pakar dan fokus pada penguasaan nahwu shorof, fiqih, ushul fiqih, tafsir, hadis, ataupun tasawuf. Meskipun membacakan kitab yang sama, semisal kitab al-Azkar al-Nawawiyah, pasti detail penjelasan masing-masing kiai beragam. Sesuai dengan kepakaran dan minat di atas.
Lantas tertarikah Anda?