Tinjauan Kritis Kiai Ali Mustafa Yaqub Tentang Nikah Beda Agama
Majalah Nabawi – Pernikahan merupakan salah satu momen sakral dalam kehidupan manusia. Yang melibatkan komitmen serius di dalamnya. Dalam sebuah komitmen, keyakinan merupakan sesuatu yang berpengaruh pada kelanggengan suatu hubungan. Dalam ajaran Islam, pernikahan beda agama (dengan selain wanita ahli kitab) ialah pernikahan yang tidak sah alias haram.
Akan tetapi, ada oknum-oknum yang berusaha untuk melegalkan pernikahan beda agama. Mereka menafsirkan ayat-ayat Quran secara serampangan. Hal ini bisa dilihat dalam Fiqih Lintas Agama yang ditulis oleh Nurcholis Madjid dkk. Menurut mereka, kasus pernikahan beda Agama merupakan permasalahan ijtihadi bukan qoth’i alias tak ada dalil pengharaman mutlak. Mereka mengatakan pengharaman ini disebabkan oleh jumlah umat muslim saat itu masih sedikit sekali, maka seiring besarnya jumlah umat muslim rasanya perlu untuk diadakan pernikahan antar umat agama agar terikat tali persaudaraan bedasarkan perintah Allah pada surat al-Hujurat : 13 agar saling kenal mengenal dan menjalin tali persaudaraan.
Prof. KH Ali Mustafa Yaqub meng-counter pemikiran mereka dengan tulisan beliau berbentuk buku yang berjudul “Nikah Beda Agama dalam Al-Quran dan Sunnah”. Setidaknya, ada beberapa pembahasan yang penting dalam buku ini, di antaranya :
Musyrik dan Kafir
Pak Kiai dalam bagian ini, menyajikan pengertian dalam berbagai sisi. Dalam kajian sosiologi, yang disebut Non-Muslim ialah mereka yang bukan beragama Islam. Hal ini mencakup agama selain Islam di Indonesia, yaitu Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, dsb. Sedangkan di berbagai literatur Islam, yang disebut Kafir (non-muslim) ialah orang yang memeluk agama selain Islam. Sedangkan, yang disebut Musyrik ialah orang yang beragama selain Islam dan Agama Ahli Kitab (Kristen dan Yahudi). Ini mencakup agama Majusi, Shabi’ah, Animisme, dsb.
Konotasi Ahli Kitab
Istilah Ahli Kitab dalam al-Quran setidaknya disebut 31 kali yang tersebar di 4 surah. Para Ulama bersepakat bahwa yang disebut Ahli Kitab ialah mereka yang masih berpegang pada kitab samawi sebelum al-Quran. Hal ini merujuk ke penganut agama Kristen dan Yahudi. Akan tetapi, pada cakupan batasannya terdapat perbedaan pendapat di antara para Ulama. Imam Syafi’I (204 H) berpendapat bahwa Ahli Kitab ialah penganut Kristen dan Yahudi yang berketurunan Bani Israil. Alasannya, Nabi Musa dan Nabi Isa Alaihimassalam hanya diutus kepada Bani Israil bukan yang lain. Selain itu, pada surat Al-Maidah : 5 menggunakan min qablikum (sebelum kamu). Yang berarti, mereka yang menganut agama Kristen atau Yahudi namun bukan berketurunan Bani Israil maka tidak bisa dikategorikan sebagai Ahli Kitab. Sedangkan menurut Imam at-Thabari (310 H), istilah Ahli Kitab diperuntukkan bagi siapa saja dari keturunan Bani Israil atau bukan, yang menganut Yahudi ataupun Kristen.
Nikah dengan non-Muslim
Di dalam kasus pernikahan dengan non-muslim, jika yang dimaksudkan adalah pernikahan dengan orang-orang Musyrik maka para ulama telah bersepakat status keharamannya. Berdasarkan firman Allah di surat al-Baqarah:221,
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ ۖ ….
“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. …….” (al-Baqarah : 221)
Akan tetapi, jika yang dimaksudkan dari pernikahan dengan non-muslim ialah pernikahan dengan ahli kitab (Kristen atau Yahudi), setidaknya ada 2 pembahasan sebagai berikut ;
1. Pernikahan Pria Muslim dengan wanita Ahli Kitab
Menurut syari’at Islam, pernikahan ini dibolehkan. Didasarkan kepada firman Allah pada surat Al-Maidah : 5,
…الْيَوْمَ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۗ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ ۖوَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖوَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الْمُؤْمِنٰتِ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu….” (al-Maidah : 5).
Dan pembolehan ini merupakan ijma’ (konsesus) para shahabat. Dikuatkan pula dengan riwayat Jabir bin Abdullah yang dikutip oleh Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzzab bahwasannya pada zaman Jabir bin Abdillah saat ketika pembebasan kota Kufah di Irak, para tentara muslim saat bersinggah di sana, mereka menikahi wanita Nasrani (Kristen) dan Yahudi. Akan tetapi saat mereka hendak pulang, mereka menceraikan istri-istri mereka dari kalangan Ahli Kitab (Kristen dan Yahudi). Namun, dilansir dari Tafsir al-Kabir Mafatih al-Ghaib, Imam ar-Razi mengutip riwayat Atha’ bahwasannya bolehnya pernikahan muslim dengan wanita ahli kitab dikarenakan jumlah muslimah saat itu yang masih sedikit. Dan, karena zaman sekarang jumlah muslimah sudah besar, maka sudah tidak berlaku lagi kebolehan menikahi wanita ahli kitab.
Selaras juga dengan fatwa MUI 1 Juni 1980, yang disamping mengharamkan penikahan dengan musyrik, juga mengharamkan pernikahan dengan ahli kitab dengan beberapa pertimbangan. Yaitu agar menghindari cekcok dalam suatu komitmen yang disebabkan oleh perbedaan keyakinan. Juga memperhatikan situasi keadaan di ndonesia. Namun, fatwa MUI serta perkataan-perkataan ulama tadi tersebut tak bisa menghilangkan hukum dari ayat yang menjelaskan tentang bolehnya pernikahan dengan Ahli Kitab.
2.Pernikahan Muslimah dengan Pria Ahli Kitab
Para Ulama bersepakat tentang keharaman pernikahan muslimah dengan pria ahli kitab (Yahudi & Kristen). Hal ini didasarkan berbagai ayat, salas satunya pada surat Al-Mumtahanah : 10,
“…فَاِنْ عَلِمْتُمُوْهُنَّ مُؤْمِنٰتٍ فَلَا تَرْجِعُوْهُنَّ اِلَى الْكُفَّارِۗ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّۗ….”
“…jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka …” (al-Mumtahanah: 10)
Ayat ini dengan tegas mengharamkan pernikahan antara wanita muslimah dengan lelaki kafir (non-muslim). Imam As-Syaukani (1250 H) dalam kitabnya Tafsir Fathul Qadir menyatakan,
فيه دليل على أن المؤمنة لا تحل لكافر
“Dalam firman Allah ini menunjukkan bahwa wanita mukminah tidak halal (dinikahi) oleh orang kafir (non-muslim)”
Pemikiran Iblis Liberal
Disini Pak Kiai mengidentkkan kaum bebas yang menamai diri sebagai Jaringan Islam Liberal yang di mana mereka menggenjot pelegalan pernikahan beda agama sebagai Iblis. Karena dari namanya saja sudah bertentangan. Islam dari segi bahasanya patuh, berserah diri. Berbeda dengan Liberal yang berarti kebebasan. Dan dalam Islam, makhluk yang identik mengingkan kebebasan ialah Iblis. Maka, Allah menyuruh kepada hamba-Nya untuk patuh kepada ketetapan Allah yang tercantum. Allah berfirman dalam surat al-Ahzab : 36,
“….وَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِيْنًاۗ”
“….Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.”
Maka menurut Pak Kiai, dalam Islam tidak ada pemikiran Liberal. Karena Islam sendiri yang menyuruh hamba-Nya untuk patuh bukan bebas sesuai selera seperti yang dilakukan oleh kaum Liberal. Wallahua’lam.