Ulama Cium Tangan Orang Lain?

Kerukunan Umat dalam Perspektif al-Qur’an dan Hadis

Majalahnabawi.com Selama ini, kita pasti banyak menjumpai orang mencium tangan orang lain sambil membungkuk dan menundukkan kepala. Hal ini dapat kita temukan dalam hubungan antara murid dan gurunya, ustaz dan ustaz yang lainnya, seorang teman dan teman yang lainnya, wahatta sampai pejabat dan ulama. Selain itu, kita juga dapat jumpai sebahagian muslim dari kelompok tertentu yang melarang hal itu dengan dalih bahwa ruku dan sujud itu hanya untuk Allah.

Namun pernahkan kita tahu bagaimana sebenarnya sikap para ulama Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah terhadap hal ini? untuk menjawab pertanyaan ini, saya mencoba untuk menunjukkannya berdasarkan pandangan dan kisah salah seorang ahli hadis dari nusantara, yaitu Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. yang akrab kita panggil ‘Pak Yai’.

Pak Yai adalah seorang ulama yang memiliki karya tulisan yang sangat banyak. Salah satu karyanya adalah sebuah buku tipis yang berjudul Kerukunan Umat Dalam Perspektif al-Qur’an dan Hadis. Buku ini secara umum menjelaskan bagaimana dan seperti apa hubungan umat yang tergambar dalam al-Qur’an dan Hadis. Hubungan umat ini meliputi hubungan antara muslim dengan muslim lainnya dan hubungan antar umat beragama.

Namun, selain buku ini menjelaskan tentang hal itu, Pak Yai menyisipkan pula banyak hal akan tetapi masih memiliki garis singgung antara keduanya. Salah satunya adalah sub judul yang membahas tentang mencium tangan orang lain. Sub judul ini menceritakan kisah Pak Yai yang mencium tangan salah seorang kiyai sekaligus presiden Indonesia yaitu KH. Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil ‘Gus Dur’.

Mencium Tangan Gus Dur

Suatu saat, rombongan Majelis Ulama Indonesia mendatangi dan menghadap presiden Soeharto, namun Pak Yai ketika itu menganjurkan agar ketika bersalaman dengan presiden, para ulama tidak membungkuk dan menundukkan kepalanya.

Tapi di sisi lain, ketika Pak Yai bertemu dengan Gus Dur, Pak Yai bukan hanya berjabat tangan dengannya, justru Pak Yai membungkuk dan mencium tangannya. Tentu hal ini menimbulkan berbagai kritik dari orang lain, bahkan sampai ada yang mengatakan bahwa Pak Yai itu menjilat Gus Dur.

Tanggapan Pak Yai

Dalam manyikapi lontaran kritik itu, Pak Yai menjawabnya dengan tenang dan ilmiah tanpa ada rasa marah dan benci sedikitpun. Beliau menukil keterangan imam Nawawi dalam kitabnya yang bernama al-Tibyan fi Adab Hamalat al-Qur’an, beliau menuturkan bahwa salah satu adab para ulama dan pengajar al-Qur’an itu tidak boleh menghinakan diri dan ilmunya. (al-Nawawi, al-Tibyan fi Adab Hamalat al-Qur’an, Editor Abd al-Qadir al-Arnaut, Maktabah Dar al-Bayan, Damaskus, 1405 H/ 1985 M, hal. 35.)

Bagi Pak Yai, presiden itu tidak lebih dari sekedar simbol kepemimpinan dunia, sedangkan ulama merupakan simbol kepemimpinan agama dan akhirat. Pimpinan agama tidak boleh merendahkan dirinya di hadapan pimpinan dunia, karena hal ini berarti merendahkan agama itu sendiri. Bahkan beliau menuturkan sebuah hadis sebagai berikut,

شرار أمّتي العلماء الذين يأتون الأمراء

Artinya, “seburuk-buruk umatku adalah ulama yang sering datang kepada para penguasa”.

Hadis ini riwayat Imam Ibn Majah, dan menurut al-Hafiz Zain al-Din al-‘Iraqi, sanad dalam hadis ini daif. Tapi sebagaimana yang para ulama jelaskan, hadis dengan tingkat kedaifan seperti ini boleh dan bisa menjadi dalil selama tidak berkaitan dengan masalah akidah dan hukum Islam. Sementara dalam pembahasan ini adalah masalah moralitas.

Menurut Pak Yai, inilah sikap yang harus ulama miliki ketika berhadapan dengan penguasa. Tetapi meskipun demikian, Pak Yai tetap menekankan bahwa sifat tawaduk juga harus senantiasa ulama miliki saat itu.

Penguasa dan Ulama

Penguasa yang Pak Yai maksud dalam hal ini bukanlah penguasa yang sekaligus menjadi ulama, yang pada waktu itu adalah presiden Soeharto. Oleh karena itu, khusus untuk Gus Dur yang merupakan ulama sekaligus presiden, Pak Yai mencium tangan beliau. Bagi Pak Yai, sah-sah saja apabila ada ulama junior mencium tangan ulama senior. Bahkan lebih khusus lagi, bahwa Gus Dur adalah guru Pak Yai sejak tahun 1971 ketika mondok di Tebuireng.

Selain itu, Pak Yai mencium tangan Gus Dur bukan hanya sekali dua kali, tapi sudah ribuan kali. Pak Yai mengatakan bahwa setiap kali bertemu Gus Dur, sejak pertama kali bertemu dengannya di Tebuireng, Pak Yai selalu mencium tangan beliau.

Kesimpulan

Inilah spirit, sikap dan pandangan Pak Yai terkait mencium tangan seseorang, dan spirit ini tentu perlu para santri miliki. Spirit itu adalah tidak bolehnya merendahkan ilmu dan agama dihadapan hal-hal yang duniawi.

Seorang ulama hendaknya tidak merendahkan keilmuan dan keagamaannya dihapadan orang yang menjadi simbol kepemimpinan dunia, meskipun tetap harus melazimkan sifat tawaduk di hadapannya. Dan seseorang hendaknya memuliakan keilmuan dan keagamaan orang yang ada dihadapannya apabila dia adalah seorang guru atau ulama lainnya, yang dalam hal ini dapat dilakukan dengan cara mencium tangan mereka.

Similar Posts