Update Pikir dan Zikir

majalahnabawi.com – Senyampang akal manusia continue beroperasi, maka sejauh itulah audiens bisa menghormati. Akalmu adalah harga dirimu, bahkan kuda yang cerdas patut dihargai ketimbang manusia yang bodoh. Ia menjadi nahkoda tingkah petuahmu. Namun di waktu yang sama, nikmat berpikir itu bisa jadi ombak besar nan keras menghantammu.

Makna Akal

Kata “akal” dalam Bahasa Arab bervarian maknanya. Masdar dari fi’il عقل – يعقل tersebut berkisar maknanya pada “menghalangi”. Dari sini pula lahir kata عقال (‘iqal) dalam arti tali. Makna-makna lain yang ditemukan untuk kata di atas antara lain: paham, ilmu.

Ada korelasi erat antara makna term “akal” yang bermakna “tali” dengan bermakna “paham dan ilmu” yakni bahwa dengan kapasitas akal seseorang bisa menggali dan mengkaji berbagai fan ilmu pengetahuan. Maka tsamaroh (hasil/buah, ilmu) inilah yang bisa mengikat diri sekuatnya dari melakukan kemaksiatan.

Kata Akal Dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an sebagai sumber pertama (first source) segala yang ada, sering menyebut-nyebut term “akal”.  Ayat-ayat suci menggunakan kata “akal” (‘aql) dengan berbagai variannya. Namun kata عقل (‘aql) sendiri tidak ditemukan dalam al-Qur’an, melainkan hanya ditunjukan oleh kata kerjanya. Ada kata kerja dalam bentuk يعقلون , تعقلون , نعقل , نعقلها , عقلوه . Di antara ayat lengkapnya adalah QS. Al-Baqarah ayat 44: “mengapa kamu menyuruh orang lain untuk (melakukan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca kitab suci (taurat)? Tidakkah kamu mengerti?.

Terulangnya kata “akal” dengan segala variannya dalam jumlah yang cukup banyak itu mengisyaratkan begitu penting fungsi, peran serta kedudukan akal manuisa. Konkritnya, al-Qur’an mencabut dan membatasi wewenang mengelola dan membelanjakan harta milik orang secara pribadi jika yang bersangkutan kurang berakal atau pengetahuan (QS. Al-Nisa’ [4]: 5).

Dua Kubu Besar Terkait Otoritas Akal

Maka ada sindiran berat dan tegas teruntuk kita yang “mengabdi” pada teks yang ada namun begitu takut berargumen atas nama akal. Dalam perjalanan akidah sendiri ada dua kubu besar acapkali bertolak belakang perihal “otoritas akal” ini.

Dalam kelompok Muktazilah analogi sangatlah didewakan, seakan teks yang tunduk mencium kaki pada akal. Konsekuensi aliran ini adalah tumbuh dan menjamurnya sikap otoriter, bahkan sampai berani merubah teks yang dinilai bertentangan dengan tabiat. Beda halnya dengan Mutakallimin, akal tidak selalu dinonaktifkan tapi kian dipakai seperlunya tanpa melampaui batas sembari teks begitu diprioritaskan. Bisa dibayangkan bahayanya kalau peran akal ditutup rapat-rapat. Al-Qur’an nggak mungkin mempromosikan diri sendiri sebagai pegangan dan pijakan hidup tanpa peran akal manusia. Maka “akalmu adalah kitab sucimu”.

Akal Berpotensi Bahaya

Sebegitu mulia dan penting akal manusia tetaplah ia ibarat pisau bermata dua; sebegitu manfaat tajamnya pisau di satu sisi, juga sebegitu tajam bahaya pisau pada sisi yang lainnya. Akal memang berbahaya. Bahaya yang ditimbulkan akal bisa dari dua hal.
Pertama, bisa karna ia tak difungsikan.
Kedua, bisa karna difungsikan tidak sesuai batas dan ketentuan.

Bagian pertama kita bisa lihat bahwa pengabaian akal berpotensi mengantarkan seseorang ke dalam siksaan neraka, “seandainya kami mendengar dan berakal, kami tidak termasuk penghuni neraka” (QS. Al- Mulk [67] :10). Pada bagian kedua kita kerap kali menyaksikan deretan kasus yang berhujanan terjadi di tanah air. Asusila, narkoba, pembunuhan, pembulian dan kawan-kawannya, tak lain itu sebab akal yang diakali. Maka, makna akal sebagai tali sudah terdistorsi. Bukankah banyaknya korupsi dampak dari banyaknya orang berakal/pintar di negeri ini?

“Begitu ngeri bahaya dalam diri ini sampai tak mampu dibendung hati” (gumamku dalam hati). Akal yang sedemikian bahaya dapat kita tangkis dengan tameng “zikir”. Peranan zikir sebagai nahkoda akal amatlah urgen. Kendali ampuh yang bernama zikir akan mereview kembali keteledoran akal kita dalam bertuah dan bertindak. Maka, zikir adalah menghadirkan kembali apa yang tadinya telah hilang dari benak kita. Naluri kita sebagai manusia yang buruk memang begitu dahsyat pengaruhnya, sehingga perlu tali penyeimbang yang menjaga kestabilan gerak gerik kita yang hampir bahkan telah keluar dari koridor syariat.

Atas dasar ini, maka zikir sangatlah perlu, baik zikir dengan lisan maupun dengan hati. Bukankah Syekh Abdul Qadir al-Jailani pernah berpetuah dalam kitabnya Sirrul Asror : افضل الذكر ذكر الجوارح “zikir paling utama adalah zikir dengan seluruh anggota badan”.

Tatimmatun: kita haus mampu mengolah fikir dengan baik dan matang, juga kita tidak boleh lupa zikir siang dan petang. Alangkah bagus nan indah bila kita mampu bersikap Tawassuth dalam berfikir dan berzikir. Bukankah tak adil dan tak fair namanya kalau kita hanya berzikir ataupun hanya berfikir? Falyataammal!!!

Similar Posts