Urgensi Eksistensi Tafsir Bergenre Feminisme

Majalahnabawi – Persoalan ketimpangan strata antara laki-laki dan perempuan sangat rawan terjadi dalam masyarakat muslim. Pasalnya, teks keagamaan yang ada, secara eksplisit memandang rendah perempuan jika tidak dibarengi dengan basis keilmuan yang cukup untuk memahami teks dengan baik dan komprehensif.

Contoh Nyata

Sebut saja penggalan hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari yang beredaksi:

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً

Artinya: Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita. (H.R al-Bukhari).

Al-Hafiz Ibnu Hajar menulis dalam syarahnya bahwa perempuan tidak diperkenankan menduduki kursi kepemimpinan dan pengadilan dan hal tersebut merupakan qoul jumhur ulama. Meski demikian, ada pendapat dari madzhab maliki yang memperbolehkannya.

Ulama jumhur berpendapat demikian karena menurut keterangan al-Munawi bahwa perempuan adalah aurat. Lebih lanjut, Imam Al-Shan’ani dalam Syarah Bulughul Maram nya menyebutkan bahwa perempuan telah disyariatkan untuk menjadi pemimpin di rumahnya. Sehingga wilayah kekuasaan perempuan hanya terbatas pada sektor domestik dan tidak mencakup sektor publik.

Contoh lainnya, sebut saja teks hadis yang menyebutkan bahwa istri yang menolak ajakan suaminya (untuk bersetubuh) sehingga suaminya marah, akan dilaknat malaikat hingga subuh tiba. Teks hadis ini seakan menjadi pengagungan pada suami dan menomor duakan kemampuan dan kemauan istri. Lebih lanjut, jika hadis ini tidak dipahami secara baik, pemerkosaan dalam rumah tangga bisa dianggap contoh istri menentang syariat bukannya isu yang perlu dicari jalan keluarnya.

Pentingnya Kehadiran Tafsir Bergenre Feminisme

Pemahaman hadis yang merugikan perempuan, boleh jadi karena pembaca teks tidak membaca ayat Al-Quran yang berkaitan dengan hadis yang dipersoalkan. Misalnya mengenai larangan wanita menjadi pemimpin. Mufassir kontemporer memandang bahwa pemahaman yang ada tidak sesuai dengan spirirt dalam teks Al-Quran yang notabene lebih didahulukan daripada hadis.

﴿ وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ٧١ ﴾ ( التوبة/9: 71)

Terjemahan Kemenag 2019

71.  Orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain.328) Mereka menyuruh (berbuat) makruf dan mencegah (berbuat) mungkar, menegakkan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Ulama kontemporer berpendapat bahwa larangan menjadi pemimpin bagi perempuan dikhusukan pada konteks terjadinya hadis tersebut. Yakni mengenai anak perempuan dari raja Kisra yang tidak memiliki kompetensi dan kecakapan dalam memimpin. Sehingga nilai yang diambil adalah perempuan tetap bisa menjadi pemimpin selama memiliki kecakapan dan kompetensi yang mumpuni untuk menjadi memimpin. Pun, justru pemahaman seperti inilah yang tidak bertentangan dengan spirit teks Al-Qur’an.  

Permaslahan semacam ini bisa diambil jalan keluarnya melalui pemahaman yang mendalam mengenai teks Al-Quran yang merupakan rujukan utama umat Islam. Pada praktiknya, memang sebaran tafsir dalam masyarakat cenderung lebih luas. Bisa dilihat dari jumlah sekolah atau pesantren yang memfokuskan kajiannya terhadap Al-Quran dan tafsir secara signifikan lebih banyak daripada sekolah berbasis hadis. Sehingga penyebaran pemahaman teks agama Islam lebih efisien melalui tafsir daripada syarah hadis.

Penafsiran yang digunakan juga tidak cukup dengan menggunakan tafsir klasik yang tidak melibatkan pengalaman perempuan dalam pemahamannya. Tetapi dibutuhkan tafsir bergenre feminisme (kontemporer) yang berusaha melibatkan pengalaman perempuan yang tidak ditemukan dalam tafsir klasik non feminisme. Sehingga, jika dilakukan dalam batas-batas tertentu, pemahaman yang dihasilkan tidak merugikan pihak perempuan dan tetap sejalan dengan syariat yang ada.

Similar Posts