Vernakularisasi dalam Tafsir Qoeran Djawen

Majalahnabawi.com – Perkembangan dan penyebaran tafsir al-Quran di Indonesia tidak pernah lepas dari aspek bahasa, sosial, dan budaya yang sangat beragam. Hal ini tentu memberikan corak kultural yang kuat bagi tafsir yang tersebar di Indonesia, terutama yang ditulis oleh ulama-ulama Indonesia. 

Tak hanya itu, hampir setiap daerah di Indonesia memiliki ciri khas tafsirnya masing-masing. Salah satunya di daerah Jawa ada yang menggunakan bahasa Jawa Krama dan huruf Arab Pegon. Seperti Tafsir Fayd ar-Rahman karya Kiai Sholeh Darat yang merupakan kitab tafsir pertama berbahasa Jawa. Selain itu ada juga Tafsir al-Ibriz li ma’rifat al-Qur’an al-‘Aziz . Tafsir in ditulis dalam kurun waktu sembilan tahun (1951-1960), namun ada beberapa pendapat lain mengenai kapan tafsir ini ditulis.

Pengertian Vernakularisasi

Kedua tafsir yang telah disinggung di atas menggunakan huruf pegon dalam penulisannya. Hal ini disebut dengan vernakularisasi, di mana sebuah produk yang awalnya menggunakan bahasa Arab kemudian dialihbahasakan dengan menggunakan aksara dan bahasa lokal sesuai di mana teks atau produk tersebut dilahirkan. Vernakularisasi bukan hanya menunjukkan keragaman budaya dan aksara saja, namun juga terdapat kepentingan dan tujuan mufasir di dalamnya. Tujuan tersebut yakni menghadirkan tafsir yang sesuai dengan konteks lokalitas masyarakat sebagai sasaran tafsirnya. 

Vernakularisasi dalam Tafsir Jawa

Tafsir Jawa memang kebanyakan menggunakan huruf pegon dalam penulisannya. Namun tak hanya itu, terkait hal ini para ulama Jawa bagian selatan melakukan apa yang disebut dengan vernakularisasi teks-teks Islam ke dalam bahasa dan aksara lokal Jawa-Carakan dalam penulisan tafsir dan terjemahnya, salah satunya ialah Tafsir Qoeran Djawen Pandan lan Pandoming Dumadi.

(sampul Kitab Tafsir Qoeran Djawen yang terdapat di PERPUSNAS RI)

Tafsir Qoeran Djawen Pandan lan Pandoming Dumadi merupakan tafsir anonim, siapa sosok yang menulis kitab tafsir ini masih menjadi perbedaan pendapat di kalangan pengkaji tafsir Nusantara. Hal ini disebabkan dalam naskah tafsir tersebut tidak menyebutkan siapa pengarangnya dan hanya tertulis penerbitnya, yakni A.B Siti Sjamsijah Solo yang merupakan anggota  Muhammadiyah Surakarta, padahal banyak anggapan bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi yang bertolak belakang dan ambigu terhadap budaya Jawa, namun dalam tafsir ini seakan menjelaskan bahwa penggunaan hurus carakan sebagai media tulis ini melambangkan identitas kejawaannya.

Karakteristik Tafsir Qoeran Djawen

Berbicara mengenai bentuk penyajian dari Tafsir Qoeran Djawen ini yakni, di sebelah kanan halaman tertulis ayat al-Quran dengan rasm imla’i, di sebelah kiri ayat bertuliskan terjemah ayat menggunakan aksara Jawa. Di bagian bawah barulah penafsiran ayat dengan menggunakan aksara Jawa yang dimulai dengan kata katerangan. Teknik penafsiran tafsir ini tidak menafsirkan satu persatu ayat, melainkan berdasarkan gagasan dari gagasan kandungan kumpulan ayat secara tartib mushafi. Tafsir ini termasuk dalam kategori manhaj al-tahlili (metode analisis) sebab tafsir ini berusaha menjelaskan apa yang dimaksud oleh al-Quran dari berbagai segi.

Terjemah dan Tafsir Surat Al-Fatihah dalam Tafsir Qoeran Djawen

Keberadaan Tafsir al-Quran Carakan adalah bagian dari upaya muslim Jawa memahami kitab sucinya. Vernakularisasi (pelokalan bahasa) dalam memahami al-Quran yang dilakukan muslim Jawa dimaksudkan agar petunjuk al-Quran mampu dibaca, dipahami, dan dipraktekkan oleh masyarakat Jawa yang secara umum tidak memahami bahasa al-Quran yang berbahasa arab.

Eksistensi Aksara Jawa (Carakan)

Nama Aksara Jawa carakan sendiri diambil dari sebagian bunyi alfabetnya yang secara urut berupa Ha Na Ca Ra Ka Da Ta Sa Wa La Pa Dha Ja Ya Nya Ma Ga Ba Tha Nga sejumlah 20 huruf. 

Tradisi penulisan dan penyalinan naskah carakan terpusat di kraton. Kegiatan ini terus berlangsung hingga abad ke-19 M di Surakarta. Pada saat itu, aktivitas berpikir di istana Surakarta sangat fokus pada upaya pengembangan rohani dan kebudayaan spiritual. Hal ini menunjukkan kokohnya struktur bahasa dan aksara Jawa di samping tingginya prestise masyarakat terhadap tradisi kesusasteraan Jawa sebagai budaya turun-temurun. Tradisi penulisan sejumlah naskah keislaman ini jelas menunjukkan bahwa hingga abad ke-20, Islamisasi Jawa dan Jawanisasi Islam masih berlangsung.

Namun, penggunaan Aksara Jawa dalam Tafsir Qoeran Djawen ini merupakan hal yang tidak lazim di tengah agenda nasionalisasi bahasa pada tahun 1928. Eera di mana tradisi literasi telah masif dengan menggunakan bahasa Indonesia. Di balik semua itu, pemilihan aksara Jawa untuk menulis tafsir al-Quran dalam situasi pergeseran literasi merupakan bagian dari kuatnya apresiasi muslim Jawa terhadap budayanya. Hal ini mengingat kondisi aksara Jawa yang makin tersisih dalam tradisi menulis sejak aksara arab secara masif dipakai para ulama pesantren dalam menulis naskah keislaman. Selain itu, pemberlakuan tulisan latin oleh pemerintah kolonial Belanda dalam penulisan teks-teks sekular pada akhirnya menyebabkan terputusnya tradisi menulis Jawa. 

Di samping itu, kehadiran terjemah dan tafsir al-Quran carakan pada kenyataannya memicu perdebatan di kalangan muslim tentang hukum penerjemahan al-Quran menggunakan bahasa lokal (‘ajam). Kasus ini mencuat pada abad ke-20 dan berujung pada larangan menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa lokal (‘ajam). Dari berbagai pembahasan di atas, dapat kita ketahui bahwa kitab Tafsir Qoeran Djawen ini merupakan salah satu tafsir Nusantara yang sangat menjunjung tinggi budaya lokal dari tempat tafsir ini ditulis, yakni budaya Jawa. Sebagai umat Islam dan warga Indonesia sudah sepatutnya kita mempelajari dan menjaganya. Wallahu a’lam.

Similar Posts