Wahabi dan NU dalam Pandangan Kiai Ali Mustafa Yaqub

Secara implisit, buku ini berpesan agar sejarah kelam tidak boleh dijadikan sebagai dasar untuk balas dendam atau pembenaran atas sikap saling menyalahkan dan menyesatkan satu sama lain. Sudah selaiknya, sejarah dijadikan sebagai pelajaran untuk membangun persatuan dalam rangka membenahi akhlak dan moral umat. Kemampuan penulisnya dalam menyajikan ide-ide besarnya dalam bahasa yang lugas, simpel, tegas, jelas dan sangat berani itu, patut mendapatkan apresiasi. Buku ini juga membuktikan bahwa perbedaan itu telah ada sejak masa-masa ulama Salaf salih, atau sejak generasi sahabat. Tentu, hal ini telah terjadi jauh sekali sebelum lahirnya gerakan Wahabiyyah dan organisasi NU. Itulah sejarah yang juga harus diungkap agar informasi seputar kedua gerakan keagamaan itu dapat lebih berimbang.

Sebagai seorang santri NU dan “sahabat Wahabi”, Penulis buku ini mampu dengan apik menyajikan pemikirannya tanpa memihak kepada salah satunya. Bahkan penulisnya tampak sangat berhati-hati dalam mengonfirmasi berita dan pemikiran yang berkembang di dalam tubuh kedua gerakan keagamaan tersebut. Hal ini tampak jelas misalnya, sebelum buku ini terbit, penulis meminta beberapa ulama Wahabi untuk mengoreksi, bukan sekadar konfirmasi kepada orang-orang awam. Begitu pula ketika memastikan kebenaran pemikiran-pemikiran ulama NU, seperti pemikiran Imam Hasyim Asy’ari, beliau juga langsung meneliti kitab-kitab karya beliau langsung lalu mengonfirmasikannya kepada keluarga besar dan para murid Imam Hasyim Asy’ari yang masih hidup. Dengan demikian, data-data yang tersaji di dalamnya, tidak hanya bersumber dari literatur-literatur, apalagi dari budaya “konon katanya”, melainkan juga data-data empiris di lapangan yang juga dikonfirmasikan langsung kepada tokoh-tokoh yang otoritatif dari kedua pihak.

Hal yang paling menarik dalam buku ini adalah, ketika orang-orang Wahabi diduga kuat menolak tawassul, ternyata Imam Ibn Taymiyah yang merupakan rujukan utama para ulama Wahhabi, justru membenarkan tawassul. Hal lain yang juga penting untuk digarisbawahi adalah bahwa Wahhabi yang sebenarnya, tidak identik dengan Neo-Khawarij sebagaimana disangkakan oleh banyak orang.

Buku ini diawali dengan pembahasan seputar apa dan siapa sebenarnya Wahhabi. Pada dasarnya orang Wahabi sendiri tidak familiar dengan istilah tersebut, bahkan merasa “risih” dengan nama Wahabi. Meski demikian, sebuah harapan besar akan sebuah kemuliaan dari nama yang awalya cenderung sangat bias dan peyoratif tersebut tidak boleh pudar.

Similar Posts