Zaman Sekarang Masih Nyantri, Patahkan Stigma Kuno Ini

Majalahnabawi.com – Era globalisasi merupakan perubahan global yang melanda seantero dunia. Dampak yang terjadi sangatlah besar terhadap berbagai aspek kehidupan manusia di seluruh lapisan masyarakat. Wujud perubahan dari faktor era globalisasi tersebut  di antaranya adalah dalam bidang ekonomi, sosial, politik, teknologi, lingkungan, budaya, dan sebagainya.

Perubahan zaman merupakan faktor besar yang sangat berpengaruh terhadap pikiran, lingkungan, bahkan keyakinan. Di era sekarang ini banyak sekali stigma-stigma keras yang kaum milenial lontarkan. Bentuk stigma yang sudah beredar luas salah satunya ditujukan kepada kalangan remaja yang akan melanjutkan pendidikan  di pondok pesantren. Stigma buruk yang berasa dari oknum-oknum tersebut merupakan hal yang memang sudah biasa. Jika di pandang dari segi kepribadiannya, dominannya pelaku stigma dari mereka adalah berasal dari kalangan orang-orang yang fikirannya hanya di isi dengan pemahaman-pemahaman realita di era sekarang. Tanpa mendampingi pemahaman mereka dengan pengetahuan syariat Islam.

Stigma Berasal dari Aspek Berfikir

Kemudian coba kita lihat bukti-bukti kongkrit yang sudah mereka lakukan, seperti contoh ketika mereka mendapati sebuah momentum kelulusan tahunan. Bagi sebagian siswa dan sisiwi yang memilih untuk melanjutkan pendidikan di pondok pesantren, mereka pasti tak akan terhindar dari pernyataan stigma-stigma yang orang-orang berikan. Berdasarkan realita yang sudah terjadi ada dua versi stigma yang di lontarkan orang-orang di era milenial ini. Yang pertama ialah stigma yang memberikan kesan sindiran yang akhirnya menimbulkan efek menyakitkan. Oknum-oknum yang hanya bisa mengeluarkan kata-kata tanpa memikirkan akibatnya mereka akan berkata, “Zaman sekarang masih mau mondok le lee…, paling ujung-ujungnya kerja kuli”. Yang kedua berupa stigma positif  yang dapat mengantarkan kepada hal-hal yang solutif,  Contoh stigma tersebut seperti: “Anak zaman sekarang lebih baik berada di pondok pesantren lee, agar tidak terjerumus kepada pergaulan yang tidak baik seperti yang sudah terjadi di luar sana”.

Berdasarkan pernyatan tersebut coba kita bandingkan kedua stigma tersebut dari aspek nalar berfikirnya. Stigma yang pertama merupakan ucapan yang berangkat dari pemahaman realita dengan tanpa melibatkan pemahaman tentang norma-norma agama. Sedangkan stigma yang kedua secara jelas merupakan ucapan yang berangkat dari pemahaman agama, serta relevan dengan realita yang terjadi di zaman sekarang.

Jika kita lebih meneliti kembali ke-pribadian oknum-oknum yang melakukan stigma buruk terhadap pesantren, kebanyakan dari mereka merupakan kalangan orang-orang yang perekonomiannya menengah ke atas. Kemudian jika di pandang dari aspek lingkungan, kebanyakan dari mereka merupakan orang-orang yang berasal dari daerah perkotaan dan dalam kesehariannya memang sudah terbiasa dengan hal-hal yang kurang bersifat keagamaan.

Stigma Buruk Berpengaruh Pada Kesehatan

Akibat dari stigma buruk terhadap jiwa yang masih naïf akan sangat besar pengaruhnya dan menyakitkan. Saran utama bagi mereka yang sudah terlanjur mengatakan adalah, dengan introspeksi diri. Artinya mereka harus melihat terlebih dahulu diri mereka sendiri, apakah ia sudah benar dan sesuai dengan apa-apa yang ia katakan atau malah sebaliknya. Artinya, mereka hanya mampu mengeluarkan kata-kata tanpa melihat kondisi  diri mereka. Kemudian setelah hal tersebut mampu untuk dilakukan, barulah mereka bisa mendoktrin orang lain untuk bisa mendengarkan perkataannya. Dan, mereka yang mendengarkan dapat menerima pandangan-pandangan yang diberikan dengan baik.

Kemudian bagaimana cara agar tidak terpengaruh terhadap stigma-stigma yang kurang baik tersebut? teori solutif bagi mereka yang mendapatkan stigma kurang baik adalah dengan berpura-pura sok mendengarkan di telinga dan mengabaikannya di dalam jiwa. Dengan teori seperti ini mereka tak akan gampang frustasi dan dengan mudah dapat menetralisir stigma buruk tersebut. Setelah itu, mereka dapat mempertimbangkan kembali perkataan-perkataan yang telah ia dengar, dengan memilih terlebih dahulu mana hal-hal yang sifatnya positif dan mana yang negatif. Agar nantinya ketika hal-hal tersebut sudah disortir dengan baik, mereka bisa menterapkan dan dapat membimbing diri mereka kepada hal-hal yang membanggakan.

Menyikapi problematika seperti barusan, mungkin sebagian dari para pembaca ada yang sudah pernah menjadi korban. Dengan hal tersebut mereka yang pernah merasakan bisa mengambil hikmahnya dan berharap bisa memahami lebih serius lagi terkait hal-hal yang akan ia lakukan kedepannya. Karena dengan demikiannlah sebuah persoalan yang berkaitan dengan masa depan, akan bisa selalu beriringan dengan sikap keseriusan.

Similar Posts