Zumburiyah: Antara Debat Ilmiah dan Politik
Majalahnabawi.com – Abu Bisyr ‘Amr ibn ‘Utsman ibn Qanbar al-Haritsi atau banyak dikenal dengan julukan Imam Sibawaihi, adalah salah satu ulama terkenal di bidang nahwu yang kepakarannya diakui oleh lawan maupun kawan. Beliau lahir pada tahun 765 M di Kota Syiraz, Persia (sekarang Iran). Imam Sibawaih menghabiskan masa mudanya untuk belajar Al-Quran dan ilmu gramatika Arab. Penguasaan tata bahasa yang sangat penting dalam memahami teks-teks agama dengan benar, membuatnya pergi ke Basrah, tempat di mana pusat ilmu pengetahuan pada masa itu berada. Di Basrah, ia belajar kepada ulama-ulama besar yang menguasai bahasa Arab, termasuk al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi, yang dikenal sebagai bapak ilmu ‘arudh. Perjalanan intelektual ini menjadi landasan bagi kontribusi besar Sibawaih dalam ilmu gramatika Arab.
Kondisi Politik Masa Itu
Beliau hidup pada masa kekuasaan khalifah Harun ar-Rasyid. Pada masa itu, Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi. Kekayaan yang ada, banyak dimanfaatkan oleh khalifah untuk keperluan sosial. Selain itu, kesejahteraan sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan serta kekusasteraan juga mencapai masa keemasannya.
Harun ar- Rasyid juga terkenal karena hubungannya yang harmonis dengan para ulama, ahli hukum, penulis, qari, dan seniman. Dengan mengundang mereka ke istananya untuk berdiskusi dan berkolaborasi, ia menciptakan atmosfer yang mendukung bagi pertukaran ide dan pengembangan budaya.
Salah satu perkembangan yang pesat kala itu adalah ilmu gramatika Arab (nahwu) yang masyhur sampai sekarang dengan dua kubunya, Basrah dan Kufah. Kota Basrah di bawah asuhan Imam Sibawaih, dan kufah dengan Imam Kisa’i-nya. Kedunya menjadi tokoh besar dan selalu berselisih pendapat dalam berbagai permasalahan. Hal inilah yang membuat mereka dikagumi tidak hanya di dua kota tersebut, tetapi di berbagai provinsi di bawah pemerintahan Abbasiyah.
Perdebatan Zumburiyah
Kisah Zumburiyah antara Imam Sibawaih dan Imam Al-Kisai mengandung makna yang sangat dalam, baik dari sisi ilmiah maupun politis. Pada dasarnya, perdebatan antara keduanya berakar dari perbedaan pandangan dalam ilmu nahwu, namun dinamika yang terjadi saat itu juga menunjukkan bagaimana politik bisa memengaruhi objektivitas ilmiah.
Kisah itu bermula Ketika Imam Sibawaih datang ke daerah Baramikah. Yahya bin Khalid yang saat itu menjabat sebagai gubernur bertekad mempertemukan antara Sibawaih dengan al-Kisa’i untuk melakukan debat terbuka. Debat yang difasilitasi oleh pemerintah ini diumumkan ke khalayak, sehingga banyak orang-orang dari berbagai penjuru kota ingin menyaksikan perdebatan antara dua blok Basrah dan Kufah. Dari blok Kufah tidak hanya dihadiri oleh sang tokohnya, Al-Kisa’i, tetapi bersamanya beberapa orang Arab yang sengaja dibawa oleh blok Kufah. Singkat cerita, al-Kisai menanyakan sebuah lafadz kepada Imam Sibawaih:
قَد كنْتُ أظنُّ أن العقربَ أشدَّ لسعة من الزُنْبُور فإذا هو هي، أو فإذا هو إياها
Imam Sibawaih pun menjawab:
فإذا هو هي
hanya boleh dibaca rafa’ (هي) serta menyampaikan argumen yg menguatkannya. Lantas, jawaban tersebut dibantah oleh Imam Al-Kisai yg menyatakan bahwa lafaz tersebut bisa diberlakukan dua wajah yakni rafa’ (هي) dan nashab (إياها). Perdebatan berlangsung sengit, keduanya sama-sama memiliki argumen yang kuat. Disela perdebatan tersebut, Yahya bin Khalid memutuskan memanggil orang Arab (badui) untuk menjadi hakim di antara keduanya. Sesuai dengan yang diharapkan, orang arab tersebut membenarkan pendapat yang dibawakan al-Kisa’i. Mendengar persaksian itu, Imam Sibawaih tiba-tiba terdiam dan merasa kecewa dengan hasil tersebut.
Imam Sibawaihi merasa sangat terpukul setelah peristiwa yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Orang-orang yang hadir dalam debat membicarakan tentang kekalahan yang diderita Imam nahwu dari kota Basrah tersebut. Beliau sangat sedih. Hal inilah yang membuatnya enggan untuk kembali ke kota Basrah dan pergi ke tempat lain. Beliau memutuskan kembali ke tempat kelahirannya, Persia.
Murni debat ilmiah atau ada unsur politik?
Pertanyaan mengenai apakah peristiwa ini murni sebuah debat ilmiah atau ada unsur politik, tentu bisa kita lihat dari berbagai perspektif. Beberapa ulama, seperti yang disebutkan dalam kitab “Mughni Labib” karya Syekh Hisyam, berpendapat bahwa ada indikasi politik dalam kejadian ini, terutama dengan dugaan adanya suap kepada orang Arab yang menjadi hakim dalam perdebatan tersebut. Selain itu, Kedekatan al-Kisai dengan Khalifah Harun ar-Rasyid, yang mendukungnya secara politis, memengaruhi jalannya debat. Dalam konteks ini, bisa kita katakan bahwa politik telah mencampuri ranah ilmiah, sehingga hasil debat menjadi bias.
Namun pada akhirnya, meskipun terdapat politik yang mewarnai peristiwa tersebut, baik ajaran dari madzhab Basrah (Imam Sibawaih) maupun madzhab Kufah (Imam al-Kisai) tetap memberi kontribusi besar bagi pengembangan ilmu nahwu. Kedua madzhab ini, dengan pendekatan dan pandangan yang berbeda, dapat memberikan wawasan yang lebih kaya dalam memahami bahasa Arab.
Kisah ini juga mengajarkan kita tentang bahayanya mencampurkan politik dengan ilmu. Ilmu yang murni harus dilindungi dari pengaruh eksternal yang bisa merusak integritas dan tujuannya. Politik yang mengintervensi ilmu hanya akan mengaburkan kebenaran dan merusak kemuliaan ilmu itu sendiri.
Wallahua’lam.