Ketakwaan di Bulan Ramadhan
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Bagi umat Islam, bulan Ramadan ibarat sebuah masa, di mana umat Islam bagaikan kepompong, seperti ulat yang akan berubah menjadi kupu-kupu. Pada masa itu, terjadi pendadaran (tarbiyah) diri, baik lahir maupun batin. Pendadaran yang dimaksud di sini bukanlah pendadaran biasa-biasa saja, akan tetapi sebuah miniatur pendadaran suci nan istimewa dari Sang Maha Pencipta Allah Swt yang diajarkan melalui Utusan-Nya Muhammad Saw.
Pendadaran tersebut mencakup segala aspek sisi manusia; mulai dari sahur (makan sebelum waktu subuh), lalu menahan lapar dan dahaga hingga waktu berbuka saat maghrib tiba, kemudian diikuti salat tarawih, dan ibadah-ibadah lainnya hingga saatnya tidur kembali. Yang demikian itu dimaksudkan agar sekeluarnya dari bulan Ramadan, umat Islam dapat berubah menjadi ‘kupu-kupu’ indah menyejukkan mata, sehat jasmani dan rohani, serta kuat menghadapi probelematika hidup, karena kedua sayapnya berupa rasa syukur dan sabar, serta tubuhnya dihiasi emas akhlak mulia.
Sebagaimana ayat disebut di atas, bahwa Allah Swt berbicara kepada orang-orang beriman dan memerintahkan puasa kepada mereka. Dalam firman-Nya, Allah Swt memulainya dengan kata yaa ayyuhal ladzina amanu yang artinya “Hai orang-orang yang beriman.”
Menurut Sahabat Abdullah bin Masud, apabila suatu ayat dimulai dengan khitab (firman) berupa yaa ayyuhal ladzina amanu, menunjukkan bahwa ayat tersebut mengandung perihal atau perintah yang sangat penting. Memang benar, di dalam al-Quran terdapat lebih dari 80 ayat yang dimulai dengan seruan yaa ayyuhal ladzina amanu berupa hal-hal yang sangat penting dan berisi larangan yang cukup berat.
Di sinilah, maka Allah Swt memang telah memperhitungkan bahwa yang bersedia memikul perintah-Nya untuk memasuki pendadaran (tarbiyah) ini adalah orang-orang yang beriman. Karena ibadah puasa ini adalah suatu perintah yang cukup berat menurut fisik nafsu manusiawi, disebabkan membutuhkan pengorbanan kesenangan diri dan kebiasaan setiap hari. Karena itu, orang yang merasa di dalam dirinya ada iman, tentu akan bersedia mengubah kebiasaannya, bersedia menahan lapar dan dahaga serta tidak berhubungan suami-istri sejak terbit fajar hingga maghrib, menahan nafsu-nafsu hewaninya, bersedia bangun malam untuk salat dan makan sahur, demi mengharap ridho dan kecintaan Allah Swt semata.
Apabila proses pendadaran (tarbiyah) ini berhasil, Allah Swt telah menjanjikan hadiah yang belum pernah terbayangkan. Rasulullah Saw bersabda:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ، الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ، قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِلَّا الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي». لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ، وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
“Setiap amalan anak Adam (manusia), yang berupa kebaikan akan dilipat gandakan pahalnya dengan sepuluh kalinya sehingga tujuratus kali lipatnya. Allah Swt berfirman; Melainkan puasa, karena sesungguhnya puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku akan memberikan balasannya. Orang yang berpuasa itu meninggalkan kesyahwatannya, juga makananya semata-mata karena ketaatannya pada perintah-Ku. Seseorang yang berpuasa itu mempunyai dua macam kegembiraan, sekali kegembiraan di waktu berbukanya dan sekali lagi kegembiraan di waktu menemui Tuhannya. Niscayalah bau bacin mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah Swt daripada bau minyak wangi kasturi.” (HR. Muslim)
Balasan Allah Swt tersebut tentulah diperuntukkan bagi orang-orang beriman yang dengan puasa Ramadan berhasil meraih predikat al-muttaqin (orang yang bertakwa). Kadang hal ini dipahami bahwa stempel takwa akan diperoleh setelah berpuasa, ibarat anak kuliahan yang dipenghujung belajarnya selama 4 tahun akan mendapat stempel gelar Sarjana. Asumsi seperti ini kurang tepat.
Sebenarnya, prosesi takwa sudah berjalan sejak awal seorang yang beriman berniat mematuhi perintah Allah Swt dan menjauhi larangan-Nya. Demikian juga, apabila terbersit niatan melanggar Syariat Allah Swt, maka proses menuju tereliminasinya takwa juga akan berjalan. Begitu seterusnya, hingga manusia dipanggil oleh Allah Swt. Inilah yang mungkin dimaksud oleh firman Allah Swt “la’allakum tattaqun”, yang artinya: supaya kamu bertakwa, yakni menggunakan kata kerja (fiil mudhari’) tattaqun yang berarti aktivitas takwa terus menerus.
Oleh karena takwa adalah proses amaliah lahir-batin yang terus-menerus, maka sangat penting dijelaskan di sini makna takwa yang dipresentasikan oleh sayyidina Ali bin Abi Thalib yang diriwayatkan oleh Habib Zain bin Ibrahim bin Smith dalam kitabnya Al-Manhaj As-Sawi, “Bahwa Takwa adalah takut kepada Allah yang bersifat Jalal (Maha Agung), beramal dengan dasar al-Quran (At-Tanzil) dan menerima ikhlas (Qana’ah) terhadap yang sedikit, dan bersiap-siap menghadapi hari akhir peralihan (hari akhir).”
Perkataan Ali bin Abi Thalib Ra tersebut sangat ringkas, sangat puitis dan mengandung makna yang luas. Sehingga, dirasa mampu menjabarkan makna takwa. Tentu, makna ini sangat relevan dengan pengertian takwa sebagai proses yang terus-menerus hingga akhir hayat. Khususnya, tumbuh kembangnya sense bertakwa, apabila seorang mukmin tulus berniat mengerjakan perintah berpuasa di madrasah tarbiyah (sekolah pendadaran) yang namanya Ramadan. Hal ini dapat dilihat dari pemaknaan berikut ini:
Pertama, Al-khauf minal jalil artinya bahwa takwa itu menjadikan seseorang merasa takut terhadap Allah Swt yang memiliki sifat Maha Agung (Jalal), takut melanggar berbagai aturan dan ketentuan-Nya. Maka takwa dalam bingkai ini lebih bernuansa penghindaran dan pencegahan daripada pelaksanaan. Karena sesungguhnya ketakutan itu akan menyebabkan seseorang enggan melakukan tindak kesalahan, sehingga rasa waspada dan mawas diri menjadi aspek konsentrasi utama hati dan pikirannya.
Kedua, wal ‘amal bi at-tanzil. Yakni, menghindari sesuatu karena takut akan kesalahan, tidak lantas menjadikan seseorang berdiam diri dan tidak berbuat apa-apa. Karena, hal takwa juga menuntut tindakan baik yang didasarkan pada al-Quran yang diturunkan (At-Tanzil) sebagai pedoman hidup. Maka segala amal orang bertakwa selalu didasarkan pada al-Quran, dan mereka tidak akan melakukan sesuatu apapun secara serampangan tanpa adanya dalil yang mendasarinya.
Ketiga, al-qana’atu bil qalil, artinya orang yang bertakwa selalu merasa cukup dengan rezeki yang dianugerahkan kepadanya. Maksud dari kecukupan disini adalah sesuai dengan kebutuhan pokok hamba tersebut. Sehingga orang tersebut tidak akan bertindak secara berlebihan, berhura-hura dan hobi berbelanja. Karena, berbagai macam bentuk glamorisme dan konsumerisme hidup itu menyebabkan manusia melupakan Tuhannya.
Keempat, Al-Isti’dadu liyaumi ar-rahil adalah bersiap-siap menghadapi hari perpindahan. Yakni, perpindahan dari alam dunia ke alam kubur, lalu ke alam akhirat. Artinya, segala amal orang bertakwa senantiasa dalam rangka menyiapkan diri akan hadirnya hari kematian. Ini merupakan tuntunan praktis bagi seseorang untuk meningkatkan ketakwaannya. Seseorang yang mengingat kematian, ia tidak akan mudah terjerumus dalam kubangan dosa. Pada malam hari bulan Ramadan, berintrospeksi diri sangatlah dianjurkan; sudah cukupkah bekal untuk menghadapi kematian?
Maka sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa Ramadan adalah sekolah pendadaran (madrasah tarbiyah) yang harus dilalui setiap hamba yang mengaku beriman kepada Allah Swt. Dengan bekal iman yang suci dan kuat, pendadaran tersebut menjadi wahana proses-proses tumbuh kembangnya takwa, dengan pengertian meresapi esensi al-khauf minal jalil wal amalu bit tanzil wal qana’atu bil qalil wal isti’dad li yaumirrahil, yang selalu menjadi spirit amaliah lahiriyah seorang hamba, baik saat Ramadan maupun setelahnya. Semoga Allah Swt memberi kejernihan pemahaman ilmu dan keberkahan kepada kita semua. Amien.