Aswaja dan Aswajah

Senin, 30 Maret 2015, kami menghadiri rapat Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) bidang Kesejahteraan Rakyat (Kesra). Rapat membahas tentang situasi keamanan negara dan kaitannya dengan pengaruh paham ISIS. Rapat dihadiri oleh berbagai pihak antara lain: Bareskrim POLRI, Densus 88, BNPT, Kementerian Agama, Lemhanas, dan kami sendiri, dan dipimpin oleh anggota Wantimpres bidang Kesra.

Ada pernyataan yang menarik sekaligus mengejutkan yang disampaikan oleh Lemhanas dalam forum tersebut. Ia mengatakan bahwa ketahanan nasional Indonesia saat ini sudah berstatus lampu kuning. Pernyataan ini tentulah bukan main-main karena disampaikan oleh lembaga yang memiliki kewenangan untuk itu. Hanya saja dia tidak banyak merinci tentang pernyataannya itu.

Ketika tiba giliran kami berbicara, kami menyampaikan bahwa dalam Islam terdapat beberapa paham antara lain Ahlus Sunnah wal Jamaah yang di skala internasional disebut dengan Sunni dan di skala nasional disebut juga dengan Aswaja; Muktazilah, Khawarij, dan Syiah. Sebelum Perang Teluk 1991, hubungan antara paham-paham itu normal saja. Sunni merupakan paham mainstream dunia Islam, Syiah terlokalisir di Iran, dan beberapa negara sekitarnya, Khawarij hanya tinggal sisa-sisa di Aljazair dan Oman, dan Muktazilah merupakan paham yang belum berbentuk sebuah gerakan. Setelah Perang Teluk terjadi, paham selain Sunni tiba-tiba muncul dengan bentuknya yang baru hampir di semua negeri muslim.

Apabila kita melihat sejarah pertumbuhan dan fakta yang berkembang sampai saat ini maka dipastikan bahwa Islam yang dapat hidup berdampingan dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah paham Sunni atau Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Paham lain seperti Khawarij dengan gerakan terbarunya yang bernama ISIS hanya memberikan satu dari dua pilihan: kita ikut mereka atau kita dibunuh. Dan celakanya, semua paham itu sering mengklaim dirinya sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah. Seperti pernah disiarkan, seorang dekralator ISIS di Indonesia menegaskan bahwa ISIS adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah, bukan Khawarij.

Awal tahun 1990-an di Malang, Jawa Timur, ada seorang berceramah yang menyatakan bahwa Syiah adalah bagian dari Ahlus Sunnah wal Jamaah. Kami juga mendapat info, konon di Cirebon juga baru saja ada seminar tentang Syiah adalah bagian dari Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Ada tiga ormas Islam terbesar dan paling berpengaruh di Indonesia yang mengklaim dirinya sebagai pengusung Ahlus Sunnah wal Jamaah. Klaim sebagai pengikut Ahlus Sunnah wal Jamaah, Sunni, atau Aswaja, tampaknya perlu ditinjau kembali. Secara organisatoris, barangkali hal itu dapat dibenarkan karena AD/ART masing-masing menyebutkan hal itu. Namun kalau dilihat secara individual, khususnya bagi oknum-oknum ormas-ormas tersebut, tampaknya klaim sebagai Sunni sudah tidak relevan lagi.

Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah kelompok yang dalam beragama mengikuti sunah Nabi dan jamaah para sahabat, atau menurut istilah Rasulullah Saw adalah ma ‘alayhi ana wa ashhabi, yaitu cara beragama yang dipegang oleh Nabi dan para sahabatnya.

Saat ini, banyak oknum dari ormas-ormas Islam yang justru sudah menyimpang dari paham Ahlus Sunnah wal Jamaah. Misalnya, ada oknum yang mempromosikan bahwa Syiah adalah bagian dari Ahlus Sunnah wal Jamaah, padahal sebagian dari Syiah itu bertuhan kepada Sayidina Ali bin Abi Thalib atau berkeyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib lebih mulia dari Rasulullah Saw. Oknum yang berpendapat bahwa semua agama itu mengajarkan adanya surga, namun tidak diketahui mana yang benar dari ajaran tersebut.

Ada juga oknum yang berkeyakinan bahwa semua pemeluk agama akan sama-sama masuk surga. Surga hanyalah ibarat hotel di mana ada kamar untuk muslim, kamar untuk Kristiani, kamar untuk Yahudi, dan lain sebagainya.

Ada juga oknum yang berpendapat bahwa wukuf di Arafah dapat dilakukan kapan saja dan tidak wajib pada tanggal 9 Zulhijjah. Ada juga oknum yang jauh-jauh hari sudah mendeklarasikan dirinya sebagai calon ketua umum ormasnya, membuat tim sukses, dan lain sebagainya. Bahkan ada juga oknum yang menyebarkan political money untuk memuluskan pencalonan dirinya dan atau orang yang didukungnya, serta ada juga oknum yang berkolaborasi dengan pihak teroris.

Semua itu tentu bukanlah ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah atau Aswaja, melainkan ajaran Aswajah (Ahlus Su’ wal jah alias orang-orang buruk dan gila pangkat). Apabila oknum-oknum itu kemudian menjadi petinggi-petinggi ormas Islam di Indonesia, maka ketahanan nasional yang dinyatakan oleh Lemhanas tadi sebagai lampu kuning, akan berubah menjadi lampu merah. Dan saat itulah kehancuran Islam dan NKRI datang.

Umat Islam Indonesia wajib belajar dari tragedi Irak, Suriah, Yaman, dan lain-lain. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada Umat Islam Indonesia sehingga lampu yang akan menyala adalah lampu hijau, bukan lampu merah.***

Artikel ini pertama kali dimuat dalam Majalah Nabawi edisi 112

Similar Posts