Catatan dan Tantangan Ulama Perempuan Masa Kini
Ulama dikenal sebagai pribadi yang mempunyai keistimewaan di tengah masyarakat karena ilmunya. Dalam lingkup yang lebih sempit, khususnya di kalangan pesantren, ulama diartikan sebagai orang-orang istimewa yang mampu memahami Islam kitab-kitab turats, terutama kitab kuning.
Pada masa sekarang penyebutan kata “ulama” lebih banyak digunakan untuk pakar Islam dari kaum lelaki. Berbeda untuk para perempuan yang berkiprah dalam dunia Islam, orang-orang menyebutnya “ulama perempuan”.
Dalam Al-Qur’an, Allah mengistimewakan kedudukan para ulama, dalam firman-Nya :
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَٰلِكَ ۗ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ فاطر: 28
Artinya: Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, adalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (QS Fathir: 28)
Ayat ini menjelaskan bahwa ulama adalah mereka yang hati dan pikirannya senantiasa mengingat Tuhan, serta merasa takut tidak bisa melaksanakan perintah-perintah dan larangan-Nya dengan baik.
Selanjutnya, Allah tidak membedakan perbedaan tingkat atau derajat antara ulama laki-laki dan perempuan. Keduanya sama-sama memiliki tanggung jawab dalam mengajarkan serta menyebarkan agama Islam.
Sebagaimana dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (wafat 256 H):
عن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما : أنَّ النبيَّ – صلى الله عليه وسلم – ، قَالَ : بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً ، وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إسْرَائِيلَ وَلاَ حَرَجَ، وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّداً فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ .رواه البخاري
Dari Abdullah bin Amr bin Ash bahwa Nabi bersabda: “Sampaikanlah dariku walau satu ayat. Ceritakanlah pula kisah dari Bani Israil, dan tiada salah tentang itu. Barangsiapa yang berdusta tentangku dengan sengaja, maka hendaknya ia siapkan tempatnya di neraka,” (HR. Bukhari)
Kandungan Hadis diatas melengkapi makna dan pemahaman terhadap nash yang ada. Orang yang menyampaikan ilmu membutuhkan kapabilitas dan legalitas tersendiri, yang diperoleh dari banyaknya ilmu maupun dengan mendapatkan persaksian atau izin dari para ulama. Hal ini dikarenakan memahami nash membutuhkan ilmu-ilmu lainnya, seperti bahasa, ilmu nahwu (tata bahasa Arab), ilmu-ilmu ushul, musthalah, serta telaah terhadap perkataan-perkataan ahli ilmu dan mengetahui ikhtilaf (perbedaan) antar ulama.
Eksistensi ulama perempuan sudah ada semenjak zaman Rasulullah Saw. Dalam beberapa kitab dijelaskan bahwa banyak perempuan pada zaman Rasulullah yang menjadi ulama, bahkan ia memiliki murid dari kaum lelaki. Beberapa di antaranya adalah Aisyah binti Abu Bakar ra. disebutkan memiliki 299 murid, Ummu Salamah binti Abi Umayyah ra. tercatat memiliki 101 murid, Hafshah binti Umar bin Khattab ra dengan 20 murid dan Asma’ binti Abu Bakar sebanyak 21 murid. Empat ulama perempuan tersebut dikenal dalam dunia Hadis karena banyak periwayatan Hadis yang diriwayatkan melalui mereka.
Tidak berhenti pada zaman Rasulullah saja. Berbagai tokoh perempuan yang berkiprah dalam dunia pengetahuan adalah Nafisah guru Imam asy-Syafi’i. Hingga pada masa kemerdekaan Indoenesia muncul berbagai nama dalam keulamaan perempuan. Keulamaan perempuan pada masa itu, ditandai dengan mendirikan sekolah, mengajar mengaji, baca tulis, kerajinan tangan, serta keahlian lainnya. Sebagai contoh adalah Siti Walidah, istri KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Beliau tampil sebagai ulama perempuan yang ada dalam kriteria pada masa itu.
Masa demi masa berlalu, dan kita tiba pada era globalisasi. Ulama dari kalangan perempuan mempunyai tugas serta peran ekstra dibanding masa sebelumnya. Berbagai tantangan harus mereka lewati demi menyebarkan agama Islam beserta nilai-nilai di dalamnya. Jika ulama perempuan zaman dahulu menjadi perantara dakwah Islam, maka ulama perempuan sekarang mengemban amanat memperbaiki mindset dan nilai- nilai Islam itu sendiri.
Diantara beberapa tantangan tersebut adalah :
Krisis moral
Tidak bisa dipungkiri, bersama dengan berjalannya waktu, pendidikan semakin berkembang namun perihal moral tercatat menurun. Hal ini dipengaruhi oleh pergaulan yang kurang baik serta jauhnya remaja dari dua ajaran Islam, yaitu al- Qur’an dan as-Sunnah, serta kurang dekat dengan para kiai sepuh yang mu’tabar.
Pengetahuan yang kurang tentang Islam
Media sosial menjadi wadah penyebaran info yang tidak terbebas dari unsur licik, kebencian, dan atau unsur kekerasan lainnya. Banyak sekali remaja saat ini menyalahgunakan media sosial. Media sosial biasanya dijadikan oleh para intelektual sebagai media penyebaran ilmu dan media dakwah bagi para pemuka agama, ditelan mentah tanpa disaring dengan baik oleh banyak kalangan saat ini. Bahkan tidak jarang diantara mereka menjadikan dunia maya sebagai proxy war antar agama atau golongan.
Peluang dakwah Islam yang sempit bagi ulama perempuan
Ulama di kalangan umat Islam adalah mereka yang mempunyai pengetahuan Islam mendalam dan menjadi panutan bagi kaum muslim. Namun, pola pemikiran orang Islam umumnya terkait ulama masih didominasi oleh kaum adam. Dampaknya, eksistensi ulama perempuan tidak begitu mendapat porsi luas dalam dakwah Islam. Bahkan perempuan dianggap orang yang lemah akalnya dibanding laki-laki.
Dari berbagai tantangan diatas, maka di era sekarang peran ulama perempuan begitu besar dalam merealisasikan peran mereka di dunia Islam. Meskipun begitu, banyak didapati nama-nama ulama perempuan dengan berbagai kepakarannya. Satu di antaranya adalah Nyai Azizah Lasem atau biasa disebut Mbah Zah, putri KH. Ma’shum Lasem di Ponpes al-Hidayat Lasem yang menjadi rujukan ulama baik kalangan laki-laki dan perempuan. Serta tidak mengabaikan juga dai-dai perempuan lainnya dengan gaya dakwah yang berbeda dari ulama terdahulu, namun tidak terlepas dari nilai-nilai Islam dan ilmu yang dibawa. (Amimah/syq)