Diusirnya Leluhur Manusia dari Surga
Majalahnabawi.com – Nabi Adam dan Sayyidah Hawa merupakan leluhur manusia yang dulunya menempati surga. Di sana, terdapat sebuah pohon yang dilarang untuk didekati. Suatu ketika, iblis menipu mereka dengan mengatakan bahwa alasan di balik pelarangan untuk mengonsumsi buah dari pohon tersebut adalah karena orang yang memakannya akan menjadi malaikat dan kekal abadi. Peristiwa ini terekam dalam ayat Al-Quran yang berbunyi :
فَأَزَلَّهُمَا ٱلشَّيۡطَٰنُ عَنۡهَا فَأَخۡرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِۖ وَقُلۡنَا ٱهۡبِطُواْ بَعۡضُكُمۡ لِبَعۡضٍ عَدُوّٞۖ وَلَكُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ مُسۡتَقَرّٞ وَمَتَٰعٌ إِلَىٰ حِينٖ (٣٦)
”Lalu setan menggelincirkan keduanya dari surga sehingga keduanya dikeluarkan dari (segala kenikmatan) ketika keduanya di sana (surga). Dan Kami berfirman, “Turunlah kalian! Sebagian kalian menjadi musuh bagi yang lain. Dan bagi kalian ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan.” (QS. al-Baqarah: 36)
Analisis Kata (Tahlil al-Alfadz)
Lafaz Ihbithu (اهبطوا) merupakan shighah fi’il amr yang berarti “turunlah”. Musytaq minhunya ialah lafaz habatha (هبط) yang menunjukkan arti turun (انحدار) sedangkan al-habith (الهبيط) bermakna unta yang kurus. Dalam kamus, habatha juga bermakna dengan meluncur, merosot, berjatuhan, runtuh, jatuh. Secara garis besar, lafadz ihbithu bermakna turun dari tempat yang tinggi menuju tempat yang rendah.
Lafadz azalla (أزلّ) merupakan fi’il tsulatsi mazid bi harfin yang berasal dari kata al-zallah (الزلّة) yang berarti tergelincirnya seseorang tanpa kesengajaan. Zallah juga dapat diartikan sebagai dosa yang dilakukan secara tidak sengaja. Dalam qira’at yang lain, lafaz azalla tidak dibaca dengan tasydid, melainkan dengan diberi tambahan alif setelah huruf zay, menjadi azaala (أزال) yang bermakna menjauhkan. Maksudnya adalah menjauhkan Nabi Adam dan Sayyidah Hawa dari ketaatan menuju perbuatan maksiat.
Munasabah
Ayat ini masih memiliki keterkaitan pembahasan dengan ayat sebelum dan sesudahnya, yaitu kisah turunnya Nabi Adam dan Sayyidah Hawa dari surga. Pada ayat sebelumnya menjelaskan tentang larangan mengonsumsi buah dari pohon terlarang. Kemudian ayat berikutnya bercerita tentang taubat yang dilakukan oleh Nabi Adam kepada Allah Swt.
Uraian Tafsir
Larangan untuk mendekati pohon yang diisyaratkan dalam ayat sebelumnya bermakna larangan untuk mengonsumsi buah dari pohon tersebut berdasarkan pendapat yang diunggulkan oleh al-Thabari (w. 310 H). Secara spesifik memang tidak disebutkan jenis pohon yang dimaksud dalam Al-Quran maupun al-Sunnah walaupun ditemukan pendapat bahwa yang dituju ialah pohon gandum, pohon anggur, pohon kurma, atau pohon tin. Al-Razi (w. 606 H) dan ulama lainnya berpendapat bahwa tidak ada kepastian terkait jenis pohon terlarang itu. Konon, barang siapa yang memakannya, niscaya akan menjadi makhluk yang kekal.
Godaan dengan Sumpah Palsu
Mengenai tipu daya yang dilakukan oleh setan, al-Qurthubi (w. 671 H) mengutip dua pendapat. Pertama, pendapat yang dikemukakan oleh Ibn Mas’ud (w. 32 H), Ibn ‘Abbas (w. 68 H), dan jumhur ulama bahwa setan menggoda Nabi Adam dan Sayyidah Hawa secara langsung. Pendapat ini didasarkan kepada sumpah palsu setan yang terdapat dalam QS. al-A’raf ayat 21. Sebuah sumpah pastinya diucapkan secara langsung melalui lisan.
Kelicikan Iblis dengan Menyamar
Kedua, pendapat dari Wahb bin Munabbih (w. 110 H) bahwa Iblis menyelundup ke surga dengan cara bersembunyi di dalam mulut ular. Tatkala ular tersebut masuk ke surga, Iblis pergi ke pohon terlarang kemudian ia menggoda Sayyidah Hawa. Awalnya Sayyidah Hawa enggan, namun lama-kelamaan beliau memakan buah terlarang itu. Setelahnya, beliau mengajak Nabi Adam untuk memakan buah bersama dan meyakininya bahwa tidak ada efek apapun dari mengonsumsi buah itu.
Kemudian, timbul pertanyaan, apakah perbuatan Nabi Adam tersebut merupakan sebuah kesalahan dengan disengaja? Para mufassir ahlussunnah wal jama’ah berpendapat bahwa saat itu Nabi Adam sedang lupa bahwa setan adalah musuh baginya. Allah Swt berfirman :
وَعَصَىٰٓ ءَادَمُ رَبَّهُۥ فَغَوَىٰ (١٢١)
“Dan telah durhakalah Adam kepada Tuhannya dan sesatlah dia.” (QS. Thaha: 121)
Al-Alusi (w. 1270 H) menjelaskan bahwa tujuan penciptaan Nabi Adam di bumi ialah agar dia beserta keturunannya menjadi khalifah di sana. Sehingga, tidaklah tepat bila peristiwa turunnya Nabi Adam disebut sebagai hukuman. Ia melanjutkan bahwasanya surga yang ditempati oleh Nabi Adam dan Sayyidah Hawa bukanlah surga yang dijanjikan kepada orang-orang mukmin. Sebab, surga Nabi Adam memiliki taklif (tanggungan atau kewajiban) sedangkan surga yang dijanjikan oleh Allah Swt adalah tempat peristirahatan yang penuh kenikmatan dan tidak mungkin terjadi perbuatan menyimpang (dosa) di dalamnya.
Menurut al-Sya’rawi (w. 1418 H), disyariatkannya taubat merupakan rahmat yang tidak hanya ditujukan kepada pelaku maksiat melainkan seluruh manusia pada umumnya. Dapat dibayangkan apabila manusia yang melakukan perbuatan dosa merasa bahwa ia tidak akan diampuni oleh Tuhan dan mengalami siksaan selamanya di akhirat kelak, maka orang tersebut akan senantiasa terjerumus dalam perbuatan dosa karena tidak adanya harapan akan ampunan serta keselamatan dari siksa neraka. Dalam hal ini, orang mukmin haruslah menolongnya agar dapat keluar dari jeratan dosa.
Kontekstualisasi Ayat
Nilai-nilai yang dapat diambil dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dari QS. al-Baqarah ayat 36 di antaranya ialah pentingnya mawas diri agar kita selalu berhati-hati dalam bertindak. Kesadaran terhadap konsekuensi yang akan terjadi hendaknya menjadi pertimbangan kita tatkala ingin melakukan suatu hal. Sebagai umat muslim, mawas diri dapat pula kita artikan sebagai kesadaran kita terhadap pengawasan Allah Swt yang tidak pernah luput sedetikpun. Dalam istilah tasawuf, perkara ini dinamakan sebagai muraqabah.
Berikutnya berkaitan dengan permusuhan antara manusia dan setan. Setan merupakan makhluk pembohong yang senantiasa menggoda manusia untuk melakukan perbuatan maksiat dengan cara apapun. Kelihaiannya dalam menjerumuskan manusia juga didukung oleh hawa nafsu pada diri manusia. Bahkan, nafsu yang tak terkendali bisa jadi jauh lebih ganas ketimbang godaan setan. Oleh karenanya, penting bagi kita untuk memerangi hawa nafsu dengan melakukan amal saleh serta meningkatkan ketakwaan.
Kesimpulan
Peristiwa diturunkannya Nabi Adam dan Sayyidah Hawa merupakan skenario yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Tidak benar bila kehidupan di bumi ini disebabkan karena warisan dosa Nabi Adam. Padahal, Allah Swt ingin agar manusia menjadi mandataris-Nya(khalifah Allah) di bumi. Dari kejadian ini juga kita mengetahui bahwa Nabi Adam adalah orang pertama yang melakukan syariat taubat. Wallahu a’lam.
Referensi :
Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an – al-Raghib al-Ashfihani
Lisan al-‘Arab – Ibn Mandzur
Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an – Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari
Mafatih al-Ghaib – Abu Abdillah Muhammad bin Umar al-Razi
Tafsir al-Maraghi – Ahmad bin Musthafa al-Maraghi
Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an – Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi
Ruh al-Ma’ani – Syihab al-Din Mahmud bin Abdillah al-Alusi
Tafsir al-Qur’an al-Adzhim – Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir al-Dimasyqi
Tafsir al-Sya’rawi – Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi
*Penulis merupakan alumni Pondok Pesantren Al-Musyarrofah An-Nawawi Jakarta Selatan dan Pondok Pesantren Al-Anwar 2 Sarang. Mahasiswa aktif progam studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Universitas PTIQ Jakarta.