Hukuman Bagi Penghina Nabi

Hukuman atas Penghina Nabi dalam tragedi majalah Charlie Hebdo di Paris, Prancis, Rabu, 14 Januari 2015, tampaknya tidak berhenti dengan terbunuhnya 12 orang karyawan media massa itu. Gelombang protes dan unjuk rasa terus berlanjut sampai hari ini di berbagai belahan dunia.

Inilah yang dapat kita baca dan kita saksikan dari berbagai media massa. Namun demikian, belakangan terungkap bahwa tragedi itu tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan reaksi atas perbuatan yang dilakukan oleh media Charlie Hebdo.

Seperti banyak diberitakan bahwa majalah Charlie Hebdo berkali-kali memuat karikatur yang melecehkan Nabi Muhammad Saw. Apa sebenarnya status hukum dan hukuman atas orang yang melecehkan Nabi Muhammad Saw?

Ulama besar Indonesia Syekh Muhammad Hasyim Asy’ari (wafat 1366 H/1947 M) dalam kitabnya al-Tanbihat al-Wajibat menukil dari imam al-Qadhi `Iyadh dalam kitabnya, al-Syifa, tentang kesepakatan umat Islam bahwa orang yang melecehkan Nabi Muhammad Saw hukumnya haram dan orang yang melakukannya wajib dihukum mati.

Hukum dan hukuman ini diambil dari ayat-ayat al-Quran maupun ijma’ para sahabat Nabi. Di dalam al-Quran terdapat ayat yang mengatakan,

وَمِنْهُمُ الَّذِينَ يُؤْذُونَ النَّبِيَّ وَيَقُولُونَ هُوُ أُذُنٌ قُلْ أُذُنُ خَيْرٍ لَّكُمْ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَيُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِينَ وَرَحْمَةٌ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ رَسُولَ اللهِ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan:”Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya”. Katakanlah:”Ia mempercayai semua apa yang baik bagi kamu, ia beriman kepada Allah, mempercayai orang-orang mu’min, dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman di antara kamu”. Dan orang-oang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih.” (QS. at-Taubah: 61).

Ayat ini menunjukkan bahwa menyakiti Rasulullah Saw merupakan dosa besar dan diancam dengan azab yang sangat memedihkan.

Selain itu, dari ijma’ para sahabat, ada sebuah kisah ketika sahabat Abu Barzah al-Aslami mengatakan, “Suatu hari saya duduk di sisi khalifah Abu Bakar as-Shiddiq Ra. Kemudian, beliau memarahi seseorang. Namun orang tadi justru membantah Abu Bakar as-Shiddiq.

Maka kemudian, saya berkata kepada khalifah Abu Bakar, `Wahai pengganti Rasulullah, biarlah aku bunuh orang itu.’ Abu bakar kemudian berkata, `Jangan! Tetaplah kamu duduk! Karena membunuh orang yang melakukan perbuatan seperti itu tidak boleh, kecuali atas orang yang melecehkan Rasulullah Saw.”

Menurut al-Qadhi Abu Muhammad bin Nashar, tidak ada seorang pun sahabat Nabi yang membantah pendapat khalifah Abu Bakar ini. Maka, hal itu menjadi sebuah ijma’ (konsensus para sahabat) yang dipakai sebagai dalil oleh para imam untuk menghukum mati orang yang menyakiti hati Nabi Muhammad Saw dengan segala macam cara.

Al-Qadhi `Iyadh juga menuturkan bahwa di samping ber dasarkan ijma’, hukuman atas orang yang menghina Nabi Muhammad Saw juga berdasarkan qiyas. Karena perbuatan menyakiti hati Rasulullah Saw atau mengurangi derajatnya menunjukkan bahwa pelakunya merupakan orang yang sakit hatinya dan sekaligus termasuk bukti keburukan niat dan kekafirannya.

Itulah hukum dan hukuman atas orang yang melecehkan Nabi Muhammad Saw, baik melalui cacian, tulisan, maupun karikatur. Namun demikian, umat Islam tidak dibenarkan untuk main hakim sendiri.

Dalam menjalankan amar makruf nahi mungkar, para ulama baik klasik maupun kontemporer, seperti imam al-Ghazali (wafat 505 H) dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din, Imam Ibnu Taimiyah (wafat 728 H) dalam kumpulan fatwanya, dan Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan dalam kitabnya Ushul al-Da’wah bersepakat bahwa dalam menegakkan amar makruf nahi mungkar hal-hal yang berkaitan dengan sanksi dan hukuman menjadi wewenang pemerintah. Oleh karenanya, tindakan main hakim sendiri tidak dapat dibenarkan menurut ajaran Islam.

Pelecehan terhadap seorang Nabi atau terhadap suatu agama haruslah diselesaikan melalui jalur hukum di negara tempat peristiwa itu terjadi. Maka, kasus Charlie Hebdo harus diselesaikan melalui proses hukum di negara Prancis. Demikian pula, pelecehan di setiap tempat di dunia ini, termasuk di Indonesia. Pelecehan terhadap suatu agama yang tidak dijerat dengan hukum, justru menjadi pemicu radikalisme baru.

Wallahul muwaffiq.

(Sumber: Republika, 21 Januari 2015)

Similar Posts