IMAM AN-NASAI; Kritikus Perawi Hadis Abad III H
Syekhul-Muhadditsin Sebelum Imam An-Nasai’
Dalam literatur sejarah Islam, Baghdad (Ibu kota Irak sekarang) dikenal sebagai pusat kemajuan peradaban Islam. Tepatnya pada masa Daulah Abbasiyah, ilmu pengetahuan berkembang begitu pesat. Munculnya tokoh-tokoh intelektual muslim dalam berbagai disiplin ilmu dengan karya-karya monumentalnya, sebut saja Imam Al Ghazali dengan Ihya Ulumiddinnya sebagai contoh. Tak terkecuali dalam ilmu hadis, tepatnya pada Abad III H, lahir para ulama ahli hadis dengan masterpiece-nya yang kita kenal dengan Kutubu-sittah dalam penghimpunan, penulisan, penyeleksian, dan pembukuan hadis-hadis Rasulullah SAW lengkap dengan rangkaian sanadnya yang kelak akan dijadikan sumber pokok (dengan al-Qur’an) oleh para mujtahid, ahli fiqh, dan para mujaddid dalam ber-ijtihad, mengeluarkan fatwa, dan menentukan ijma’ (konsensus para ulama).
Di antara Syekhul-Muhadditsin sebelum Imam Nasai’ :
Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari, penulis kitab Al-Jami’ Shahih, dilahirkan pada tahun 194 H dan wafat 256 H.
Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi, an-Naisaburi, al-Hafizh, penulis kitab Al- Jami’ Shahih, dilahirkan pada tahun 202 H, wafat pada tanggal 25 Rajab 261 H.
Imam Abu Isa at-Tirmidzi, dilahirkan pada tahun 206 H, pengarang Sunan at-Tirmidzi, al-Ilal, Syamail Muhammadiyyah, wafat pada tahun 279 H.
Riwayat Hidup dan Rihlah Keilmuan Imam An-Nasai’
Nama Lengkapnya adalah Abu Abdurrahman, Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr Al-Khurasany An-Nasai’, dilahirkan di Nasa’ (sebuah kota di Khurasan) pada tahun 215 H. Imam Adz-Dzahabi mengatakan, “Dia adalah seorang Syaikh yang berwibawa, berwajah manis, tampak darahnya (kemerah-merahan), berwajah tampan meskipun sudah tua, memiliki 4 istri dan suka menggilir mereka”.
Sejak kecil, Imam an-Nasai’ memiliki ruhul jihad yang besar dalam mencari ilmu. Imam Nasai’ berangkat kepada salah satu ahli hadis terkemuka pada zaman itu, Qutaibah bin Said, dan menetap bersamanya selama 1 tahun 2 bulan yang waktu itu umur Imam Nasai’ masih 15 tahun. Setelah itu, Imam Nasai’ pergi ke Khurasan, Hijaz, Mesir, Irak, Jazirah, Syam, Tsagur, lalu menetap di Mesir. Diantara guru Imam Nasai’ adalah Qutaibah bin Said, Ishaq bin Rohuyah, Hisyam bin Amr, Harits bin Miskin, Abu Daud as-Sijistani dan lain-lain.
Tidaklah Imam An-Nasai’ menjadi seorang ahli hadis tanpa diiringi dengan sifat wara’ dan bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah. Para Ulama pada masanya pun memuji dan mengakui Kesalihannya. Abu al-Hasan al-Muhammad bin al-Mudzhaffar al-Hafizh mengatakan “Aku mendengar guru-guru kami di Mesir mengakui keunggulan dan keimanan Abu Abdirrahman An-Nasai’. Mereka juga menyifati kesungguhannya dalam beribadah di malam dan siang hari.” Imam Adz-Dzahabi mengatakan “Dia bagaikan lautan ilmu disertai pemahaman, kesempurnaan, ketajaman pandangan, mengkritik rijal (perawi hadis), dan bagus dalam karangannya. “
Bahkan, Ibnu as-Subki mengatakan “Aku mendengar Adz-Dzahabi, saat ditanya “Siapakah yang lebih kuat hafalannya antara Muslim al-Hajjaj, pengarang kitab as-Shahih, atau an-Nasai?” Dia menjawab, “An-Nasai’.”
Retorika Imam an-Nasai’ dalam Mengkritik Rijal (Perawi) Hadis
Imam an-Nasai’ terkenal di kalangan para Ulama pada masanya karena kehati-hatiannya dalam meriwayatkan suatu hadis seperti yang dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Thahir, aku bertanya kepada Sa’ad bin Ali az-Zanjani tentang seseorang, maka dia menilainya tsiqah. Lalu Ibnu Thahir mengatakan, “Dia dinilai dhaif oleh an-Nasai.” Setelah itu mengucapkan, “Wahai anakku, sesungguhnya Abu Abdirrahman memiliki syarat tentang rijal yang lebih berat daripada Imam Bukhari dan Muslim.”
Dari Abdul Wahab bin Muhammad bin Ishaq, dia mengatakan, Abu Abdillah bin Mandah mengatakan, “Orang-orang yang meriwayatkan hadis shahih, membedakan yang tsabit (tetap) dari yang ber’illah, yang salah dari yang benar ada empat: Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Abu Abdurrahman an-Nasai’.”
Abu Abdurrahman Muhammad bin al-Husain as-Sulami ash-Shufi berkata, “Aku bertanya kepada Abu al-Hasan Ali bin Umar ad-Daruquthni al-Hafizh, ‘Jika Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah dan Ahmad bin Syu’aib an-Nasai’ menceritakan suatu hadis, maka siapa yang akan engkau dahulukan?’, Dia menjawab, ‘An-Nasai’, karena dia lebih bersanad. Aku tidak bisa mendahulukan seorang pun daripada an-Nasai’, meskipun Ibnu Khuzaimah adalah seorang imam, tsabat, tiada tandingannya’.
Perspektif Imam An-Nasai’ dalam Menentukan Rijal Hadis
Dalam Muqaddimah Abu Amr bin ash-Shalah disebutkan, bahwa diantara madzhab Imam an-Nasai’ (dalam meriwayatkan hadis) adalah meriwayatkan dari semua orang yang tidak disepakati untuk ditinggalkan hadisnya, yang semisal dengannya adalah Abu Daud. Hal ini diisyaratkan oleh al-Iraqi dalam alfiyahnya, dia berkata,
An-Nasai’ meriwayatkan siapa yang tidak mereka sepakati untukditinggalkan hadisnya, suatu madzhab yang longgar.
Imam Nasai’ mengatakan, “Menurutku, seseorang tidak boleh ditinggalkan riwayatnya hingga semua bersepakat untuk meninggalkan periwayatannya.” Betapa banyak juga, perawi yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi, ternyata an-Nasai’ menjauhkan diri dari meriwayatkan hadisnya. Bahkan, Imam Nasai’ menjauhi meriwayatkan hadis dari segolongan perawi ash-Shahihain.
Muhaqqiq kitab Amal al-Yaum wa al-Lailah menulis, “Dengan demikian jelaslah bahwa an-Nasai’ meriwayatkan hadis-hadis dari para perawi tsiqat saja, sedangkan yang lain telah dia nyatakan kedhaifan mereka, sebagaimana yang tampak jelas dari sela-sela Sunannya. Jika kita menelitinya, kita melihat bahwa dia sengaja menyebutkan hadis-hadis yang paling kuat dalam bab itu, dan bersandar pada keadilan dan kecermatan dalam hadis, tanpa menghiraukan keyakinan dan madzhab.”
Wafatnya Imam an-Nasai’
Imam an-Nasai’ wafat pada tahun 302 H di Palestina tepatnya hari Senin, 13 Safar. Di antara karya-karyanya :
Al-Khasaish
As-Sunan al-Kubra
Al-Mujtaba