Majaz dan Tantangannya bagi Santri Hadis Nusantara
Majalahnabawi.com– Sudah barang populer bahwa umat muslim di seluruh dunia berpedoman kepada al-Quran dan Hadis. Nabi Muhammad saw. lahir di jazirah Arab serta sasaran awal dakwah adalah masyarakat Arab maka tidak mengherankan jika ungkapan wahyu al-Quran dan Hadis menggunakan bahasa Arab yang dapat memahamkan mereka. Bahasa Arab, seperti halnya bahasa lainnya di dunia, mengenal apa yang kita sebut sebagai makna denotatif (hakiki) dan makna konotatif (majas).
Makna hakiki ialah ungkapan makna asli (center meaning) yang tidak membutuhkan penjelasan lebih dan biasanya dapat langsung memahamkan pendengar. Sedang makna konotatif ialah makna alternatif atau sampingan (marginal meaning) yang seringkali mengernyitkan dahi lawan bicara.
Definisi Majaz
Para ulama biasa mengistilahkan makna konotatif ini dengan sebutan majaz. Ia –seperti dalam kitab al-Balaghatul Wadlihah– adalah ungkapan yang menggunakan makna sampingan karena ada qarinah (indikator) yang mengharuskan suatu ungkapan itu dimaknai dengan pemaknaan alternatif bukan dengan makna utama.
Agar lebih mudah, mari kita cermati ungkapan bahasa Indonesia terlebih dahulu : “Kupu-kupu berterbangan menghampiri bunga di taman”. Kata yang bergaris miring dalam kalimat ini bermakna denotatif alias makna utama atau makna yang sebenarnya. Maka yang hinggap di pikiran pembaca adalah kupu-kupu yang berupa serangga.
Bandingkan dengan,“Ini hidup wanita si kupu-kupu malam. Bekerja bertaruh seluruh jiwa raga…”. Kata yang bergaris miring dalam lirik lagu ini bukanlah makna sebenarnya. Akan tetapi makna konotatif, maka yang muncul di pikiran pembaca bukanlah serangga kecil, melainkan wujud seorang wanita yang menjadi pekerja seks komersial.
Al-Quran dan Hadis yang bahasa Arab merupakan media penyampaiannya, sangat kaya akan gaya bahasa konotatif atau majas ini. Terlebih, gaya bahasa seperti ini menurut pengakuan para pakar bahasa, memiliki unsur puitis sekaligus memiliki daya efek yang luar biasa bagi lawan bicaranya.
Nabi Muhammad Pandai Bermajaz
Nabi Muhammad di kalangan umat Islam masyhur sebagai manusia yang paling fasih dalam berbahasa Arab. Sebab itu, sangat masuk akal jika Nabi sangat pandai mengotak-atik gaya bahasa majaz tadi. Penggunaan majaz oleh Nabi banyak terekam dalam kitab-kitab hadis. Bahkan, seorang pakar hadis kenamaan asal Indonesia, Kyai Ali Mustafa Ya’qub memuat satu bab khusus dalam karya monumentalnya Thuruq Shahihah fi Fahmis Sunnah ihwal majaz.
Contoh Majaz dalam Hadis
Dalam karya tersebut, Kyai Ali menampilkan beberapa contoh ungkapan majaz dalam hadis.
Hadis Panjang Tangan
Contoh pertama ialah riwayat imam Bukhari dari Aisyah ra. :
أنَّ بَعْضَ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْنَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّنَا أَسْرَعُ بِكَ لُحُوقًا قَالَ أَطْوَلُكُنَّ يَدًا
“Sebagian istri-istri Nabi bertanya kepadanya tentang siapakah di antara istri Nabi yang kelak paling cepat menyusulnya (meninggal). Nabi menjawab “yang paling panjang tangannya”.
Kyai Ali mengutip pendapat imam Nawawi yang menjelaskan bahwa setelah Nabi bersabda demikian, para istri Nabi mengambil rotan untuk mengukur siapakah di antara mereka yang paling panjang tangannya secara fisik. Mereka mengira ungkapan Nabi tadi bermakna hakikat bukan majaz. Hasilnya, istri Nabi bernama Saudah yang paling panjang tangannya secara fisik.
Kejanggalan muncul setelah para istri Nabi mengetahui bahwa pada kenyataannya bukan Saudah yang meninggal paling cepat, melainkan Zainab. Barulah para istri Nabi menyadari bahwa panjang tangan tadi bukanlah ungkapan sebenarnya melainkan majaz.
Panjang tangan ini bukan seperti yang oleh orang Indonesia pahami (sering mencuri) melainkan apa yang oleh native speaker alias penutur asli pahami, orang Arab sana. Menurut pakar bahasa Arab, ungkapan panjang tangan adalah perkataan yang menggambarkan tangan yang sangat terampil juga dermawan. Kesimpulannya, tangan istri Nabi paling terampil serta dermawan tadi, tak lain ialah tangan Zainab.
Hadis Setan Dibelenggu
Sedang contoh kedua ialah hadis perihal terbelenggunya setan pada bulan Ramadlan.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ وَسُلْسِلَتْ الشَّيَاطِينُ
“Rasulullah ﷺ bersabda, “Apabila datang bulan Ramadan pintu-pintu surga dibuka sedang pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu”.
Jika hadis pertama tadi mau tak mau pemaknaannya harus majazi maka pada hadis kedua ini menurut Kyai Ali pemahamannya boleh secara hakiki atau majazi, terserah. Jika kita ingin memahami hadis ini dengan makna hakiki maka arti hadis ini menerangkan bahwa setan benar-benar dibelenggu sebagai tanda pengagungan terhadap kemuliaan bulan Ramadlan.
Namun jika kita ingin memaknainya dengan majazi maka arti hadis ini sebagai isyarat atas berlimpahnya pahala serta ampunan. Sedangkan upaya setan untuk menggoda menjadi terbatasi seolah mereka dibelenggu.
Pertanyaan lain terkait hadis ini ialah bagaimana mungkin setan dibelenggu sementara kejahatan dan kemaksiatan masih merajalela pada bulan Ramadlan? Kyai Ali menjawabnya dengan penjelasan bahwa bagi orang yang mengerjakan puasa dengan memenuhi adab dan persyaratannya, maka setan seolah terbelenggu untuk menggodanya.
Tantangan Majaz Bagi Santri Hadis
Di sinilah tantangan bagi santri hadis di Nusantara untuk memutar otak serta megolah rasa demi tercapainya nuansa khas bahasa Arab. Agar konteks bahasa asal dapat diterjemahkan dengan baik pada bahasa sasaran. Terlebih kita tadi sudah melihat, sekelas istri Nabi pada mulanya keliru dalam memahami majaz dalam hadis. Apalagi kita yang bukan penutur asli bahasa Arab.
Karena peliknya persoalan majaz ini pula, Yusuf Qardlawi dalam karyanya Kaifa Nata’mal ma’as Sunnah menekankan pentingnya memahami bahasa Arab bagi para pengkaji hadis agar dapat memahami hadis secara utuh. Terlebih jika konten hadis tersebut memuat bahasa majaz dalam lingkup hukum, tidak hanya soal informasi umum, sejarah, moral dan etika. Tentu, pemahaman majaz ini semakin penting dan “gawat”.