Majalahnabawi.com – Ulama sebagai pewaris para nabi (waratsatu al-anbiya)  yang mana mewarisi keilmuan para nabi, tentulah patut dan pantas untuk menjadi suri tauladan bagi kita semuanya, tidak hanya di Indonesia atau arab saja, bahkan semua orang yang merasa dirinya bodoh dan butuh tuntunan hidup, dan hanya ulama sajalah yang pantas mengembannya. Ulamapun tidak hanya mewarisi keilmuan para nabi saja, tapi merekapun mewarisi akhlak para nabi. BahkanAli Mustofa Yaqub sering menyebut orang yang mengaku dirinya ulama tapi tidak memiliki kepribadian yang baik dengan ulama suu’ (buruk) dan menggolongkan mereka kedalam golongan Aswajah (Ahlu Suu wa Jahl).

Jadi tidak heran jika ada orang yang tidak ingin dipanggil ulama, kyai, ustadz atau semisalnya walaupun dia sudah dianggap memenuhi kriteria ulama oleh masyarakat sekitarnya, karena menjadi pewaris nabi tentulah dirasa sangat berat olehnya.

Dan dari sekian banyak kelebihan yang dimiliki oleh para ulama adalah ketekunannya dalam belajar dan menuangkannya dalam bentuk tulisan. Maka tak aneh bila ulama – ulama terdahulu mempunyai banyak sekali karya yang bahkan masih dipakai pada zaman yang sudah maju ini, karena substansi dari kitab tersebut masih dianggap relevan untuk dipelajari saat ini. Dan salah satu ulama nusantara yang mempunyai banyak sekali karya adalah KH. Ahmad Sanusi.Ahmad Sanusi lahir di desa cantanyan Kec. Cikembar Kab. Sukabumi pada tanggal 12 Muharram 1306 Hijriah bertepatan dengan 18 September 1888 M. Beliau merupakan anak dari KH. Abdurrohim yang merupakan ajengan di desa Cantayan. Pendidikan agamaa beliau didapatkan langsung dari ayahnya.

Apalagi saat itu ayahnya membangun sebuah pesantren yang mana santrinya berasal dari berbagai daerah sekitar seperti Bogor dan Cianjur. Walau Ahmad Sanusi selalu mendapat penghormatan yang lebih dari santri dan warga sekitar sekitar, dikarenakan ayahnya, di sisi lain KH Abdurohim memiliki posisi penting sebagai ajengan di desanya, tetapi tetap dalam belajar tidak ada perbedaan diantara dia dan santri yang lainnya, begitupun ketika beliau belajar di pondok Gentur yang dipimpin oleh ajengan Ahmad Satibi.

Saat itu terjadi perdebatan antara KH Satibi dan santrinya tentang ilmu mantiq (logika), yang dianggap tidak lazim di kalangan santri, karena secara kultural tidak lazim seorang santri menentang pendapat kyainya. Tapi justru Kyai Satibi bersikap terbuka terhadap hal itu dan menerima pendapat santrinya. Kejadian itu juga yang membekas di benak Ahmad Sanusi, dari kejadian itu lah beliau mulai bersikap egaliter kepada siapapun.

Setelah menumpuh pendidikan pesantren selama 4 setengah tahun di berbagai pondok di Jawa Barat, dia pun melanjutkan studinya di Makkah selama 5 tahun. Disana beliau belajar dengan banyak masyayikh diantaranya adalah Syeikh Saleh Bafadil dan Syeikh Achmad Khatib.

Dan disana pula beliau bertemu dengan H. Abdul Muluk yang mengajaknya untuk bergabung dengan Sarikat Islam (SI) pertemuan itu terjadi pada tahun 1913 dan direspon positif oleh KH. Ahmad Sanusi setelah berdiskusi tentang tujuan dan AD/ART SI.

Tahun 1915 setelah kembalinya ke tanah kelahirannya beliau kembali ke Sukabumi, beliaupun langsung melakukan apa yang mesti dilakukannya, seperti mengajar dan juga bergerak di bidang politik melalui Sarekat Islam yang ada di Sukabumi. Bahkan beliau menentang para elit birokrasi yang saat itu suka melakukan sesuatu secara semena – mena.

Dan karena karena pengaruh serta karisma K.H Ahmad Sanusi yang sudah sangat kental di masyarakat dan hal itu membuat para kaum elit merasa risih. Sampai suatu saat kolonial Belanda datang untuk menangkapnya dengan alasan beliau ikut dalam gerakan anti-pemerintah, bahkan pada tahun 1926 beliau dituduh memiliki hubungan dengan kyai Asnawi Banten yang melakukan pemberontakan. Ya begitulah berbagai tuduhan datang kepada KH. Ahmad Sanusi pada saat itu yang mana sebenarnya ditujukan untuk menjebloskannya ke penjara agar suaranya dapat dibungkam.

Pada bulan November 1928 dengan alasan yang tidak jelas, KH. Ahmad Sanusi diasingkap ke Batavia. Sebagaiman telah diungkap sebelumnya, hal itu dilakukan untuk membendung pengaruh beliau di Sukabumi, bukan karena beliau terlibat dengan tertentu. Dan pengasingan itu tidak membuat KH. Ahamd Sanusi berupah pikiran ataupun luntur semangat juangnya, tapi justru memperkuat jiwa nasionalisme beliau.

Dan selama disana pula, beliau sering mendapatkan kunjungan, baik itu dari santri dan jamaahnya yang di Sukabumi ataupun tamu yang datang untuk berdiskusi atau berdebat tentang suatu permasalahan. Diantara tamu yang datang yaitu : KH. Jusuf Taujiri dari pesantren Cipari, KH. Romli dari pesantren Haur Koneng, bahkan beliau berbincang dengan A. Hasan, tokoh Persis Bandung.

Selama di tempat pengasingan pula beliau masihlah terus produktif dalam menulis buku. Karya tulisnya terisnpirasi dari pengaduan jamaah kepadanya. Adapun diantara karya tulisnya adalah sebagai berikut: Taoehidoel Moslismin, Hijatoellisan, Hijatoel Goelam (semua ditulis dalam bahasa Sunda), Raudhatul Irfan, Tafsir Maldjaoettolbien (ditulis dalam bahasa Melayu), dan masih banyak lagi karangan beliau yang tidak dapat dicantumkan pada artikel ini.Ahmad Sanusi meninggal pada tanggal 31 Juli 1950 di Sukabumi dengan meninggalkan banyak karya dan juga tempat menimba ilmu yang dikenal dengan pesantren Syamsul Ulum.

(Sumber : Riwayat Perjuangan KH. Ahmad Sanusi, 2009)