Betapa bahagianya orang tua bila sejak dini sang anak sudah terbiasa menjalankan kewajiban agamanya. Di masa akan datang kebiasaan baik agamanya tersebut akan membentuk pribadinya yang tangguh dan disiplin. Tangguh karena mampu melawan hawa nafsunya dan disiplin karena terbiasa mengajarkan sesuatu sesuai dengan tempat dan waktunya.

Sungguh Islam adalah agama yang sempurna, islam memperhatikan betul bagaimana pembentukan character building anak agar menjadi generasi madani yang saleh dan unggul di masa yang akan datang dan menjadi penerus risalah nabawi untuk melanggengkan panji-panji Islam di bumi Rabb-nya.

Tidak terkecoh dengan hiruk pikuk dan kemajuan zaman yang semakin liar dan tak terkendali. Dimana urusan dan kewajiban duniawi menjadi prioritas dibanding kewajiban hamba terhadap Rabb-nya. Agama hanya menjadi sampingan yang bisa ditentukan sesuai kebutuhannya, maka selain memperkenalkan kewajiban-kewajiban agama kepada anak, mentransfer ilmu agama juga merupakan sesuatu yang niscaya dan harus terus menerus diberikan sesuai kadar usianya. Yang mengkhawatirkan saat ini adalah berkembangnya trend mengaji melalui dunia maya. Tidak salah dengan niatnya dalam mengaji dan mengkaji ilmu agama, hanya saja hal demikian banyak mengandung kemudhratan dalam belajar agama.

Di internet dengan mudah seseorang mengakses artikel pengetahuan apapun tentang agama, namun ia terkadang tidak mengetahui siapa di balik penulis artikel tersebut, bagaimana transmisi keilmuaannya, apa kitab yang digunakan sebagai rujukkannya, dan sebagainya.

Dan ini bila terjadi pada anak yang terbiasa akrab dengan media internet tentu akan sangat berbahaya dan bisa menjadi ancaman serius di kemudian hari. Hal tersebut tentu tidak dengan melarangnya untuk berinteraksi dengan internet, tapi yang diperlukan adalah dengan terus mendampingi, mengarahkan, dan menasihatinya agar tidak salah jalan.

Gambaran lain tentang bagaimana Rasulullah menerapkan nilai-nilai agama kepada anak-anaknya adalah, ketika beliau berkata kepada Fatimah, “Wahai Fatimah mintalah apa saja dari hartaku, tapi beramal salehlah dengan sungguh karena aku tidak bisa menolongmu dari Allah.” (HR. al-Bukhari).

Nasihat ini mengajarkan kepada orang tua bahwa betapapun orang tua memiliki segalanya, tidak serta merta anaknya “dimanjakan” atau dibiarkan semaunya. Rasulullah tidak berkata kepada Fatimah, ‘Wahai Fatimah beramallah semaumu, tenang saja, kamu akan aku beri syafaat di akhirat nanti.

Bila hal demikian diterapkan pada anak, maka di kemudian hari ia akan memiliki tanggung jawab yang tinggi serta tidak memanfaatkan kebesaran orang tuanya. Selain itu, bila sang anak melanggar mesti terus diingatkan sesuai kadar usia anak, bahwa pelanggaran itu akan mendapatkan konsekwensi hukum.

Sehingga sang anak memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi dan memahami bahwa hukum tidak bisa dipermainkan dengan seenaknya. Rasulullah Saw telah mencontohkan, bila berkaitan dengan hukum semua orang sama dihadapannya, tidak dibedabedakan.

Tidak kemudian ‘mentang-mentang’ Fatimah adalah anaknya, ketika ia mencuri ia menjadi kebal hukum. Rasulullah Saw bersabda, “Sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR. Muslim).

Tentu masih banyak nasihat lain dari Rasulullah Saw terkait pendidikan anak, hanya bisa disimpulkan bahwa pendidikan ramah anak tidak serta merta dipahami bahwa ramah itu selalu ‘lembek’ dan menghilangkan karakter tegas. Karakter pendidikkan Rasulullah Saw adalah sesuai dengan misi diutusnya, yakni sebagai syahid (pemberi bukti atau contoh tauladan) basyir (pembawa kabar gembira), dan nadzir (pemberi perngatan). (lihat QS. Al-Ahzab [33]: 45)