Pendidikan Bukanlah Kompetisi Menjadi Terbaik
Majalahnabawi.com – Sekedar untuk belajar dari pengalaman pribadi, saya ingin berbagi tentang bagaimana pendidikan di mata saya bertransformasi dan ber-“evolusi”. Sejak pertama kali mengenal sekolah, di bangku MI (setingkat SD), tanpa ada yang memotivasi pun, saya sudah menganggap bahwa sekolah adalah kompetisi. Ukuran keberhasilannya jelas, yaitu ranking yang ada di raport. Sementara orangtua saya tidak pernah mengajari saya agar harus menjadi ranking satu. Bagi beliau, sekolah adalah belajar, menjadi lebih baik, bukan menjadi terbaik, titik.
Benar saja, saya masih ingat betul apa yang terjadi dengan diri saya, ketika kelas satu MI. Saat cawu satu, saya mendapat rangking tiga. Senang rasanya, tapi tidak bangga. Ingat, bukan sekedar tidak puas, tapi tidak bangga. Sebagai anak kecil, saya termotivasi dari luar, bahwa apa sih yang membuat teman saya yang bernama Nurul Hidayati itu mendapat ranking satu? Lalu, saya dapati bahwa jawabannya adalah nilainya harus tinggi semua.
Akhirnya, benar. Cawu kedua, si Nurul tidak lagi mendapat ranking satu. Tapi teman saya yang lain, namanya Mukhlison, teman akrab saya sendiri. Sementara saya, setelahnya. Ranking dua. Barulah yang ketiga, si Nurul tadi.
Masih jelas sekali ingatan saya tentang itu hingga kini, karena saat itu, kami dipanggil maju ke hadapan seluruh wali murid, lalu menerima hadih bingkisan buku dan pensil dari kepala sekolah. Rangking satu dapat tiga buah buku lengkap dengan pensil dan pengapusnya. Sedangkan ranking dua mendapat dua buku lengkap dengan pensil dan penghapus. Sementara ranking tiga hanya mendapat dua buah buku plus pensil dan penghapus. Begitulah yang saya terima saat saya masih kelas satu itu.
Hadiah dan rahasia mendapatkan nilai bagus itulah yang membuat saya terpicu semangatnya untuk belajar, hingga akhirnya pada cawu ketiga kelas satu saya berhasil meraih rangking satu, hingga lulus perguruan tinggi, alhamdulillah ala kulli hal.
Hal yang menarik adalah, saat kelas lima cawu tiga, ada seorang walimurid yang berseloroh, tepat di depan mata kepala saya sendiri, pada saat kepala sekolah mengumumkan rangking. Tiba giliran nama saya disebut sebagai rangking satu lagi, beliau meneriakkan sebuah statemen yang tidak pernah terlupakan oleh saya. “Yo pantes, mesti ae rangking siji. Wong gurune ae bapak e dewe! [Ah, pantas saja. Pasti aja dia yang ranking satu. Orang, gurunya aja bapaknya sendiri!]”
Dulu, ungkapan tersebut begitu menyakitkan buat saya yang masih bau kencur. Masih baru mau naik kelas enam MI. Namun, setelah saya lulus sarjana, dan menjadi guru di sebuah sekolah di Tangerang Selatan, saya justru kata itu yang membuat saya mengubah paradigma saya terhadap hakikat pendidikan.
Betapa, apa yang bisa saya capai dan membuat diri jadi senang dan bangga diri, hal itu cukup menyakitkan buat siswa lain atau orangtua lain. Saya tidak ingin menganggap bahwa orangtua teman saya tadi itu dengki kepada saya. Tidak. Namun, saya memahami bahwa rangking itu hanya menyenangkan buat yang menduduki peringkat pertama, kedua, dan ketiga saja. Selebihnya, rangking itu menyakitkan, yang akhirnya seseorang bisa berputus asa belajar, atau setidaknya menduga-duga dengan berbagai macam dugaan.
Sejak saya menjadi guru di sekolah yang masih menerapkan sistem rangking kelas berdasarkan nilai rapot, lebih spesifik lagi, nilai kognitif, saya tidak pernah memotivasi siswa untuk mendapat rangking satu di rapotnya. Tapi, jadilah rangking satu untuk diri sendiri, bukan rangking satu untuk orang lain, atau rangking satu di antara teman-teman sekelas, sesekolah, atau seuniversitas. Jangan!
Saya baru sadar, bahwa pendidikan bukanlah sekedar kompetisi menjadi terbaik. Melainkan, pendidikan adalah kompetisi menjadi lebih baik. Label “lebih baik” itu tidak boleh diukur dari orang lain. Melainkan diukur dari masa lalu diri sendiri. Jika saya kemarin baru berhasil menjawab dua dari lima pertanyaan dengan baik, maka kali ini harus bisa menjawab dengan baik minimal tiga pertanyaan. Jika kemarin saya masih tertinggal dalam hal kebersihan karena seragam tampak kotor, maka kali ini saya harus tampil lebih bersih lagi.
Jangan berpikir bahwa menjadi lebih baik itu adalah karena si A, si B, dan si C hanya bisa menjawab satu pertanyaan, sedangkan saya bisa menjawab dua. Berarti saya lebih baik dari mereka. Jika nilai rata-rata raport saya adalah 85, sedangkan teman-teman saya hanya 70 atau 80, berarti saya lebih baik dan lebih pandai daripada mereka. Jangan!
Nilai saya selalu lebih baik dibanding teman-teman sekelas. IPK saya juga begitu. Tapi semua itu, tidak ada artinya. Setelah lulus, saya sendiri pun tidak pernah menikmati, ataupun sekedar melihat-lihat nilai saya itu. Apalagi orang lain, nyaris tidak ada yang kepo, penasaran, kepingin lihat nilai saya. Lalu, buat apa semua itu? Toh, ternyata teman-teman saya yang dulu saya anggap tidak lebih berhasil secara nilai rapot, atau tidak lebih baik daripada saya, kini saya memandang mereka lebih baik dan lebih sukses dalam banyak hal yang saya tidak mampu.
Pendidikan adalah kompetisi dengan diri sendiri menjadi lebih baik. Dalam prinsip pendidikan, jangan berpikir menjadi terbaik, tapi berpikirlah menjadi lebih baik. Bukan lebih baik daripada orang lain, tapi lebih baik daripada diri sendiri kemarin.
Penobatan menjadi terbaik itu di satu sisi memang efektif untuk meningkatkan prestasi. Penobatan terhadap diri sendiri sebagai terbaik, justru akan mematikan semangat belajar dan menumbuhkan kesombongan. Penobatan terbaik di antara teman-teman seangkatan atau sekelas oleh sebuah lembaga itu juga rawan memunculkan dampak yang sama. Kalaupun efektif memotivasi siswa, ternyata yang termotivasi hanya yang sering mendapat juara, dan itu tidak banyak jumlahnya. Umumnya hanya tiga, dan paling banyak hanya sepuluh orang saja, kalau menggunakan sistem perangkingan top ten. Selebihnya, urutan ke sebelas hingga empat puluh atau seterusnya, adalah anak-anak yang tidak termotivasi sama sekali oleh perangkingan.
Lalu, apakah kita hanya akan mendidik tiga orang sampai sepuluh orang saja? Lalu, jika sekelas itu berisi tiga puluh siswa, apakah yang dua puluh sisanya itu tidak kita didik, bahkan kita anggap sebagai anak yang tidak bisa, ketinggalan pelajaran, tidak berprestasi, bahkan tidak pandai, naifnya sampai dianggap bodoh? Sekali lagi, jangan!
Pendidikan harus untuk semua. Karena itu, kalaupun ada perangkingan, semua anak harus rangking satu. Rangking satu di bidangnya masing-masing. Guru atau pendidik tidak berhak menilai anak ini lebih pintar daripada anak yang lain. Tapi, guru yang pendidik akan berusaha menunjukkan kepada setiap siswa bahwa ia memiliki potensi A, B, C yang harus dikembangkan dengan cara D, E, F, dan seterusnya.
Pendidikan adalah kompetisi dengan diri sendiri, bukan kompetisi dengan orang lain. Kompetisi dengan orang lain itu sah-sah saja, tapi jangan dijadikan sebagai esensi sebagai pendidikan. Kompetisi dengan orang lain cukup sebagai salah satu intrumen kecil saja dalam pendidikan. Misalnya, dalam momen lomba-lomba tertentu. Namun, tidak untuk mengukur capaian kompetensi pendidikan.
Itulah hakikat fastabiqul khairat yang dipadu dengan inna ja’alnakum syu’uban wa qaba’ila li ta’arafu, inna akramakum ‘inda Allah atqakum. Berlomba-lomba dalam kebaikan itu berlomba-lomba dengan diri sendiri, dengan masa lalunya. Bukan kemudian kita menilai diri kita sudah menang dalam lomba-lomba rajin ke masjid, karena orang lain tidak tampak lebih rajin daripada kita.
Kita ini memiliki kecenderungan dan kompetensi yang berbeda-beda. Itu juga bagian dari syu’uban wa qaba’ila. Ada yang unggul di cabang (syu’bah) olah raga, ada yang unggul di cabang (syu’bah) matematika, ada yang unggul di cabang bahasa, ada yang unggul di cabang seni, dan selainnya. Itu juga merupakan makna syu’uban, tidak melulu artinya berbangsa-bangsa.
Ada yang berkompeten di kelompok (qabilah) kimia, ada yang berkompeten di kelompok (qabilah) komputer, ada yang kompeten di kelompok fikih, ada yang kompeten di kelompok tahfiz, ada yang kompeten di kelompok tafsir, ada yang kompeten di cabang (syu’bah) olah raga bidang sepak bola, namun tidak kompeten di bidang tenis meja.
Semua itu adalah dididik untuk saling mengenal dan berinteraksi dengan baik (li ta’arafu). Tidak sekedar berkompetensi, mencari predikat bahwa saya sudah juara sepak bola, karena itu saya lebih baik daripada kamu yang belum juara tenis meja. Padahal untuk bisa juara sepak bola, bukan karena bersaing dengan sebelas orang timnya, melainkan karena bekerjasama dengan kesebelasannya. Sedangkan untuk jadi juara tenis meja, kadang tidak perlu bekerjasama dengan tim, melainkan berjuang dengan dirinya sendiri menutup kekurangan masa lalunya.
Lalu, ukuran terbaik itu biarlah Allah yang menentukan. Masing-masing orang adalah terbaik dalam hal mencapai tujuan utama pendidikan, yaitu ridla Allah. Tapi masalahnya adalah kita tidak akan pernah tahu siapa yang terbaik itu. Bahkan, kita juga tidak akan pernah tahu apakah kita lebih baik daripada orang lain. Tapi, kita bisa mengetahui bahwa kita lebih baik daripada diri kita sendiri kemarin, atau lebih buruk.
Selamat menjadi manusia berpendidikan yang merdeka!