Santri dan Perdamaian Dunia
Hubungan internasional selalu identik dengan perang, militer dan keamanan. Isu-isu seperti lingkungan hidup, terorisme dan hak asasi manusia dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting. Bahkan aktor utama yang diperhitungkan dalam hubungan internasional hanya negara. Selain negara, aktor-aktor lain dianggap tidak berpengaruh.
Namun, pasca perang dingin antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet terjadi perubahan yang signifikan dalam hubungan internasional. Isu-isu yang dulu dianggap tidak penting kini dianggap penting. Aktor-aktor lain selain negara mulai muncul dan dianggap keberadaanya dalam hubungan internasional.
Setidaknya ada tiga alasan yang mendorong munculnya aktor non negara dalam hubungan internasional, yakni munculnya globalisasi yang mengakibatkan interdependensi, sehingga tidak ada aktor yang bisa berdiri sendiri, menyebarnya paham demokrasi, dan revolusi teknologi.
Nye dan Keohane menyatakan bahwa hubungan transnasional penting untuk dianalisis karena memiliki pengaruh yang signifikan terhadap hubungan internasional. Salah satu bentuk aktor non negara adalah organisasi non-pemerintah, civil society, social movement, transnational social movement dan multinational cooperation (MNC).
Sebagian besar gerakan dipicu oleh keinginan untuk mereformasi sistem politik seperti civil society dan social movement, sementara multinational coorporation (MNC) lebih didorong oleh kebutuhan ekonomi. Aktor-aktor ini dianggap berperan penting dalam hubungan internasional dewasa ini.
Namun pergerakan yang dilatarbelakangi oleh agama seringkali dianggap sebagai ancaman keamanan nasional dan internasional. Sebut saja kejadian 11 September 2001 di AS, aksi bom bunuh diri di Timur Tengah, pertikaian antar klan di Kashmir, perang budaya di Balkan, dan pertumpahan darah di Nigeria dan Indonesia. Akibat peristiwa tersebut, hubungan yang terjalin antara agama dan hubungan internasional selalu identik dengan kekerasan.
Lantas bagaimana posisi santri dalam hubungan internasional? Apakah kaum santri dianggap keberadaannya? Jika ya, apakah ia dianggap sebagai ancaman bagi aktor lainnya dalam hubungan internasional?
Santri bisa dikategorikan sebagai aktor non-negara dalam hubungan internasional. Ia bisa memberikan pengaruh dalam kebijakan luar negeri suatu negara, sebagai alat untuk melegitimasi kebiajkan luar negeri, menyediakan informasi, dan membatasi perilaku negara.
Lebih dari itu, akibat adanya revolusi teknologi, santri bisa membentuk gerakan transnasional dengan santri lainnya yang berada di negara lainnya. Lewat gerakan transnasional inilah santri bisa turut melakukan tiga rangkaian perdamaian, yakni peace making, peace keeping dan peace building.
Walaupun agama dianggap sebagai salah satu sumber kekerasan dalam hubungan internasional, kita harus mengingat bahwa agama juga telah mengajarkan perdamaian, martabat manusia, persamaan, ketaqwaan dan solidaritas. Sehingga santri sebagai gerakan yang dilatarbelakangi oleh agama memiliki potensi untuk menyebarkan perdamaian dunia. Hal ini sejalan dengan konsep agama Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Islam dengan konsep rahmatan lil ‘alamin telah memperkenalkan bentuk hubungan transnasional jauh sebelum para teoritisi mengakui aktor non negara. Bentuk hubungan transnasional yang diinginkan bukan hanya sekedar memenuhi kepentingan antar aktor semata, namun agar menjadi rahmat, atau dalam istilah internasional disebut dengan perdamaian dunia. Walaupun santri sudah memiliki posisi sebagai aktor non-negara, keberadaannya bisa saja hanya dianggap angin lalu. Untuk bisa mengubah dan menciptakan perdamaian, dibutuhkan adanya power dalam hubungan internasional.
Power diartikan Thomas Hobbes sebagai “present means to obtain some future apparent good” atau segala daya (kekuatan) yang dimiliki sekarang untuk mencapai hal-hal yang baik di masa yang akan datang. Wujud dari power dapat berupa kepemilikan yang tampak (tangible) seperti kepemilikan persenjataan, kekuatan ekonomi, kekuatan teknologi, atau yang tidak tampak seperti moral yang baik, kemampuan intelektual, dan penampilan yang menarik. Semua ini dapat dimiliki seseorang untuk memperoleh otoritas.
Power yang dapat dimiliki oleh santri tentu berupa soft power, seperti moral yang baik dan kemampuan intelektual. Dengan power-nya maka santri akan mampu memobilisasi massa untuk melakukan aksi tertentu, atau melakukan advokasi terhadap kebijakan tertentu.
Agama juga merupakan soft power bagi santri. Karena agama mermiliki lima sumber dalam dirinya, yakni sebagai source of legitimacy, source of identity, source of peace dan source of collective action. Keberadaan santri dalam hubungan internasional tentu tidak terlepas dari tantangan. Kita harus mengingat bahwa santri yang lahir dari rahim agama dan kebudayan membawa nilai-nilai yang bersifat partikular, bukan universal. Tentu tidak semua nilai dapat diterima oleh masyarakat internasional. Karena terdapat beragam agama dan kebudayaan. Belum lagi cara pandang mengenai apa dan bagaimana perdamaian itu seharusnya.
Kedua, adanya sains yang keberadaannya mulai menggantikan agama dalam menyediakan jawaban dan solusi atas semua permasalahan. Sehingga gerakan-gerakan yang bersifat keagaman cenderung tersisihkan dalam pentas hubungan internasional.
Setelah melihat potensi dan tantangan dalam hubungan internasional, sudah seharusnya santri menyadari bahwa ia merupakan bagian dari masyarakat internasional. Menjadi bagian berarti turut serta berperan untuk menciptakan perdamaian. Jangan sampai santri hanya menjadi penonton bagi aktor-aktor lain yang sibuk merencanakan perdamaian dunia. Padahal para santri telah jauh mengenal konsep tersebut, yakni rahmatan lil ’alamin.
Wallahu A’lam. ***